Rabu, Januari 23, 2008

Suharto dan Dosa-dosanya


"Aku Tidak Mau Kebagian...


Sudah lebih dari 2 minggu belakangan ini, semua televisi menayangkan perkembanga kesehatan mantan presiden RI ke 2, H.M. Suharto. Laki-laki yang pernah 32 tahun menjadi penguasa tersebut digambarkan sedang sekarat dan tidak juga lepas dari masa kreitis. Jantung, paru, ginjal sampai dengan tekanan darahnya tidak juga kembali normal. Malah sebuah alat didatangkan khusus untuk proses penyembuhan Suharto yang diyakini mempunyai darah raja-raja Jawa.
Saat yang sama dengan terbaringnya Suharto, banyak perkembangan politik yang menyertainya. Amien Rais yang awalnya menentang semua perlakuan lunak kepada Suharto pun mulai membuka diri dan memaafkan.

Sikap ini langsung diamini dengan sejumlah sekolahan di bawah naungan Muhammadiyah dengan menggelar doa untuk kesembuhan. Sikap pemerintah yang dituntut mengusut tuntas semua pelanggaran semasa berkuasa pun, mulai luluh.

Sedang di kalangan mahasiswa tetap bertahan dengan konsep idealnya. Kendati sudah tidak terlalu menggugat, mereka juga mendoakan kesembuhan untuk penguasa yang menurut mereka selama 32 tahun mengekang kebebasan berserikat dan mengemukaka pendapat sebagaimana yang diamanatkan dalam UUD 1945 pasal 28. Tapi, di balik doa kesembuhan, para mahasiswa tetap berharap kelak Suharto bisa mempertanggungjawabkan semua perbuatannya.
Sementara itu kondisi Suharto yang dirawat di Rumah Sakit Pusat Pertamina pun tetap saja tidak stabil. Kondisi ini juga membuat kalangan jurnalis sampai keleleran di pelataran RS menunggu perkembangan Suharto. Kondisi yang sama juga terlihat di sekitaran kota Solo dimana sebuah tempat yang disediakan khusus untuk makam keluarga Suharto. Sampai sekarang pun, kondisi Suharto tidak juga membaik.
Saya lalu ingat dengan nasehat orangtua saya saat masih kecil. Saat itu, saya dan beberapa teman sedang mempergunjingkan teman lain dan langsung ditegur. Orangtua saya mengatakan jangan suka mengunjingkan orang karena nanti dosa orang yang digunjingkan akan diberikan kepada siapa yang mempergunjingkan. Mengingat nasehat yang entah benar atau tidak, saya langsung bungkam seribu bahasa saat diajak wartawan lain membicarakan Suharto.
Dalam hati, saya langsung ingat nasehat orangtua saya dan jujur saya tidak mau kebagian dosa-dosa Suharto karena ikut mempergunjingkannya. Saya tidak bisa membayangkan seandainya ditanggung dengan banyak orang pun, mungkin kesalahan Suharto masih terlalu berat. Mungkin nyaris sama dengan beban hutang yang diwariskan kepada kita selama dia berkuasa.
Karena mempertimbangkan dosa akibat perbuatan saya sendiri sudah terlalu berat, saya tidak mau membicarakan Suharto dan penyakitnya. Anda bisa bayangkan berapa berat dosa saya setelah ditambah dengan dosa Suharto karena saya ikut-ikutan mempergunjingkannya.

Selasa, Januari 22, 2008

TETAP JADI RELAWAN MESKI USIA DIVONIS TAK PANJANG



3 Si banditmemo bersama Ajeng. Berita ini diturunkan Tabloid Nova saat tinggi Ajeng masih 174 cm. Sekarang, tiggi tubuh Ajeng sudah 184 dan sudah tidak banyak berdiri. sehari-hari, 90 persen hari-harinya dihabiskan di ranjang.(dok)
---------------------------

Sejak kecil, gadis berusia 20 tahun ini mengidap marfan syndrome. Dokter menyatakan, usianya tak panjang. Cobaan berikutnya, kakak tertuanya jadi pecandu narkoba hingga meninggal. Di sisa hidupnya ia jadi relawan antinarkoba. Demikian ungkapan Wahyu Ajeng Suminar.

Aku adalah anak bungsu dari enam bersaudara. Saat lahir di Surabaya, aku tumbuh seperti bayi pada umumnya, sehat dan montok. Namun, setelah beberapa tahun, tubuhku tidak seperti bayi pada umumnya, pertumbuhan tulangku begitu cepat bertambah. Keanehan lainnya, aku masih ingat ketika masih berusia 5 tahun, tubuhku begitu lentur seperti gadis plastik yang ada di sirkus.

Bukan itu saja bersamaan dengan itu pandangan mataku juga semakin tidak sempurna. Kalau melihat di alam bebas, maksimal jarak pandangku cuma sejauh 3 meter. Sebaliknya kalau untuk membaca, aku baru bisa membaca dalam jarak 3 centimeter. Akibatnya, bibirku selalu berwarna hitam. Kenapa? Saat usia lima tahun itu aku, kan, sudah bisa membaca dan menulis dengan lancar. Nah, karena membaca terlalu dekat, bibirku sampai nempel ke tinta buku itu.

