Senin, Juni 30, 2008

I Hate Monday

Sebenarnya ungkapan itu sudah lama menjadi kalimat yang populer bagi kalangan profesional muda. Mereka beralasan kalau hari Senin adalah hari yang menjemukan karena sehari (sebagian ada yang dua hari) sebelumnya, mereka menikmati libur akhir pekan. Bagi saya, sebenarnya saya nggak hate-hate banget sama Monday.

Tapi kejadian hari ini, benar-benar membuat saya harus mengucapkan hal yang sama. Padahal, sebelumnya, saya sudah terobati dengan hari Senin karena malamnya ada extravagansa tranTV yang menghibur. Tapi hari ini, saya benar-benar ikut membenci hari ini, Senin alias Monday.

Bayangkan, di awal hari, saya sudah mengalami kesialan pertama. Pasalnya, kesebelasan Jerman yang saya jagokan dan di perhitungan di atas kertas, cukup menjanjikan, malah terpuruk. Jerman yang sebenarnya punya mental juara karena pernah menjadi pemenang di Piala Dunia, malah dipecundangi tim Matador dengan skor 0-1.

Kesialan saya yang kedua, begitu bangun tidur dengan membawa kekecewaan, sudah dibangunkan oleh teman saya. Dia meminta saya segera datang untuk membayar kekalahan saya. Memang, semalam saya memang taruhan Rp 200 ribu dengan teman saya.

Setelah mandi dan siap-siap saya pun berangkat ke rumah teman saya tadi. Melihat kedatangan saya dengan muka kalah dan lelah, teman saya tersenyum. BOLA ITU BUNDAR, JENDRAL... kalimat itu mengingatkan saya dengan kalimat kader PKI saat membantai Pahlawan Revolusi.

Siang pun berlalu tanpa ada kejadian yang menyenangkan untuk saya. Seharian nongkrong di tempat tugas saya pun hanya dapat 1 berita yang cukup kecil. Di tempat lain pun, saya juga mendapatkan berita yang kecil-kecil juga.

Belum selesai menyesali diri dengan kesialan-kesialan yang saya alami, tiba-tiba HP saya berbunyi pertanda ada SMS masuk. Tanpa semangat, saya pun membuka dan ternyata dari istri saya. “YAH.., UANG BELANJA HABIS. GAJIAN MASIH LAMA?

Saya makin hate-hate sama Monday

Senin, Juni 23, 2008

Damai yang Indah




*Promosi tanpa Menghabisi

Sudah beberapa bulan belakangan ini, di kawasan Jawa Timur, mulai terpampang foto sejumlah tokoh yang sudah memberanikan diri mencalonkan menjadi gubernur Jawa Timur. Mereka menyatakan sebagai calon yang paling aspriratif dan sangat wajar bila mereka sekarang ini mau blusukan sampai di lorong sempit sekalipun.

Sekarang, mereka pun mau mendatangi pangkalan becak, warung kopi, sudut pasar yang becek sampai dengan tempat pembuangan sampah sekalipun. Entah apakah kelak bila mereka berhasil duduk sebagai Jatim 1 (istilah untuk gubernur Jawa Timur), mereka masih mau bersikap seperti itu. Saya belum yakin!!

Sekarang saja, ada sikap mereka yang sepertinya membingungkan rakyat yang notabenenya adalah orang yang harus mereka layani. Dalam slogan-slogan mereka, sering tersindir slogan-slogan calon lain. Mungkin bagi para politikus, cara sindiran tersebut adalah sah-sah saja. TAPI BAGI SAYA YANG TIDAK TAHU POLITIK, ITU TIDAK ETIS!!!

Lihat saja, dalam promosi (saya lebih suka menyebut promosi daripada kampanye karena artinya sama saja) salah satu calon menyebutkan cetakan ini hasil dari dana gotong royong, bukan dari dana APBD. Padahal, calon yang lain mengatakan dalam slogannya APBD untuk rakyat. Terang dan jelas sudah sindiran itu.

Atau lihat slogan calon yang lainnya lagi. Dalam banyak poster, dia menyebutkan kalau NU bisa menjadi Gubernur, mengapa jadi Wakil Gubernur. Tentu saja, slogan ini sangat jelas menyindir pasangan calon lain yang menempatkan kader NU pada posisi wakil Gubernur.

