Selasa, Agustus 25, 2015

Kiamat Sudah Dekat. Itu Apa Kata Kita




Dalam banyak riwayat yang sudah sangat sering kita dengar, ada beberapa tanda yang menunjukkan akhir jaman alias kiamat, sudah dekat. Dua diantaranya yang saya ingat dengan benar adalah lelaki yang menyerupai perempuan dan sebaliknya serta sepinya masjid dari yang berjamaah. Masih banyak tanda-tanda lain mulai dari munculnya mahluk bermata satu yang bernama Dajjal sampai dengan terbitnya matahari dari Barat.
Tapi saya hanya ingin menunjukkan dua tanda yang saya sebutkan di awal. Yang pertama adalah lelaki yang menyerupai perempuan dan sebaliknya. Kalau melihat sosok manusia sekarang memang mendekati hal itu. Banyak lelaki berambut panjang dan bergiwang, sedang yang perempuan bercelana panjang dan berambut pendek.
Banyak wanita yang menjadi tulang punggung keluarga sedang lelakinya jadi bapak rumah tangga. Wanita kita yang menjadi TKW dengan pertimbangan lebih mudah dan lebih murah, membuat banyak lelaki kita yang menjadi bapak rumah tangga. Bekerja sekedarnya atau kadang malah tanpa pekerjaan dan hanya menunggu kiriman rupiah dari hasil bekerja di negeri orang.
Untuk yang tanda ini, saya juga ingin mengatakan tidak hanya manusia yang sudah bercampur kelamin. Pada kendaraan motor baik roda dua maupun roda empat pun sudah tidak jelas kelaminnya. Motor cewek atau motor cowok.
Motor matic, awalnya dibuat untuk memudahkan wanita bersepeda motor. Nyatanya, dalam perkembangan kemudian, muncul lah motor matic dengan CC besar yang setara dengan motor cowok. Malah sekarang ada motor matic ber-CC 250 yang setara dengan motor cowok bertangki depan dan berkopling.
Untuk mobil, setali tiga uang. Dulu, mobil matic itu diperuntukkan bagi mobil berCC sedang, bukan untuk mobil ber-CC diatas 2000. Anda boleh cek sekarang, makin banyak mobil besar ber-CC diatas 2500 yang menggunakan teknologi matic alias 2 pedal saja. Beberapa kali saya berkesempatan naik mobil mewah, ternyata matic juga.
Sedang untuk yang tanda kedua, yaitu sepinya masjid dari orang yang berjamaah. Saya beberapa hari belakangan ini mencoba menghitung masjid di sekitar rumah saya. Dalam radius 500 meter (jarak yang masih cukup untuk berjalan kaki), sudah terhitung 15 masjid, tidak termasuk musola perumahan saya.
Saya juga menghitung pertumbuhan warga sekitar dengan program KB (Keluarga Berencana) yang menurut saya berhasil. Dikurangi dengan warga non muslim, yang masih bekerja sampai petang dan perempuan, maka jumlah lelaki yang seharusnya mengisi shof masjid sangat sedikit. Bukan hal aneh bila kemudian di masjid terlihat sepi jamaah. Secara kuantitatif, jumlah umat masih cukup tapi secara rata-rata, akan terlihat sepi.
Jadi, tanda-tanda kiamat itu sebenarnya sudah digariskan Tuhan tapi kita sendiri lah yang mewujudkannya. Jangan-jangan kemunculan mahluh bermata satu juga hasil pekerjaan kita lewat mutasi gen yang gagal. Atau matahari yang terbit dari barat juga hasil teknologi kita jika –semisal- berhasil memutar balik arah rotasi bumi. Hanya Allah yang tahu.
Satu lagi kehebohan kita yang menarik saya. Kita lebih sering terkesima dengan lafal Allah di buah, telinga bayi, bentuk tanda lahir, bunya, irisan daging sampai di atas batu akik atau pun permata. Tapi sering pula kita lupa bahwa ada lafal Allah dalam hati kita. Itu yang penting!!!

