Jumat, Maret 23, 2012

Narkoba, Tuntutan dan Anggaran

Narkoba, sebenarnya sudah nyaris menjalar di mana-mana. Memasuki hampir semua sendi profesi dan lapisan masyarakat. Sudah pekak telinga kita mendengar mulai dari artis (bintang film, penyanyi dan komedian), politisi sampai dengan pejabat yang tertangkap karena mengkonsumsi narkoba –yang paling populer- Ineks dan shabu-shabu. Lalu apa menariknya lagi bila kasus ini terulang?

Terakhir adalah ditangkapnya Raka Widyarma, 20 thn, anak angkat dari Wakil Gubernur Banten, Rano Karno pada hari Selasa (6/3/2012) karena memesan 5 butir narkoba jenis ekstasi via online. Sebenarnya Raka bukan siapa-siapa. Dia bukan artis, bukan politisi dan bukan pejabat. Dia hanya sekali lagi hanya anak angkat dari seorang Rano Karno.

Hanya saja, nama Raka akan dihubungkan dengan Rano Karno yang pernah menjadi artis, politisi dan sekarang menjadi pejabat. Terlebih banyak orang terbayang dan menghubungkan sosok Rano Karno dengan sosok si Doel, yang diperankan Rano Karno. Sosok Doel yang tukang insinyur inilah yang sangat melekat pada sosok Rano Karno. Saya sendiri sangat yakin, kemenangan Rano di Propinsi Banten tak lepas dari sosok Doel, pemuda sederhana dan bersahaja.

Kembali ke masalah narkoba. Sebenarnya banyak jenis narkoba yang beredar di Indonesia. Dari setiap jenisnya akan kembali dibagi ke tingkat kualitasnya. Sebut saja putauw, shabu, ineks dan ganja, sudah banyak beredar di pasaran Indonesia dan menyeruak masuk di antara tempat hiburan malam. Dari sekian jenis narkoba tersebut, hanya shabu dan ineks yang menempati urutan teratas dalam jumlah konsumsi dan daya serap di pasaran.

Semakin intens polisi memeranginya, semakin unik cara pemasarannya. Awalnya, narkoba diperdagangkan secara langsung seperti jual beli permen yaitu antara pembeli dan penjual, bertemu langsung dan bertukar uang dengan ‘barang’. Tapi setelah modus ini terendus petugas dan satu demi satu, pengedarnya dibekuk, mereka pun merubah cara memasarkannya.

Ada cara yang disebut dengan ‘ranjau’. Cara ini adalah pembeli menyerahkan uang kepada pengedarnya dan ’barang’ akan diletakkan di suatu tempat. Dengan cara ini, andai sang pembeli adalah polisi yang undercover buy, akan kesulitan menemukan barang bukti. Tanpa barang bukti, tidak akan ada perkara karena polisi jelas tidak bisa menahan sang penjual narkoba tersebut.

‘Barang’ akan diletakkan di suatu tempat yang akan diberitahukan sang penjual kepada pembeli, sesaat kemudian. Tentu saja, setelah posisi penjual merasa aman alias tidak bakal terkejar lagi. Ada barang bukti tapi tanpa tersangka, tentu saja ini tidak akan menjadi perkara.

Lalu, bisnis ini kemudian menciptakan ‘penghubung’ antara pembeli dan penjual yang juga biasa disebut kurir. Celakanya, kelompok inilah yang kemudian semakin banyak jumlahnya mendekam di tahanan polisi. Kelompok yang kadang hanya ikut dalam jaringan karena keuntungan yang kecil berupa uang atau pun keuntungan kecil lainnya yaitu ikut mencicipi ‘barang’ tersebut.

Pada kelompok ini memang ditemukan cukup unsur untuk dilakukan pemeriksaan lebih lanjut. Ada tersangka, ada barang bukti. Lengkap sudah untuk diberkas kemudian dilimpahkan ke Kejaksaan lalu disidangkan. Proses penegakan hukum akan dikatakan berakhir sempurna bila kasus tersebut sudah diputuskan dalam persidangan, apapun keputusan dari Majelis Hakim.

Lalu, seiring dengan perkembangan jaman, perdagangan narkoba pun dilakukan di dunia maya. Pembelian narkoba secara online. Inilah yang terjadi pada kasus pengungkapan atas Raka Widyarma, anak angkat Rano Karno. Setelah Raka tertangkap dan diakui membeli ineks lewat jalur Online, apakah kemudian polisi berhasil membekuk penjualnya. Saya sendiri tidak terlalu yakin kalau penjualnya akan ditangkap. Kisah ini akan sama dengan ribuan kasus pengungkapan yang lainnya dimana hanya pengguna dan kurir yang diamankan polisi.

Sangat jarang –terlalu sangat jarang- bila terdengar kabar pengungkapan sebuah pabrik shabu atau pun ineks di Indonesia. Sesekali kita mendengar penggagalan upaya penyelundupan narkoba di bandara. Anehnya, kendati sudah ada yang digagalkan, toh kebutuhan narkoba di dalam negeri, tetap saja tercukupi dan tetap marak. Salahkah saya bila tetap menyakini, di suatu tempat di suatu kota di Indonesia, ada yang memproduksi shabu atau pun ineks secara massal?