Mau contoh lagi? Pada poster dan baliho salah satu calon, menyebutkan mengapa pilih Pakde, kalau ada bapak’e dewe. Sebutan Pakde juga dikenal dengan sosok calon yang lain. Belum lagi pemilihan warga pada singkatan pasangan gubernur dan wakil gubernur dengan warna-warna yang dikenal milik partai-partai besar.

Sekali lagi, bagi saya yang tidak suka politik, cara ini tidak etis karena mulai menyindir calon atau kompetitor lain. Karenanya, saya sampai saat ini, belum siap menjadi kader sebuah partai, calon anggota DPRD tingkat I, II atau pun DPR. Termasuk saya sangat tidak siap menjadi CALON GUBERNUR JAWA TIMUR.

Sabtu, Juni 21, 2008

Bahasa Lagu

ADIKKU melanggar hukum …
AKU yang menjadi saksi …
PAMAN penuntut umum …
AYAH yang mengadili …
Walaupun IBU gigih membela …
Yang salah, diputus salah …
(syair lagu khosidah yang saya sudah lupa apa judulnya. Bila anda belum pernah mendengar lagu lama ini, silahkan telpon ke +623170686988, saya akan mendendangkan lagu tersebut. Asal, anda sudah siapkan segumpal kapas)

Saya beberapa waktu belakangan ini suka mengenal lagu-lagu yang mencerminkan ungkapan hati pencipta dan secara bersamaan juga ungkapan hati orang-orang yang menggemarinya. Saya yakin, bila kita menyukai sebuah lagu, selain karena solmisasi tapi juga ide dasar dari lagu tersebut.

Termasuk lagu yang sengaja saya kutip sairnya di awal tulisan. Coba anda baca lebih teliti isi dari lagu tersebut. Walaun tersangka adalah anak, adik atau keponakan sendiri, tidak mempengaruhi keadilan dan keputusan yang hendak diambil. Komentar saya tentang lagu tersebut adalah RUARRR BIASA….

Bayangnya, hukum pun tetap berpijak pada siapa yang benar walaupun seluruh anggota keluarga terlibat dan berperan dalam proses mencari keadilan. Kalau di dunia nyata, mana bisa? Di alam nyata, hubungan sahabat saja sudah cukup kuat untuk mengintervensi hukum agar berpihak pada hal yang menguntungkan. Bukan pada hal yang benar.

Atau sekedar mengingatkan tentang lagu slank yang sempat mengundang kritikan dari kalangan DPRD terkait dengan kutipan syair-syairnya. Belasan tahun lalu, Doel Sumbang pun sempat mengalami pencekalan akibat syair-syair lagu yang dianggap porno. Penyanyi lain yang juga pernah merasakan pencekalan adalah Iwan Fals, Gombloh yang penyanyi asli Surabaya sendiri juga mengalami hal tersebut.

Bicara tentang lagu, saya teringat kembali semasa SMA kelas 1 dan sangat naksir kepada teman sekelas saya. Saat itu, bersamaan muncul album dari Tito Sumarsono dengan judul ‘Untukmu’. Merasa cocok dengan isi hati, saya pun membeli kaset tersebut dan menjadikan kado kepada teman yang saya taksir. Saat itu dia tetap tidak mau menerima cinta saya dan baru 5 tahun kemudian, setelah lagu itu hilang dari pendengaran, dia menerima cinta saya.

Sayangnya, jodoh tidak mempertemukan kami di mahligai perkawinan. Sejak saya menikah dan dia menikah, lagu yang dia suka pun berubah menjadi RINDU YANG TERLARANG yang dinyanyikan oleh Broery Pesolima dan Dewi Yull.

Beberapa waktu lalu, kami sempat bertemu dan dalam perbincangan beberapa kali, dia pun merubah lagu wajibnya dengan mendendangkan bait.. JADIKAN AKU YANG KEDUA, ASALKAN DIRIKU BAHAGIA…(*)

Jumat, Juni 20, 2008

Istrimu Ibarat...

Kamis, 19 Juni 2008 malam, ada komentar dari seorang teman sekaligus sahabat saya yang kebetulan menjadi perwira polisi. Dia memaklumi apa yang saya lakukan, malam itu walaupun sebenarnya kami (ada beberapa wartawan lain) yang janjian ketemu dan menghabiskan malam. Dia mengatakan, jihad fisabillah (berjuang di jalan Allah). Opo hubungane? Mudeng apa puyeng, sampean?