Sudah begitu, untuk bisa membaca dengan jelas, aku harus rela berpanas-panas di halaman rumah. Sebab, kalau tidak mendapat sinar matahari yang cukup, aku tak mampu melihat huruf-huruf tulisan.

JADI JURU BICARA
Kondisiku yang tidak semestinya tentu saja membuat orang tuaku curiga. Mereka segera membawaku ke RSUD Dr. Soetomo. Setelah diperiksa dokter, barulah diketahui, aku mengidap penyakit marfan syndrome. Penyakit ini sangat langka di dunia dan sampai saat ini belum ada obatnya.

Orang tua begitu cemas saat dokter memprediksi usiaku tak akan panjang. Sebab, pertumbuhan tulang yang menjulur begitu cepat, secara otomatis akan menarik otot dan saraf organ lain. Di antaranya jantung maupun mata.

Memang umur manusia ditentukan Tuhan, tapi ujaran dokter tak sepenuhnya salah. Kenyataannya, seiring bertambahnya umur, jantungku sering sakit. Bahkan, sekarang aku sudah tidak bisa melihat sama sekali. Semua ini akibat saraf-saraf mata putus karena tertarik bersamaan dengan pertum-buhan tulang yang begitu cepat.

Sekarang dengan tinggi badanku 174 cm, menurut dokter masih akan bertambah. Apalagi sampai saat ini aku masih belum menstruasi. Beberapa waktu lalu, seorang dokter yang menanganiku berniat memberi obat agar aku cepat menstruasi. Maksudnya supaya pertumbuhan tulangku agak terhambat. Rencana itu dibatalkan karena khawatir pemberian obat akan memicu kerusakan pada jantungku.

Akibat pertumbuhanku yang tak sempurna itu, aku tak pernah mengenyam pendidikan formal. Aku pernah sekolah di Yayasana Pendidikan Anak Buta (YPAB), tapi cuma berlangsung tiga bulan karena aku sakit. Kendati demikian, aku tak patah semangat. Di rumah aku selalu belajar sendiri. Setiap koran, majalah, atau apa saja, selalu kubaca.

Kendati tak pernah sekolah formal, prestasiku tak kalah dibandingkan dengan teman-teman sebayaku. Bahkan, setiap kali mengikuti cerdas cermat Taman Pendidikan Al Quran (TPA) mulai dari tingkat RT sampai Kodya Surabaya, aku yang ditunjuk sebagai juru bicara. Beberapa kali aku sempat meraih juara.
Ya, aku memang memiliki kelainan bawaan. Namun, semua itu tak mengurangi keceriaanku. Aku melewati masa kanak-kanak dengan ceria bersama teman-teman sebaya.

PECANDU NARKOBA
Keceriaan di waktu kanak-kanak terputus ketika tahun 1993, kakak pertama bernama Surya, terlibat narkoba. Kala itu, ia tengah kuliah di Bandung. Kecurigaan keluarga bermula ketika ia sering minta Ibu, Wijayaning Wahyuni (49), mengirimi uang. Agar Ibu mau kirim uang, ia selalu berdalih dengan berbagai macam cara.

Saat pulang ke Surabaya, Mas Surya dicecar Ibu, kenapa ia sering sekali minta uang. Akhirnya, ia mengaku terus terang sebagai pecandu narkoba jenis putau. Yang sangat mengejutkan, ia tergolong pecandu berat. Bayangkan, ia sehari bisa menghabiskan uang Rp 450 ribu untuk membeli barang haram itu.

Sejak itu, kuliahnya di desain dan fotografi berhenti. Kehidupan keluarga kami pun benar-benar suram. Sebab, meski keluarga sudah tahu kelakuannya, Mas Surya tetap tak sembuh. Bahkan, kalau ia sedang kecanduan, ia memaksa Ibu memberinya uang untuk beli putau.

Bila Ibu tidak memberi, Mas Surya siap dengan sebilah pisau untuk menghabisi Ibu. Bahkan, Ibu dikejar-kejar di jalanan kampung dengan pisau terhunus, itu sudah pemandangan biasa. Karena pengetahuan kami tentang pecandu narkoba amat terbatas, kami sekeluarga bingung harus bagaimana memperlakukannya.

Yang semakin membuatku terpukul, di saat bersamaan kehidupan rumah tanggaku mengalami keretakan. Akhirnya, ayah dan Ibu memilih cerai. Namun, retaknya rumah tangga mereka, tak juga menyadarkan Mas Surya. Tetap saja ia memaksa Ibu memberinya uang.

Ibu yang hanya seorang diri bekerja sebagai tenaga pemasaran di sebuah perusahaan asuransi, tentu dibuat kelabakan. Oleh karena tak punya uang lagi, semua barang yang ada di rumah terpaksa dijual satu per satu. Bahkan, sampai barang yang tak berharga. Mulai dari kain jarit, remote control, meja kursi, barang pecah belah, sampai pagar rumah dijual kepada tukang loak!