Tapi jangan pernah menanyakan tentang hati nurani bila lebih banyak kurir yang mendekam di tahanan polisi. Terlepas dari beban moral dan pertimbangan kemanusiaan dan kepatutan, toh negara sudah menyiapkan senjata ampuh untuk menjerat para kurir ini dengan hukuman yang cukup lama yaitu minimal 4 tahun dan maksimal 12 tahun. Tidak itu saja, UU nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika yang merupakan perubahan dari UU Nomer 5 tahun 1997 tentang Narkoba dan Psikotropika serta penyempurnaan dari UU Nomer 22 Tahun 1997 tentang Narkotika dan menjadi UU Nomer 35 tahun 2009 tentang Narkotika, memberikan kewenangan akan hal itu.

Dalam pasal 111 dan 112 uu nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika, selain minimal 4 tahun penjara dan maksimal 12 tahun penjara, hukuman denda sudah disiapkan dijeratkan. Pidana denda paling sedikit Rp 800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah). Ruuaaaar biasa khan...?

Dengan pasal ini saja, sudah cukup untuk kepolisian menyatakan ‘say no to drug’ dalam tututan kinerjanya. Terlebih sekarang ini setiap kasus yang diungkap, negara menyediakan anggaran yang tidak sedikit. Satu Perwapu (Pertanggungjawaban Penggunaan Keuangan) dalam kasus narkoba kabarnya bernilai antara Rp 3 jutaan sampai dengan Rp 15 juta. Dengan catatan, kasus tersebut dilimpahkan ke Kejaksaan dan dinyatakan P-21 alias berkas sempurnya.

Senin, Maret 19, 2012

Preman..., Jelas Membingungkan

Sebenarnya preman adalah kata yang sudah lazim kita dengar. Operasi preman, mantan preman sampai dengan aksi premanisme. Kendati sering terdengar kata preman preman, tapi arti dan spesifikasi dari kata ini membingungkan. Kalau artinya saya sudah membingungkan, bagaimana kita bisa memberantasnya -bila dianggap meresahkan- dan mendukungnya -bila dianggap menguntungkan-.

Bila tidak percaya kalau arti dari preman masih membingungkan, coba anda tanya Wikipedia tentang preman. Di sana hanya ada 2 makna preman yaitu pengartian dari bahasa Belanda dan nama album dari Ikang Fauzy. Nah.., khan.

Saya ingin mengajak mengartikan preman yang diambil dari Bahasa Belanda -negara penjajah yang banyak mengukir aturan main di Indonesia-. Dalam Wikipedia tersebut dikatakan Premanisme (berasal dari kata bahasa Belanda vrijman = orang bebas, merdeka dan isme = aliran)[rujukan?] adalah sebutan pejoratif yang sering digunakan untuk merujuk kepada kegiatan sekelompok orang yang mendapatkan penghasilannya terutama dari pemerasan kelompok masyarakat lain.

Sangat aneh bila melihat arti preman dan premanisme walau selisih isme (aliran) yang akhirnya berjadi sangat berjauhan. Harusnya, bila ditambah dengan aliran, maknakan akan menjadi aliran orang bebas. Tapi mengapa justru premanisme diartikan dengan sosok pengompas atau tukang pukul? Sangat aneh, menurut saya.

Malah belakangan ini, kata ‘preman’ kembali mencuat mulai dari sosok Jhon Kei yang ditembak polisi dan dikaitkan dengan pembunuhan Ayung alias Tan Hari Tantono, bos PT Sanex Steel yang tewas di Swiss-Belhotel, beberapa waktu lalu. Polisi menyebutkan, dugaan motif ini karena fee jasa penagihan hutang, belum terbayarkan. Disebutkan pula oleh polisi, apa yang dilakukan Jhon Kei termasuk aksi premanisme.

Berita lain juga menyebutkan aksi penyerangan pelayat di Rumah Sakit Pusat TNI Angkatan Darat Jakarta juga hasil dari aksi premanisme. Dalam aksi tersebut, akhirnya mencuat nama Reny Tupessy, yang akhirnya berjuluk kill bill yang diambilkan dari salah satu judul film. Aksi Reny ini pun dikaitkan dengan premanisme.

Dan membicarakan preman, tentu akan muncul di benak kita sebuan nama yaitu Hercules. Nama ini dikaitkan dengan masa muda Hercules yang –lagi-lagi- dihubungan dengan aksi premanisme di kawasan Tanah Abang. Dalam masa mudanya, Hercules disebutan menjadi penguasa kawasan tersebut dan disebut raja preman. Kabarnya, Hercules sudah mengakhiri kehidupan liarnya dan memilih mendekatkan diri kepada Tuhan.