Saya jadi teringat tentang sebuah kisah lama yang saya dengar kali pertama dari rekaman dahwah KH Zainuddin MZ, dai sejuta umat. Begini ceritanya, sekedar mengingatkan anda yang mungkin saat Zainuddin memberi ceramah, anda sedang tidur.

Kisah itu bermula dari kedatangan seorang sahabat kepada Nabi Muhammad dan mengaku telah membuat kesalahan besar. Berikut dialog antara Nabi Muhammad SAW dan sahabat tersebut, disarikan ulang dari dahwah sang dai kondang.

Sahabat : Ya, Rasul, saya semalam telah melakukan dosa besar.
Nabi : Dosa apakah yang telah engkau lakukan, wahai sahabatku?
Sahabat : Saya semalam telah membalik kendaraan saya (arti membalik kendaraan saya, seperti dikutip ulama tersebut adalah menyetubuhi istrinya dari belakang).

Kalau bahasa saya, mungkin lebih tepat dan lebih pas dengan istilah doggy style alias gaya anjing. Saya berpikiran mungkin Zainuddin tidak kenal istilah itu atau sang sahabat tersebut terlalu malu untuk mengucap hal vulgar seperti saya, yang hanya SAHABAT ORANG BIASA SAJA.

Kembali ke dialog Nabi dan Sahabatnya tersebut. Sesaat mendengar pengakuan sahabatnya, Nabi terdiam dan akhirnya mengeluarkan sabdanya, Istrimu ibarat ladang bagimu, datangi sesukamu dari arah mana saja, tapi jauhi dua hal. Yaitu dubur dan waktu haid.

Jujur, dari beberapa rekaman kiai tersebut, cerita ini sangat saya kenal dan saya pahami. Hadist ini pula yang saya ajukan kepada istri saya saat dia menolak bercinta dengan cahaya kamar yang terang. Dia juga pernah menolak saat saya hendak mencium dan menjilat bagian tersensitifnya.

Dengan hadist itu pula, akhirnya saya sekarang leluasa melakukan apa saja kepada ladang, eh... istri saya. Mau miring, tengkurap, tengadah seperti posisi lama atau malah ladang berada di atas saya, semua sudah pernah.

Sekarang, istri saya sudah menjelma menjadi istri orang modern, khusus untuk saya, petaninya. Tidak sekedar melumah, mbegagah, pasrah. Kini sering kali dia melengkapi itu semua dengan bilang aah... ahh... ahh. Hebat bukan?

Minggu, Juni 08, 2008

Wak... kakakak

Hari ini saya baru saja bertemu dengan teman yang sudah lama tidak berjumpa. Saya sangat senang karena memang teman saya ini dikenal sebagai teman yang cukup kontroversi. Malah sebagian diantara kami menyakini kalau dia sebenarnya sudah nyaris menjadi atheis.

Saya sendiri sudah yakin andai lebaran dia tidak pulang ke kampung halaman, dia tidak akan sholat idul fitri. Malam itu, kami melepas rindu dan juga melepas kepenatan pekerjaan sehari-hari. Awalnya, kami membahas tentang BBM yang naik tapi tak lama kemudian berganti tentang bursa taruhan piala eropa.

Hanya saja, akhirnya kami pun bosan dan mulai nyerempet tentang agama. Sebenarnya saya sudah menolak sejak awal karena materi ini materi yang cukup berbahaya. “Agama tidak harus ditelan mentah-mentah. Tuhan saja membebaskan umatnya berusaha mencari kebenaran kok, kenapa Kamu yang marah-marah,” kata teman saya -sebut saja inisialnya cmt-.

Akhirnya karena memang sudah terdesak, saya pun tidak mau berdiskusi panjang dengannya. Maklum, selain pikiran saya sudah tidak fresh, malam sudah cukup larut. Rokok mulai habis hingga mulut pun beberapa kali menguap.

“Rukun Islam itu ada lima, Shahadat, Sholat, Zakat, Puasa dan menunaikan Ibadah haji bagi yang mampu. Benar apa betul,” kata Cmt dengan logat ala Zainuddin MZ. Tentu saja karena memang benar, kami pun diam dan tersenyum menunggu apa yang akan dikatakannya.

Tak lama kemudian, dia mempertanyakan mengapa yang mendapat sebutan kok hanya yang bisa menunaikan haji. “Seseorang akan dipanggil wak haji bila sudah pernah ke mekah. Haji sekarang sudah beda dengan haji jaman dulu, men. Sekarang ada haji yang buka rumah bordir di Dolly. Ada haji yang jadi penadah maling. Haji sudah bukan bukti kalau orang itu suci,” cerocosnya.

