Jumat, Agustus 10, 2012

Kejahatan dan Lebaran

Indonesia memang benar-benar negara dengan banyak musim. Mulai dari musim penghujan, kemarau sampai dengan musim rambutan, mangga dan –termasuk- musim kejahatan. Sudah nyaris menjadi hal yang bisa dipastikan bila menjelang lebaran atau pun tahun ajaran baru, angka kejahatan ini merangkak naik di angka yang fantastis.
Tindakan tegas pun kadang –terpaksa- dilakukan kepolisian untuk meredamnya. Seperti yang dilakukan oleh Polda Metro Jaya yang menembak mati perampok di Jl Raya Caman, Jatibening Baru, Pondok Gede, Bekasi, Selasa, 7 Agustus 2012.
Informasi dari Humas Polda Metro Jaya, petugas awalnya berhasil menghentikan kendaraan kawanan perampok itu. Namun para perampok itu sempat melakukan perlawanan sehingga petugas terpaksa mmenembak. Dua perampok pun tewas, sedangkan 4 orang lainnya diamankan petugas. Dari komplotan tersebut petugas menyita barang bukti 3 pucuk pistol, 2 golok, 1 linggis, dua sepeda motor, dua lakban, dan mobil Daihatsu Xenia.
Tensi tinggi kriminalitas juga sedang terjadi di Surabaya, kota kedua di Indonesia. Di kota Pahlawan ini, sedikitnya 2 kejadian yang melihatkan senjata api (senpi) yaitu perampasan senpi polisi lalu lintas yang disertai dengan penganiayaan dan perampokan SPBU (Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum) oleh perampok bersenpi.
Senin, 16 Juli 2012 sekitar pukul 23.30, saat berjaga di Pos Pol Margomulyo, Briptu Nyartam, didatangi lelaki yang menanyakan sebuah alamat. Tapi saat bhayangkara ini lengah, lelaki itu memukuli kepala dan merampas senjata apinya.
Selang beberapa hari kemudian, tepatnya Minggu 22 Juli 2012 sekitar pukul 10.30, SPBU di Kupang Jaya dirampok 2 orang bersenpi. Pelaku yang mengenakan penutup wajah ini sempat 2 kali menembak ke udara saat terdesak usai menjarah Rp 103.700.000. Terlepas apakah dua kejadian di Surabaya ini saling terkait atau tidak, biarkan polisi yang melacak dan menguaknya.
Kejahatan dan kebutuhan memang menurut saya saling terkait. Saat moment-moment dimana kebutuhan tinggi, akan dibarengi dengan meningkatnya aksi kejahatan. Ini karena aksi kejahatan tidak semata-mata untuk pemuasan hura-hura para pelakunya, tapi juga merupakan cara memenuhi kebutuhan hidup keluarga mereka.
Logikanya, sederhana saja. Setiap ada peningkatan kebutuhan, akan dibarengi dengan peningkatan kinerja untuk mengejar ‘upah’. Seorang sales pun akan lebih semangat untuk menjual produknya dan menjadikannya seakan-akan barang yang wajib dimiliki. Seorang buruh pun akan mencari jam lembur untuk menambah upah mingguannya.
Demikian juga seorang bandit yang memang menjadikan aksi kejahatan sebagai sebuah pekerjaan. Bila tidak meningkatkan kuantitas atau kualitas kejahatannya, darimana para bandit akan memenuhi kebutuhan keluarganya. Tentu saja, tidak pernah ada anggota keluarga yang mengetahui pekerjaan sang bandit. Terlebih tahun ini, tahun ajaran baru berbarengan dengan datangnya bulan puasa. Tentu saja, 2 moment tersebut sama-sama membutuhkan uang yang lebih daripada kebutuhan biasanya.
Bila menjelang peningkatnya kebutuhan, seorang sales dimaklumkan peningkatkan angka penjualan dan seorang buruh dimaklumkan pencari kerja lembur tentu juga harus dimaklumkan bila seorang bandit meningkatkan tingkat aksinya. Termasuk –harus- dimaklumkan bila seorang penulis, -biasanya- juga meningkatkan intensitas menulisnya.

Jumat, Agustus 03, 2012

Sekali lagi soal polisi dan ‘keunikannya’