Lalu selain ketiga nama itu (Jhon Kei, Reny ‘kill bill’ dan Hercules), apakah masih ada nama preman lainnya? Kalau saya yang menerima pertanyaan itu, tentu saya akan menjawab, masih sangat banyak nama preman di Indonesia. Luar biasa banyaknya malah bila anda mau memasukkan asal disebut ‘preman’ dalam kelompok ini. Ada Tarjo, Parno, Tuji, Ronald, Bambang, Heru yang diamankan polisi di kawasan Stasiun Wonokromo Surabaya. Mereka semua terjaring dalam operasi preman oleh polisi. Atau anda bisa tambahkan nama-nama lain yang juga diamankan di stasiun, terminal di kota anda yang terjaring polisi dalam operasi preman.

Kalau anda menolak dan membantah mereka bukan preman, saya akan menjawab, kalau mereka bukan preman, mengapa mereka terjaring dalam operasi preman? Mereka itu jelas preman –bagi polisi- yang akhirnya menangkap dan mendata mereka. Lalu apa yang dilakukan polisi setelahnya? Mereka hanya didata lalu disidang tipiring (tindak pidana ringan) lalu mereka bisa kembali ke masyarakat setelah membayar denda atau pun tinggal di liponsos (lingkungan pondok sosial).

Untuk kelompok ini, apa arti dari preman bagi kepolisian. Ternyata definisi preman bagi kepolisian jauh lebih sederhana. Tanpa dilengkapi dengan kartu identitas saja sudah cukup untuk disebut preman. Malah dalam perkembangannya, para calo dalam sidang tilang sampai di loket pengurusan SIM pun, termasuk dalam kelompok preman versi polisi.

Padahal tidak punya KTP, sangat berhubungan erat dengan administrasi kependudukan. Kaum urban di kota besar pun akan mengalami masa menjadi ‘preman’ bila dia lama tidak pulang kampung dan mengurus bukti kependudukannya. Sedang untuk melebur menjadi warga kota, tentu dibutuhkan surat keterangan pindah dari asal.

Untuk calo. Apakah pekerjaan ini haram? Kalau tidak diharamkan, mengapa undang-undang manusia kemudian melarangnya dan memberi label ‘preman’ yang sangat menakutkan? Sangat tidak adil bila calo yang keberadaannya dibutuhkan oleh orang-orang yang sibuk dan dipekerjakan secara kesepakatan, harus diperangi.

Tentang premanisme, harus dipahamkan terlebih dahulu tentang makna dari preman dan premanisme. Apakah yang disebut premanisme adalah hal yang sedang atau telah dilakukan oleh 3 tokoh besar preman (Jhon Kei, Reny ‘Kill Bill’ dan Hercules) atau termasuk apa yang dilakukan oleh orang tanpa identitas tersebut. Dari sana lah, baru bisa dilakukan langkah untuk menanganinya. Baik itu memerangi –bila dianggap merugikan- atau pun menumbuhkembangkan –bila dianggap- menguntungkan.

Sekedar menambahkan saja koleksi arti dari preman yang tidak dijelaskan dalam Wikipedia. (Seragam) preman adalah baju putih, dasi merah dan celana hitam untuk seorang reserse dan dasi hijau tua untuk intel di lembaga kepolisian. Nah tentu arti preman bila dikaitkan dengan seragam (baju) ini akan semakin membingungkan orang tentang makna ‘preman’.

Sedang dalam Wikipedia, arti preman yang kedua adalah nama sebuah album lagu Ikang Fauzy di tahun 1987. Album ini sangat laris di era itu dan saya masih duduk di kelas 1 SMP. Sekedar mengingatkan saja, inilah syair dari lagu tersebut.

Pak cik pak pak..

preman preman oh oh..

Pak cik pak pak metropolitan
Pak cik pak pak..
preman preman oh oh..
Pak cik pak pak metropolitan..

Dari lorong-lorong yang sempit..
dalam kehidupan malam..
s'lalu siaga..
Setiap saat selalu sigap..
terjang bahaya..
Siapapun dihadapinya..

Sini preman, sana preman..
sedang beraksi..
Wajah dingin dan seram..
siap menerkam..
Jangan kau coba, kawan..
cari perkara..
Sejurus berarti petaka..
aaaaa....oww!..

Di zaman resesi dunia..
pekerjaan sangat sukar..
juga pendidikan..
Di sudut-sudut jalanan..
banyak pengangguran..
Jadi preman..
'tuk cari makan..

Di balik wajah yang seram..
tersimpan damba kedamaian..
Di balik hidup urakan..
mendambakan kebahagiaan..Bahagia...bahagia...bahagia...



Terakhir, titip saja ada ganjalan dalam hati saya tentang sebuah pertanyaan. Melihat arti dari syair lagu ini, mengapa waktu itu tidak dilarang beredar oleh pemerintah? Padahal di era yang sama, lagu Hati yang Luka oleh Betharia Sonata dilarang karena sangat cengeng. Apa artinya pemerintah lebih mendukung aksi ‘preman’ daripada ‘Hati yang Luka’?