Merasa mendapat angin, Cmt terus melanjutkan ocehannya. “Seharusnya, kalau memang haji disebut dan dicantumkan sebagai embel-embel di depan nama seseorang, seharusnya ada juga Wak Shahadat untuk yang masih hanya bisa membaca shahadat. Wak Sholat untuk yang sudah bisa sholat. Wak zakat yang sudah bisa bayar zakat dan wak puasa yang sudah bisa menunaikan puasa. Baru kemudian saya terima bila ada yang dipanggil atau memanggil seseorang dengan Wak Haji,” katanya bak peluru senapan mesin menyerang musuhnya.

Kami pun terdiam sejenak dan memikirkan wak apa yang pantas bagi kami. Mas Budi, yang sekarang bekerja sebagai juru tagih bank, saya kira layak dipanggil dengan Wak Puasa. Mas Heri yang jadi tukang parkir di sebuah ruko, layak dipanggil dengan Wak Zakat karena saya tahu, dia jarang puasa di bulan ramadan dengan alasan musafir. Sedang Dik Rudi yang hingga kini masih belum mapan dan lebih banyak tergantung kepada kami semua layak disebut sebagai Wak sholat.

Lalu Cmt yang sekilas memang tampak jauh dari Tuhan tersebut, saya dengar sempat berucap kalimah syahadat setelah menyerang kami dengan racunnya. Bolehlah dia disebut wak shahadat. Lalu untuk saya yang belum sempat melakukan apa-apa tinggal Wak... kakakak.

Senin, Juni 02, 2008

Pancasila Cinta Laura

Dunia Indonesia semakin aneh saja. Satu dari sekian banyak contoh unik nan menarik adalah peringatan hari lahirnya Pancasila (dasar negara) yang jatuh pada 1 Juni 2008. Peringatan tersebut diprakarsai oleh Guruh Sukarno Putra (anak dari sang proklamator sekaligus Presiden pertama RI) di rumahnya. Bukan masalah siapa yang mengadakan, dimana dan dengan uang siapa peringatan tersebut digelar.

Tapi yang cukup menggelitik saya adalah orang yang membacakan teks Pancasila adalah Cinta Laura, artis muda cantik yang dikenal dengan logat luar negerinya –kalau tidak salah, dia mengaku ada darah Jerman-. Untuk yang belum pernah dengar dialegnya, mirip logat belanda dalam ketoprak kita. Bedanya, tidak pakai ekstrimis dan inlander..

Saya pribadi bukan protes dengan penunjukkan petugas yang membaca teks pancasila. Tapi saya kaget karena dalam tayangan di infotament, sang Cinta Laura mengaku belum pernah membaca pancasila. Ini karena selama hidupnya, Cinta sekolah di sekolah internasional yang hanya menerapkan 1 jam seminggu untuk pelajaran PMP (Pendidikan Moral Pancasila) -sekarang diganti dengan PPkN- dan 1 jam untuk Bahasa Indonesia. Maklum, sekolah ini banyak orang keturunan bulenya daripada turunan lokal.

Dalam tayangan infotaiment tersebut, Cinta lagi-lagi dengan sangat yakin bahwa pernah membaca atau malah hafal Pancasila bukan jaminan sebagai warga negara yang baik. Menurutnya, pengabdian terbaik adalah apa yang bisa dilakukan untuk negara dan bukan hafalan-hafalan tersebut. Benarkah?

Saya lalu mencoba membandingkan apa yang dilakukan Cinta saat membacakan Pancasila dengan kasus lain. Andai dalam sebuah pengajian, yang membacakan ayat-ayat suci Al Qur’an adalah seorang muallaf yang belum fasih membaca Al Qur’an. Padahal, dalam pengajian tersebut hadir orang-orang yang fasih dan mungkin hafal ayat-ayat suci tersebut, bagaimana komentar anda?

Atau contoh lain, dalam sebuah misa kebaktian yang memberikan pemberkatan adalah hamba Tuhan yang baru dibukakan hatinya, tentu akan cukup janggal. Terlebih bila dalam misa kebaktian tersebut dihadiri banyak hamba Tuhan yang sudah menerima Tuhan sebagai pengiring dan penebus dosanya.