Jumat, Juli 17, 2015

Toleransi Rasa Tai

      Hari Raya Idul Fitri tahun 2015 harus ternoda dengan penyerbuan umat Islam yang hendak menunaikan Sholat Id dan pembakaran musala di Karubaga, Tolikara, Papua. Nelangsa sekaligus miris membaca beritanya. Sebegitu parahkah tingkat toleransi di negeri ini?
      Atau apakah ini puncak dari konflik horisontal yang terpendam di sana? Bukan rahasia besar bila di sana masih ada konflik sosial ekonomi. Mulai dari tidak meratanya pembangunan di sana sampai dengan tersisihnya warga pribumi dalam roda perekonomian.
    Kadang kita memang gila. Demi destinasi unik dan berkedok kearifan lokal, budaya daerah dipertahankan mati-matian. Koteka misalnya. Kendati dari sisi budaya Papua hal tersebut wajar dan normal, kita pun menerimanya. Tapi jujurlah dalam hati, alasan.apa yang sebenarnya.kita ikut melestarikannya? Menurut saya adalah demi destinasi basi. Kita merasa lebih normal bila membandingkan dengan mereka. Karena apa? Saya emoh kalau koteka dijadikan baju nasional, misalnya. Anda mau?
   Tapi saya sedikit setuju bila artis cantik kita mengenakan baju tradisional Papua. Tentu bagi saya, jauh lebih menarik. Entah kalau menurut anda.
    Dalam Islam ada hadish yang mengatakan 'tuntutlah ilmu sampai ke negeri Cina'. Saat itu Cina memang cukup jauh dari tanah Arab dan saat itu bisnis Cina memang pesat. Kalau sekarang, kita rasanya tak perlu jauh jauh belajar sampai menyeberangi laut samudra. Toh Cina sudah ada di sini, di sekitar kita. Di kawasan pecinan.
    Banyak pelajaran di sana, termasuk toleransi beragama. Mau bukti toleransi beragama mereka? Silahkan anda cari keturunan Arab yang beragama selain Islam dan keturunan Cina yang beragama Islam. Di Indonesia ada PITI (Persaudaraan Islam Tionghwa Indonesia). Lebih mudah mana dan lebih banyak mana?
    Satu bukti lagi toleransi mereka dalam beragama adalah kalimat seorang teman yang memang keturunan Cina. "Loe itu aneh. Lor lebaran, minta THR ke owe. Giliran owe imlekan, loe juga minta angpo ke owe".
   Ups....%()-)%##)


Refleksi pembubaran Sholat Id dan pembakaran musala di papua

Rabu, Juli 01, 2015

Hercules, Sang Pemberani



Dalam kisah Yunani kuno, Hercules adalah sosok lelaki yang sangat kuat dan merupakan turunan Dewa Zeus, ayah para dewa-dewa. Artinya, Hercules adalah dewa dengan simbol kekuatan dan keberanian. Hercules memang simbol tentang kekuatan dan keberanian.
Karenanya, sangat tidak salah bila pesawat milik TNI AU ini diberi nama Hercules. Dilihat dari perjalanan jasanya selama di Indonesia, sangat layak memang pesawat ini diberi nama Hercules. Presiden Sukarno pun pernah naik pesawat ini semasa beliau menjabat sebagai presiden.
Besarnya nama Hercules ini juga menular kepada para penumpang dan pilotnya. Kendati sudah usia 51 tahun mengudara, tetap saja pilotnya berani menerbangkannya. Termasuk mengangkut warga sipil walaupun terbilang keluarga besar TNI AU.
Warga sipil yang memanfaatkan armada militer ini sudah tidak asing, utamanya pada saya. Saya sering melihat truk militer mengangkut barang pindahan rumah milik anggota ataupun mengangkut rombongan pelajar, pramuka sampai dengan pecinta alam untuk kegiatan mereka. Bagi warga sipil, jelas angkutan militer ini jauh lebih murah biayanya dan bagi TNI, ini adalah salah satu cara merangkul warga sipil. Klop khan.
Tapi kendaraan militer sejenis truk, tidak banyak mengandung resiko, kecuali kecelakaan. Kendati mesin mogok sekalipun, tidak akan membawa korban jiwa. Beda dengan angkutan militer di udara. Tentu saja karena tidak dilengkapi dengan perlengkapan penerbangan secara standart, tentu saja beresiko bila terjadi kerusakan mesin.
Sedang merawat mesin yang tua, tentu selain butuh anggaran yang besar juga butuh ketelitian dan ketrampilan yang luar biasa. Tapi menurut saya, kendaraan udara, sangat riskan untuk dirawat ala MacGyver (film tentang tokoh yang kreatif merekayasa peralatan dengan alat dan bahan yang ada). Harusnya, pesawat ini sudah dihanggarkan secara utuh agar bisa dilihat anak cucu kita kelak. Pesawat seperti ini pernah punya jasa yang besar untuk Indonesia.
Mumpung masih ada sisa Hercules yang masih utuh, segera hanggarkan untuk dijadikan bukti sejarah. Tentu kita sama-sama tidak berharap semua hercules akan tinggal puing-puing di akhir pengabdiannya.
Kembali ke usia 51 tahun, sudah sangat layak bila dipensiunkan. Usia ini jauh lebih tua dari umur PNS yang dipekerjakan. PNS pensiun di usia 60 tahun dan mulai bekerja di umur sekitaran 30 tahunan. Artinya, manusia sendiri hanya bekerja selama 30 tahun sebelum kemudian dipensiunkan. Sedang Hercules, dia bekerja sejak dilahirkan. Hampir 2 kali lipat masa kerjanya dibandingkan para PNS.
Tentang pengadaan pesawat, tentu saja harus dianggarkan negara. Bukankah keuangan negara memang diperuntukkan memenuhi kebutuhan rumah tangga dari segala sisi. Tidak hanya meningkatkan upah, gaji, bonus, intensif para manusianya. Tentunya, selama sistem pengadaan barang dan jasa sesuai dengan peruntukannya dan berazaskan kemaslahatan rakyat secara nyata, tentu sah-sah saja.
Jadi ingat tentang kisah brandal Tohjoyo, Robinhood yang merampok si kaya untuk dibagikan ke si miskin. Kendati dala hukum apapun cara ini disalahkan, tapi tetap saja dibenarkan oleh orang-orang yang diuntungkan. Logikanya, bila lebih banyak yang miskin, tentu saja akan lebih memilih menjadi Robinhood karena yang membenarkan saya lebih banyak daripada yang menyalahkan saya.
Sekarang mari kita hitung di Indonesia. Secara jumlah dan kepentingan, lebih banyak mana yang miskin dan yang kaya. Dari sanalah saya akan memilih peran, sesuai dengan kemampuan saya. Kalau anda?

