Sabtu, Agustus 22, 2009

BENDERA

Siapapun di kampung kumuh itu tahu, siapa lelaki tua berusia 70 tahunan yang kakinya pincang itu. Siapa saja juga mengenal benar sosok tua yang hidup sebatang kara di kamar kos yang sudah dihuninya hampir 15 tahun belakangan ini. Dia adalah Mbah Joyo yang mereka tidak diketahui asal aslinya.

Tapi orang mengenalnya sebagai orang buangan di negeri ini, Negeri Antara. Padahal sebenarnya, bila tahu perjalanan panjang hidupnya hingga akhirnya terdampar jauh dari tanah kelahiran, semua orang akan menyanjung, memuja atau bahkan memanjakannya. Aku sendiri adalah tetangga kos yang juga sama-sama merantau di tanah orang.

Sama seperti Mbah Joyo, aku pun sudah hampir 5 tahun ini bertetangga dengannya. Pekerjaan yang layak belum juga aku dapatkan walau gelar sarjana sudah aku sandang, membuat aku hidup nyaris sama dengan Mbah Joyo. Aku mengandalkan penghasilan dengan bekerja serabutan, sedang Mbah Joyo mengandalkan uang pensiunan veteran yang hanya cukup untuk makan layak selama 20 hari saja, setiap bulannya.

“Makan itu hanya untuk sekedar hidup. Toh mungkin aku sebentar lagi juga akan mati,” selalu begitu setiap aku tanya mengapa hanya makan nasi putih dan krupuk serta garam saja. Aku sering kali pula mengelus dada dan menghela nafas panjang dan dalam setiap kali dia menjawab seperti itu. “Andai aku bisa melakukan sesuatu untukmu, Mbah,” batinku.

Hari-hariku yang lebih banyak luntang lantung membuatku sering berbincang dengan Mbah Joyo. Dari cerita-ceritanya, aku akhirnya tahu siapa Mbah Joyo. Dia adalah satu dari sejuta rakyat Negara Antara yang menjadi penjuang di masa perang. Mbah Joyo adalah rakyat yang semasa penjajahan dulu berjuang demi kemerdekaan. Tidak lebih..

Malah akibat perjuangannya yang dianggap berbahaya, Mbah Joyo harus diasingkan dari tanah kelahiran dan dibuang di sini, kota yang dulu semasa penjajahan masih berupa hutan dan tanah rawa.

Setahun lalu, menjelang bulan kemerdekaan, aku sempat ngobrol lama dengan Mbah Joyo tentang perjuangan dan patriotismenya. Dia cerita tentang kejamnya penjajah yang telah menghina dan hagra diri bangsa. Keinginan merdeka dan bebas menentukan keinginannya, membuat Mbah Joyo muda bangkit dan melawan.

Mbah Joyo juga menceritakan, akibat perjuangannya mengumpulkan anak muda di kampungnya, dia pun ditangkap kemudian diasingkan. Pun di tanah rantau ini, Mbah Joyo tetap melanjutkan perjuangannya, kendati dengan cara yang berbeda. “Bertahan hidup untuk melihat kemerdekaan dan menikmatinya,” katanya.

Kecintaannya kepada Negeri ini sudah tidak perlu diragukan. “Asal benderanya sama dengan bendera yang aku bela dulu, dia adalah ibu pertiwiku dan aku mau mati di dalam pelukannya,” katanya sambil membentangkan bendera yang sudah usang.

Saat itu memang Mbah Joyo akan mengibarkan bendera kebanggaannya. Bendera dengan warna dasar merah dan logo 3 bintang di sudut kiri atas, sudah tak berwarna lagi. Merahnya sudah sangat memudar..

&&&

Setahun ini, waktu berlalu terlalu cepat. Tidak ada kejadian yang sangat hebat yang membuat aku atau Mbah Joyo mentas dari kos-kosan di kampung kumuh ini. Aku tetap dengan pekerjaan serabutan, sedang Mbah Joyo tetap dengan cara berhematnya, jatah 20 hari digunakan untuk 30 hari. Selama itu pula, aku dan Mbah Joyo sering berbincang di depan kamarku atau kamar dia. Kamar yang sempit sudah tidak memungkinkan lagi ditempati kursi tamu.

Kami ngobrol banyak hal. Semuanya apa yang terjadi di negeri yang dipujanya sampai mati itu. Seringkalipula Mbah Joyo terlihat menerung usai berbincang denganku. Kalau sudah begitu, pasti jumlah rokok kretek murahan itu akan semakin banyak dihisap mulut tanpa gigi itu.