Atau mau contoh yang lebih vulgar lagi? Bayangkan bila dalam sebuah kelas yang seluruh muridnya sudah lulus SD kemudian yang berdiri di depan kelas adalah anak TK yang baru belajar membaca, bisakah. Bukan tidak mungkin, kelas tersebut akan cepat jenuh. Ini karena :
Pe A N, PAN. Ce A, CA. Es I, Si. El A, LA. PANCASILA..
Es A, SA. Te U, TU. SATU. Ka E, KE. Te U, TU. Ha A N, HAN. Ye A NG, YANG. Em A, MA. Ha A, HA. E Es A, ESA. Dst... Dst..

Tapi bagaimana pun, PANCASILA tetap CINTA LAURA.

Minggu, Juni 01, 2008

Gombal Warming

Tadi pagi, saya berangkat kerja dan melintas di dekat proyek pembangunan jalan layang alias tol di sekitaran Bunderan Waru (Sidoarjo). Saya melihat puluhan truk yang datang membawa tanah uruk untuk persiapan pembangunan pengembangan jalan tol tersebut.

Setiap hari, saya memang melintasi jalan tersebut dan baru tadi pagi saya terlintas pertanyaan. Darimana tanah uruk tersebut diambil? Dimana ada pabriknya, bila tanah urug tersebut diproduksi. Tentu saja, hanya ada jawaban bahwa tanah uruk tersebut adalah hasil dari pengerukan gunung kecil yang ada di Jawa Timur, sekitaran Surabaya.

Saya kemudian teringat dengan luapan Lumpur Lapindo Sidoarjo yang juga membutuhkan banyak tanah urukan untuk pembangunan tanggul dan penguatan tanggul agar luberan lumpur bisa dilokalisir. Pertanyaannya juga sama, darimana tanah-tanah tersebut diambil? Tentu saja dari gunung-gunung yang dikeruk tanahnya hingga rata.

Saya kemudian tertarik dengan kejadian pengerukan gunung-gunung tersebut. Malah yang saya dengar dari sejumlah pecinta alam, Gunung Penanggungan yang memang dikenal sebagai gunung terkecil di gugusan kawasan Pandaan, sebagian sudah growong karena banyak dikeruk dan dibawa ke kota.

Andai gunung itu hilang, tentu saja manusia yang paling merugi. Pasalnya, akibat gunung yang hilang, luasan tanah yang bisa ditempati akan berkurang. Anda mungkin sedikit bingung. Begini, bila gunung tersebut masih berdiri kokoh, maka luasan tanah yang bisa ditempati adalah dengan menghitung luas bangunan kerucut yaitu luas lingkaran kaki gunung dikali tinggi dibagi 3. Jumlah ini akan berkurang jauh bila kerucut tersebut hilang hingga luasan tanah yang bisa ditempati hanya seluas lingkaran kaki gunung.

Pertanyaan yang menggelitik lainnya adalah aliran lumpur yang Lapindo yang dibuang ke laut lewat Kali Porong. Dampaknya, tentu saja akan terjadi pendangkalan laut yang akan membuat permukaan air laut bertambah tinggi. Ketinggian air laut akan bertambah bila kita menyakini telah terjadi global warming di kutup utara dan selatan terjadi pencairan salju abadi di sana.

Pendangkalan laut ini akan semakin gila bila ditambahkan variabel lain termasuk kikisan tanah sepanjang sungai yang tanahnya gundul. Tumpukan sampah yang juga terbawa aliran sungai sampai dengan pembangunan jembatan antarpulau (termasuk Suramadu) yang secara teori juga mempengaruhi ketinggian permukaan air laut (salah satu benda yang mempengaruhi ketinggian air laut termasuk kaki pondasi jembatan tersebut). Contoh sederhana adalah segelas air bila dimasuki benda, permukaan airnya akan naik.

Bayangkan, kalau semua variabel tersebut berpengaruh, bukan tidak mungkin pulau-pulau kecil akan tenggelam dan luasan pulau yang kita tempati akan semakin sempit. Jelas khan? Luasan tanah tersebut semakin sempit karena sudah banyak gunung yang habis dan rata dengan tanah.

Lalu ketika semua unsur alam semakin mengancam kita, baru kemudian ada peringatan global warming. Banyak pihak yang mulai kelabakan dan melakukan upaya penyelamatan mulai dari penanaman pohon, produk ramah lingkungan sampai dengan stop makan daging. Ah... global warming benar-benar GOMBAL!!!!