(Refleski dari bencana Hercules yang jatuh di Medan, Selasa 30 Juni 2015)

Jumat, Juni 26, 2015

Nama-nama tanpa Makna (Tersirat)



Beberapa hari ini saya kembali iseng melihat nama-nama dari seseorang. Sampai malam ini saya melihat tayangan Kick Andy on location yang menampilkan seorang kepala dusun dengan nama Babrak Kamal Bumidian. Saya juga ingat dengan seorang bapak seusiaan saya (kurang lebih 40 tahun) dengan nama Halilintar yang dikaruniai 11 anak dengan sebutan Gen Halilitar.
Untuk orang yang seusia saya, tentu saya cukup heran dengan literatur orangtua mereka yang berani memberi nama anaknya dengan tersurat, tanpa tersirat. Coba bila anda ditanya apa arti Halilitar, tentu jawabnya adalah ya halilintar. Tidak ada kata yang tersirat di dalamnya.
Contoh lain, adalah anak beberapa teman saya yang dengan berani memberikan nama anaknya Bintang, Rindu, Raja atau Langit. Malah ada teman saya yang memberikan nama anaknya dengan Pangeran Langit Biru. Apa makna namanya? Pangeran ya pangeran. Langit ya langit dan Biru yang biru (salah satu nama).
Ini akan sangat berbeda bila kita melihat nama-nama generasi jauh di atas kita yang mengandung makna dan doa. Lihat saja nama Sukarno yang berarti Su (indah), Karno (telinga). Telinga yang indah yang mengandung doa pemilik nama tersebut akan menggunakan telinganya untuk mendengarkan ilmu kehidupan.
Atau nama Suharto, Su (indah) dan Harto (Harta). Nama Suharto adalah harta yang terindah (tentu untuk orangtuanya). Atau anda boleh pilih nama lain dengan awalan Su, baik itu Sutrisno (trisno=cinta yang indah), Sukoco (kaca yang indah), Suwono (hutan yang indah) atau pun yang lainnya. Tentu ada doa didalam setiap nama tersebut. Kaca yang indah yang diharapkan bisa menjadi cermin kehidupan, hutan (lambang kesuburan dan perlindungan).
Ada yang mengambil nama dari para pejuang/pahlawan dengan harapan sang anak akan mengikuti jejak dan pengabdian sang pahlawan. Sebut saja Dahlan Iskan, Kartini ataupun Sutomo (diambil dari nama Bung Tomo, pahlawan dari Surabaya). Tentu sangat menarik dan kita bisa bermain kata mengartikan nama nama mereka.
Menurut saya, pemberian nama yang bermakna (doa) tentu terjadi di Indonesia dan negara melayu. Kalau di Amerika, saya tidak tahu apalah nama juga mengandung doa, karena di sana hanya mengenal 2 nama. Nama depan dan nama belakang. Tapi mungkin saya tidak mengerti karena memang tidak mengenal makna dalam setiap nama di sana. Saya tidak pernah berhasil menemukan makna Brand Pitt atau makna Lorenso Lamas. Maafkan atas ketidakpahaman saya bila memang nama-nama tersebut juga tersirat makna.
Saya juga suka iseng mengamati dan mengartikan nama seseorang. Semisal nama Abdulrahman Wahid yang juga dikenal dengan sebutan Gus Dur. Abdul (anak lelaki), Rahman (pengasih, kasih) dan Wahid (satu, pertama). Bisa jadi nama Wahid diambil dari nama kakeknya, Wahid Hasyim, tapi saya lebih suka memberi makna nama mantan presiden tersebut dengan anak lelaki kesayangan yang nomor satu. Sah kan?
Sangat berbeda dengan bila kita mengartikan nama-nama anak sekarang. Nyaris tidak ada makna yang tersirat, walaupun saya yakin para orangtuanya tetap saja menyertakan doa didalamnya. Tapi menurut saya, tidak akan membebaskan kita berkreasi memadukan makna atas setiap nama.
Tentang nama saya, Noor Arief Prasetyo tentu sangat mengandung nama. Noor adalah cahaya, Arief adalah bijaksana dan Prasetyo adalah kesetiaan. Tapi beberapa teman saya iseng memecah kata Prasetyo menjadi Pra (sebelum atau belum) setya (setia). Lha kok malah artinya ‘belum setia’.
Dan sebelum diketahui dan diartikan teman iseng yang lain, saya kemudian lebih suka menuliskan nama saya dengan Noor Arief Kuswadi. Nama terakhir diambil dari nama bapak saya. Yang jadi masalah sampai sekarang adalah saya belum menemukan makna KUSWADI. Duh....