Jumat, Juli 17, 2015

Toleransi Rasa Tai

      Hari Raya Idul Fitri tahun 2015 harus ternoda dengan penyerbuan umat Islam yang hendak menunaikan Sholat Id dan pembakaran musala di Karubaga, Tolikara, Papua. Nelangsa sekaligus miris membaca beritanya. Sebegitu parahkah tingkat toleransi di negeri ini?
      Atau apakah ini puncak dari konflik horisontal yang terpendam di sana? Bukan rahasia besar bila di sana masih ada konflik sosial ekonomi. Mulai dari tidak meratanya pembangunan di sana sampai dengan tersisihnya warga pribumi dalam roda perekonomian.
    Kadang kita memang gila. Demi destinasi unik dan berkedok kearifan lokal, budaya daerah dipertahankan mati-matian. Koteka misalnya. Kendati dari sisi budaya Papua hal tersebut wajar dan normal, kita pun menerimanya. Tapi jujurlah dalam hati, alasan.apa yang sebenarnya.kita ikut melestarikannya? Menurut saya adalah demi destinasi basi. Kita merasa lebih normal bila membandingkan dengan mereka. Karena apa? Saya emoh kalau koteka dijadikan baju nasional, misalnya. Anda mau?
   Tapi saya sedikit setuju bila artis cantik kita mengenakan baju tradisional Papua. Tentu bagi saya, jauh lebih menarik. Entah kalau menurut anda.
    Dalam Islam ada hadish yang mengatakan 'tuntutlah ilmu sampai ke negeri Cina'. Saat itu Cina memang cukup jauh dari tanah Arab dan saat itu bisnis Cina memang pesat. Kalau sekarang, kita rasanya tak perlu jauh jauh belajar sampai menyeberangi laut samudra. Toh Cina sudah ada di sini, di sekitar kita. Di kawasan pecinan.
    Banyak pelajaran di sana, termasuk toleransi beragama. Mau bukti toleransi beragama mereka? Silahkan anda cari keturunan Arab yang beragama selain Islam dan keturunan Cina yang beragama Islam. Di Indonesia ada PITI (Persaudaraan Islam Tionghwa Indonesia). Lebih mudah mana dan lebih banyak mana?
    Satu bukti lagi toleransi mereka dalam beragama adalah kalimat seorang teman yang memang keturunan Cina. "Loe itu aneh. Lor lebaran, minta THR ke owe. Giliran owe imlekan, loe juga minta angpo ke owe".
   Ups....%()-)%##)


Refleksi pembubaran Sholat Id dan pembakaran musala di papua

Rabu, Juli 01, 2015

Hercules, Sang Pemberani



Dalam kisah Yunani kuno, Hercules adalah sosok lelaki yang sangat kuat dan merupakan turunan Dewa Zeus, ayah para dewa-dewa. Artinya, Hercules adalah dewa dengan simbol kekuatan dan keberanian. Hercules memang simbol tentang kekuatan dan keberanian.
Karenanya, sangat tidak salah bila pesawat milik TNI AU ini diberi nama Hercules. Dilihat dari perjalanan jasanya selama di Indonesia, sangat layak memang pesawat ini diberi nama Hercules. Presiden Sukarno pun pernah naik pesawat ini semasa beliau menjabat sebagai presiden.
Besarnya nama Hercules ini juga menular kepada para penumpang dan pilotnya. Kendati sudah usia 51 tahun mengudara, tetap saja pilotnya berani menerbangkannya. Termasuk mengangkut warga sipil walaupun terbilang keluarga besar TNI AU.
Warga sipil yang memanfaatkan armada militer ini sudah tidak asing, utamanya pada saya. Saya sering melihat truk militer mengangkut barang pindahan rumah milik anggota ataupun mengangkut rombongan pelajar, pramuka sampai dengan pecinta alam untuk kegiatan mereka. Bagi warga sipil, jelas angkutan militer ini jauh lebih murah biayanya dan bagi TNI, ini adalah salah satu cara merangkul warga sipil. Klop khan.
Tapi kendaraan militer sejenis truk, tidak banyak mengandung resiko, kecuali kecelakaan. Kendati mesin mogok sekalipun, tidak akan membawa korban jiwa. Beda dengan angkutan militer di udara. Tentu saja karena tidak dilengkapi dengan perlengkapan penerbangan secara standart, tentu saja beresiko bila terjadi kerusakan mesin.
Sedang merawat mesin yang tua, tentu selain butuh anggaran yang besar juga butuh ketelitian dan ketrampilan yang luar biasa. Tapi menurut saya, kendaraan udara, sangat riskan untuk dirawat ala MacGyver (film tentang tokoh yang kreatif merekayasa peralatan dengan alat dan bahan yang ada). Harusnya, pesawat ini sudah dihanggarkan secara utuh agar bisa dilihat anak cucu kita kelak. Pesawat seperti ini pernah punya jasa yang besar untuk Indonesia.
Mumpung masih ada sisa Hercules yang masih utuh, segera hanggarkan untuk dijadikan bukti sejarah. Tentu kita sama-sama tidak berharap semua hercules akan tinggal puing-puing di akhir pengabdiannya.
Kembali ke usia 51 tahun, sudah sangat layak bila dipensiunkan. Usia ini jauh lebih tua dari umur PNS yang dipekerjakan. PNS pensiun di usia 60 tahun dan mulai bekerja di umur sekitaran 30 tahunan. Artinya, manusia sendiri hanya bekerja selama 30 tahun sebelum kemudian dipensiunkan. Sedang Hercules, dia bekerja sejak dilahirkan. Hampir 2 kali lipat masa kerjanya dibandingkan para PNS.
Tentang pengadaan pesawat, tentu saja harus dianggarkan negara. Bukankah keuangan negara memang diperuntukkan memenuhi kebutuhan rumah tangga dari segala sisi. Tidak hanya meningkatkan upah, gaji, bonus, intensif para manusianya. Tentunya, selama sistem pengadaan barang dan jasa sesuai dengan peruntukannya dan berazaskan kemaslahatan rakyat secara nyata, tentu sah-sah saja.
Jadi ingat tentang kisah brandal Tohjoyo, Robinhood yang merampok si kaya untuk dibagikan ke si miskin. Kendati dala hukum apapun cara ini disalahkan, tapi tetap saja dibenarkan oleh orang-orang yang diuntungkan. Logikanya, bila lebih banyak yang miskin, tentu saja akan lebih memilih menjadi Robinhood karena yang membenarkan saya lebih banyak daripada yang menyalahkan saya.
Sekarang mari kita hitung di Indonesia. Secara jumlah dan kepentingan, lebih banyak mana yang miskin dan yang kaya. Dari sanalah saya akan memilih peran, sesuai dengan kemampuan saya. Kalau anda?

(Refleski dari bencana Hercules yang jatuh di Medan, Selasa 30 Juni 2015)