Semua itu, masih juga tak menyadarkan Mas Surya. Dengan sangat terpaksa karena jiwanya diancam Mas Surya, Ibu sampai menjual rumah, satu-satunya barang berharga yang tersisa. Sejak itu pula kehidupan keluarga kami semakin parah. Entah sudah berapa kali pindah dari satu kontrakan ke kontrakan yang lain.

(TabloidNova.com)

Kamis, Januari 03, 2008

Haji…., Hat…chi!!!

Musim haji telah lewat dan haji, yang dulu disebut calon jemaah haji, sudah menjadi haji sepenuhnya. Dengan membayar beberapa puluh juta, seorang umat Islam bisa menyandang huruf H atau Hj di depan namanya dan memperpanjang namanya yang sudah panjang. Seorang teman saya akan menuliskan namanya secara lengkap seperti ini, Drs Ir H. Ahmad, SH., SE,. MM. Ruuarrr biasa khan...
Tapi... sebentar, saya baru ingat kalau ternyata menunaikan ibadah haji adalah rukun Islam yang kelima alias terakhir kali. Sebelumnya, membaca kalimah sahadat, menunaikan Sholat, membayar Zakat, berpuasa di bulan Ramadhan dan menunaikan ibadah haji bagi yang mampu. Itu kalau saya tidak salah ingat.
Lalu saya mencoba membayangkan dan mengurutkan rukun (sesuatu yang wajib dilakukan) tersebut saat kita mulai kecil dan belum mampu menunaikan ibadah selanjutnya. Sebagai syarat menjadi muslim (sapaan untuk kaum Islam), wajib mengucapkan kalimah syahadat. Kalimat yang berbunyi Asshadualla Illa ha Illallah Wasas Haduanna Muhammadar Rosullah (saya bersaksi tidak ada Tuhan selain Allah dan saya bersaksi Nabi Muhammad adalah utusan Allah).
Setelah mengucapkan kalimah syahadat, saat kita akhil baliq, mulai diwajibkan menunaikan sholat lima waktu. Artinya, siapapun yang sudah akil baliq, diwajibkan menunaikan sholat Subuh, dluhur, Ashar, Magrib dan Isya’. Kewajiban sholat ini tetap untuk si kaya dan si miskin. Biar 4 hari tidak makan atau pun makan 4 kali sehari, semuanya tetap wajib sholat.
Kemudian, kewajiban yang ketiga adalah membayar zakat. Itupun bagi yang merasa berlebih dalam makan sehari-hari. Bagi si miskin, kewajiban rukun Islam membayar zakat, tidak wajib. Malah kepada merekalah kita yang mampu berzakat bekerja sama dalam menunaikan ibadah tersebut. Si kaya membayar zakat kepada si miskin.
Kalau kita ingat saat masih kecil, zakat dibayar oleh orangtua kita. Artinya, walaupun secara fisik, kita memang belum mampu membayar sendiri tapi orangtua kita berlebih dan ada sisa dari yang dimakan setiap harinya. Inilah indahnya Islam.
Kewajiban yang keempat adalah melaksanakan puasa di bulan Ramadhan. Di bulan yang penuh berkah dan lebih indah dari seribu bulan ini, yang sudah akil baliq pun kembali dipaksa dengan hukum wajib untuk menunaikannya. Mereka harus menahan lapar dan haus serta yang membatalkan puasa sejak fajar sampai matahari terbenam.
Lalu, kewajiban yang terakhir adalah menunaikan haji bagi yang mampu. Inilah pertanyaan saya yang beberapa hari mengusik pikiran seiring dengan kedatangan haji-haji di tanah air. Malah kabarnya, dari tahun ke tahun, pendaftar ibadah ini mengalami kenaikan. Hebat khan....
Pertanyaan saya adalah, apakah mereka yang menunaikan ibadah haji sudah mampu dan bisa melaksanakan rukun Islam dari 1 sampai dengan 4 dan menjadikan Haji sebagai ibadah wada’ (akhir). Kalau memang mereka sudah menunaikan 1-4, saya pribadi angkat topi dan 4 jempol. Tapi kalau sebaliknya, ah...... mereka hanya yakin bisa membeli surga dengan uang yang sudah dikeluarkan untuk menjadi tamu Allah.
Lalu pertanyaan kembali menyeruak di pikiran saya. Apakah mereka akan bisa menjadi haji mabrur sebagaimana janji Allah kepada hambanya yang ibadah hajinya diterima. Saya kemudian ingat dan pernah membaca sekaligus menulis dalam berita –karena saya adalah wartawan-, seorang haji masih saja melacur, nyabu, jadi penadah motor curian sampai dengan mati di pelukan pelacur. Apakah mereka benar-benar menjadi haji? Bicara lebih jauh dengan ibadah haji,..... hat... chi...!!!! (aahh.... mengapa saya malah semakin sering bersin saat menuangkan tulisan ini)