Seperti 6 bulan lalu, saat gencar-gendarnya berita tentang seorang polisi yang akhirnya menembak mati atasannya sendiri. Padahal saat itu sang atasan sedang menegur karena ulahnya yang dianggap mencoreng korpsnya. Tapi polisi itu merasa terusik harga dirinya dan membayar dengan menembakkan pistol Colt 38 ke arah kening atasannya.

Kami ngobrol banyak hal. Mulai dari harga diri yang diyakini sang polisi itu dan harga diri Mbah Joyo yang mungkin artinya akan jauh berbeda. Bagi polisi itu, harga diri adalah kehilangan rasa hormat dari anak buahnya. Sedang untuk Mbah Joyo, harga diri adalah kehormatan itu sendiri.

Malamnya, aku yang juga tidak bisa tidur mencoba keluar mencari angin. Di halaman kos-kosan yang biasa digunakan untuk menjemur pakaian, aku melihat Mbah Joyo duduk termenung dan merokok. Malam itu, aku pun menghampirinya.

“Lha iya.. kok ada polisi seperti itu. Diingatkan agar lebih baik, tapi malah tidak terima. Kalau dia ngomong tentang harga diri, apa dia ndak mikir tentang harga diri atasannya. Bagaimana penilaian orang bila seorang pimpinan tidak menegur atau memperbaiki hal yang salah,” katanya dengan nada tanya.

Aku? Yang masih muda dan tidak banyak pengalaman selain sering menahan lapar karena tidak punya uang, tidak bisa menjawab. “Andai polisi itu ketemu denganku, mungkin tidak perlu dia sendiri yang membunuh atasannya. Aku akan melakukannya dengan imbalan uang. Bukankah polisi adalah salah satu profesi yang digemari karena bisa banyak uang,” kataku dalam hati. Aku takut Mbah Joyo akan marah bila mendengar omonganku itu.

Malam itu sampai menjelang fajar, kami duduk berdampingan tapi tidak banyak perbincangan. Kami sama-sama tenggelam dalam lamunan masing-masing. Mungkin Mbah Joyo menyesalkan tindakan polisi yang terlalu emosi dan tidak mawas diri, sedang aku menyesalkan kenapa polisi itu tidak bertemu denganku, sebelum penembakan itu.

Diskusi panjang kembali kami lakukan sekitar 2 bulan lalu. Siang harinya, kami sama-sama melihat tayangan televisi tentang seorang anggota dewan perwakilan rakyat yang diamankan setelah menerima suap dari sebuah perusahaan yang akan mengalihkan hutan lindung menjadi hutan indutri.

Malam itu, Mbah Joyo kembali mengatakan kata hatinya. Kekesalan tampak jelas di kalimat-kalimatnya. Tampak jelas pula kekecewaan dalam keluhannya tentang negeri yang dicintainya itu. “Sungguh bukan seperti ini yang saya harapkan dalam kemerdekaan. Saya dan teman-teman seperjuangaan dulu memang ingin kekuasaan tertinggi ada di tangan rakyat. Tapi kalau seperti ini, apa mungkin tercapai,” katanya dengan nada tanya.

Memang mereka adalah para wakil rakyat yang seharusnya berjuang demi kepentingan rakyat yang mereka wakili. “Tapi apa kenyataannya. Mereka sudah kadung keenakan duduk di kursi empuk dan melupakan tuannya. Rakyat adalah tuan mereka karena 1 anggota dewan akan mewakili sekian puluh ribu rakyat,” gumamnya sambil menyulutkan rokok kretek ke mulut tanpa giginya.

Sedang aku? Malam itu sama seperti malam-malam perbincangan kami. Tidak banyak yang bisa aku katakan untuk mengimbangi omongan dan gugatan Mah Joyo atas apa yang terjadi di negeri ini. “Mboh.. mbah… semua ini sudah berlangsung lama dan terus menerus.Rrakyat sendiri akan menjadi raja menjelang pemilihan. Rakyat sendiri juga sampai sekarang masih mau dibohongi dengan janji-janji mereka selama kampanye,” kataku sekenanya.

Malam itupun berlalu seperti biasanya. Mbah Joyo tetap mengumandangkan kekesalan, kekecewaan dan aku hanya bisa menghela nafas dalam dan berat. Kalau pun aku jawab, itupun hanya jawaban sekenanya.

&&&

Lalu hari-hari pun berlanjut dan kadang juga diselingi dengan malam dimana aku dan Mbah Joyo kembali duduk di dekat jemuran dan berbincang tentang segala hal yang pincang di negeri ini. Di setiap malam-malam itu, aku sering mendengar keluhan dan kekecewaan Mbah Joyo.