Beberapa hari ini, hampir seluruh media di Indonesia menyajikan berita dugaan korupsi dalam pengadaan simulasi Surat Izin Mengemudi (SIM) di Korps Lalu Lintas. Ketika itu, Direktorat Lalu Lintas (Ditlantas) Mabes Polri masih dijabat Irjend Djoko Susilo. Banyak pihak tersentak. Sudah sedemikian parahkan budaya korupsi di kepolisian? Saya coba menceritakan apa yang Saya ketahui. Tentu tidak khusus membicarakan persinggungan antara kepolisian dan KPK dalam kasus ini, termasuk –yang dikatakan- miscomunication saat penggeledahan. Hanya cerita sederhana sepanjang apa yang Saya ketahui, Saya lihat dan Saya rasakan. Kendati sebagian perlu pembuktian lebih lanjut. Bicara aparat dan konspirasi, Saya teringat dua cerita. Pertama adalah kisah, yang diceritakan seorang sahabat perwira polisi. Tentang seseorang yang sangat miskin dan mengirim surat kepada Tuhan, minta uang Rp 500 ribu. Karena kebingungan, tukang pos kemudian mengantarkan surat tersebut ke kantor polisi. Karena kasihan, polisi ini memasukkan uang Rp.400 ribu yang ia punyai ke dalam amplop dan mengantarnya ke rumah si miskin. Begitu senangnya si miskin mendapatkan uang itu. Setelah membuka dan menghitung, si miskin kembali menulis surat kepada Tuhan. “Tuhan, terima kasih kiriman uangnya. Lain kali jangan dititipkan ke polisi ya? Pasti kena potong” tulisnya dalam surat kedua. Cerita kedua, Saya dengar dari seorang intel dalam obrolan di warung kopi. Diceritakan tentang keluhan pengusaha keturunan Tionghoa pada aparat keamanan. “Haiya.. lepot ada tamu aparat. Dikasih kopi, tidak diminum. Dikasih rokok, tidak dirokok. Dikasih duit, kopi diminum dan rokok dikantongi. Haiya...” Tradisi Dua joke di atas memang hanya sebuah guyonan. Namun semuanya menjadi cerita di masyarakat. Apa yang menyebabkan itu semua? Dari berbagai obrolan dengan polisi sahabat Saya, semuanya itu berawal dari tradisi bagi aparat yunior untuk melayani senior. Dimana pun dan kapan pun. Termasuk ketika sang senior datang ke sebuah kota, maka yuniorlah yang bertugas di kota tersebutlah yang menyediakan segala kebutuhannya. Kadang, termasuk biaya hotel dan perjalanan sang senior plus keluarganya. Dari mana seluruh biaya itu? Tentu saja –berani taruhan potong leher-, bukan dari uang gajinya yang jelas-jelas tidak besar itu. Uang gajinya jelas untuk kebutuhan rumah tangganya dan itu saja juga saya yakin masih kurang. Lalu darimana? Jelasnya, ada kewenangan yang akan dijadikan sebuah peluang bernilai rupiah. Sekadar membuka satu demi satu kemungkinan kewenangan yang berpeluang bernilai rupiah di luar lalu lintas. Sudah menjadi rahasia umum, di Lalu lintas, apa pun bisa dijadikan rupiah. Mulai dari plat nomor, SIM, STNK, BPKB, mutasi kendaraan, STNK/BPKB hilang sampai dengan nomor cantik, semuanya bisa dirupiahkan. Sebut saja pelayanan terdepan di kepolisian, yaitu Sentra Pelayanan Kepolisian Terpadu (SPKT). Di pos ini, kali pertama semua pengaduan masyarakat akan dilayani. Kendati tercantum tidak ada biaya yang dipungut, bukan jaminan tidak ada hilir mudik uang dalam pelayanan ini. Ruang pelayanan lainnya adalah Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK) dan perijinan kegiatan. Untuk ijin kegiatan saja, kita minimal membutuhkan ijin dari lokasi kejadian, rekomendasi dari Polsek setempat, rekomendari dari opsi lalu lintas untuk analisa dampak lalin, rekomendari dari Bagian Operasional (Bagops) untuk penentukan tenaga keamanan. Dan pada akhirnya, ijin dari intel Polres setempat. Hitung saja sendiri, sudah berapa meja yang harus dilewati untuk sebuah ijin kegiatan –terutama- yang berkaitan dengan kegiatan berbisnis. Hitung saja sendiri bila masing-masing meja membutuhkan berapa rupiah, berapa biaya untuk sebuah ijin kegiatan. Tahanan Tahanan kepolisian sendiri juga tetap rawan terjadi peredaran uang, kendati tidak resmi. Keluarga tersangka yang ingin keluarganya aman tanpa ‘kekerasan’, tentu akan mengeluarkan sejumlah uang keamanan. Tidak ada jaminan 100 persen bila uang keamanan ini tidak dirasakan para penjaga tahanan. Belum lagi kewenangan dalam pemeriksaan perkara. Ibarat mobil, pedal rem dan gas benar-benar dikendalikan polisi. Mau cepat ya monggo, mau lambat ya monggo. Tentunya lambat dan cepat, akan disesuaikan dengan hasil koordinasi. Banyak yang bisa digunakan untuk memperlambat atau mempercepat pemeriksaan perkara berpolemik. Mulai dari pemeriksaan saksi, tidak cukup bukti, butuh keterangan saksi ahli sampai dengan perlunya pemeriksaan bukti-bukti. Andai Anda sebagai pelapor dan dikatakan bahwa polisi masih melayangkan panggilan kepada saksi, Anda tentu hanya bisa mengangguk. Saat panggilan pertama dilayangkan dan saksi tidak datang, penyidik akan mengatakan akan melayangkan panggilan kedua. Setelah itu, penyidik akan melayangkan surat panggilan ketiga disertai dengan perintah membawa paksa. Tapi kalau ternyata yang dipanggil sudah keburu kabur, Anda tentu saja hanya bisa menelan ludah. Boleh jadi, anekdot tentang lapor kehilangan kambing menjadi kehilangan sapi, bisa saja memang terus terjadi. Atau jangan-jangan sekarang sudah berkembang menjadi lapor kehilangan kambing, hilang sapi termasuk kandangnya dan –makin terlalu- nyawa penggembalanya. Semoga saja anekdot itu tidak benar. Noor Arief Kuswadi Dimuat dalam lingkarberita.com http://www.kolom-lingkarberita.com/2012/08/sekali-lagi-soal-polisi-dan-keunikannya.html