Aku harus selalu menelan ludah dan membenarkan apa saja yang diomongkan Mbah Joyo. Tentang seorang hakim yang akhirnya terjungkal dari jabatannya karena menjual hukuman yang akan dijatuhkan. Juga tentang seorang guru ngaji yang telah memperkosa santriwati kemudian membunuhnya.

Mungkin lain kali, kalian juga harus dengar tentang omongan Mbah Joyo tentang seorang bupati yang dengan kekuasaannya mengobrak rakyatnya yang tinggal di pinggir kali. Atau tentang obrakan pelacur jalanan yang terpaksa karena tidak ada pabrik yang menerima mereka.

Atau tentang perlakuan para pengusaha yang dengan seenaknya sendiri menentukan berapa gaji yang dibayarkan kepada buruhnya, tanpa peduli berapa kebutuhan minimal untuk hidup layak. Juga tentang dokter yang dengan seenaknya sendiri menentukan obat yang akan diberikan kepada pasiennya. Pemberian obat bukan karena demi kesembuhan si pasien tapi karena kerjasama sang dokter dengan perusahaan farmasi.

Setiap kali usai mendengarkan keluhan dan umpatan kekesalan Mbah Joyo, aku semakin kagum dan semakin merasa dekat. Malah sangat dekat dengannya. Sampai akhirnya, terlintas dalam pikiranku sebuah keinginan untuk memberikan sesuatu yang mungkin akan menyenangkannya. Sebuah bendera baru untuk dikibarkannya di hari kemerdekaan negeri yang sngat dicintainya itu.

Keinginan itu sengaja aku simpan karena ingin memberikan kejutan untuknya. Untuk lelaki yang tidak ada ikatan darah apapun dengannya dan sudah aku jadikan ibu, bapak, kakak, adik, dan kakekku sendiri. Aku berharap bendera yang akan aku berikan itu bisa membuatnya senang karena aku sangat tahu bendera miliknya sudah sangat usang. Bendera yang selalu dipasang setiap hari kemerdekaan itu sudah kehilangan warna merahnya dan berganti dengan warna pudar.

Beruntungnya lagi, seminggu sebelum hari kemerdekaan banga ini, aku mendapat proyekan yang lumayan. Seorang dosen memintaku membersihkan gudang miliknya yang akan dijadikan ruang perpustakaan. Enaknya, seluruh isi gudang tersebut boleh aku ambil disamping sang dosen itu juga memberiku upah yang lumayan.

Dan setelah pekerjaan itu usai, aku masih bisa sisihkan uang untuk membeli bendera. Sengaja bendera yang aku beli, aku pilihkan yang ukurannya besar dengan harapan akan membuat perasaan senang Mbah Joyo juga akan semakin besar.

&&&

Malam ini aku pulang dengan membawa bendera yang akan aku berikan kepada Mbah Joyo. Sampai di kos-kosan, aku melihat kamar Mbah Joyo sudah tutup dan lampunya pun sudah dimatikan. Tidak mau membangunkan lelaki tua yang bersahaja itu, aku pun bergegas masuk ke kamar ku sendiri dan tidur. “Aku harus bangun subuh dan memberikan bendera itu sebelum Mbah Joyo mengibarkan bendera lamanya,” gumamku.

Tapi sampai subuh menjelang, mataku tak juga berhasil aku pejamkan. Bayangan tentang cerita perjuangan Mbah Joyo dan teman-temannya datang silih berganti dengan kepincangan yang ada di negeri ini. Bagaimana mungkin, negeri ini telah melupakan arti perjuangan para pahlawannya.

Sampai subuh menjelang dan jam sudah menunjukkan pukul 06.00, Mbah Joyo belum juga tampak keluar kamar. Aku yang menunggu lelaki itu keluar pun mulai jenuh dan penuh tanya karena tak biasanya Mbah Joyo bangun sesiang itu.

Akhirnya aku pun beranikan diri mengintip kamarnya. Tapi apa yang aku lihat sangat mengejutkanku. Aku melihat Mbah Joyo terbaring di tempat tidur bersimbah darah. Di tangannya, aku melihat bendera usangnya tergenggam di tangannya.

Aku panik dan mengundang perhatian penghuni kos-kosan murah itu. Tak lama kemudian, polisi pun datang dan membuka paksa kamar Mbah Joyo. Aku sempat menyeruak masuk ke dalam kamar mbah Joyo dan melihat dengan mata kepalaku sendiri. Aku melihat tangan kiri Mbah Joyo menggenggam bendera dan terlihat luka sayatan di pergelangan tangannya.

Aku juga menemukan selembar kertas yang tergeletak di samping mayatnya. Sebuah tulisan singkat terbaca di atasnya dan aku pun menghela nafas panjang. Di kertas itu tertulis ‘Aku hanya ingin bendera ini kembali merah’.