Minggu, Maret 27, 2016

Belajarlah pada Wayang



Minggu kemarin, nenek saya di Cilacap meninggal dunia. Nenek yang sangat banyak mengajarkan ilmu hidup kepada saya selama ini. Kalau ada yang mengatakan hubungan cucu dengan nenek jauh lebih akrab daripada ibu dengan anak, saya buktinya. Pertama kali yang mengetahui kalau saya perokok adalah nenek.
Dari sekian banyak nasehatnya, ada satu yang terpatri dalam hati saya. “Dalang ora bakal kentekan lakon”. Artinya, seorang dalang tidak akan kehabisan cerita. Dari sekotak wayang, bisa diceritakan seribu kisah yang sarat dengan nasehat. Dari sekotak wayang, akan kita temukan sosok manusia termasuk pemimpin kita dan diri sendiri.
Tapi dari seribu cerita wayang akan berhilir pada perseteruan 5 pembela kebenaran dengan nama Pandawa melawan 100 pasukan kejahatan dengan nama Kurawa. Hasil akhirnya tentu saja adalah kejahatan tertumpas habis.
Bicara wayang, saya jadi ingat seorang sahabat dari perwira kepolisian yang berhasil saya “Jawa-kan”. Memang teman saya saat itu masih berpangkat Ajun Komisaris Polisi (AKP) setara dengan Kapten dan menjabat sebuah kapolsek itu bukan orang Jawa. Dia berasal dari sebuah suku yang dikenal dengan watak keras dan tegasnya.
Saat itu, saya ngobrol dengan dia usai kegiatan kerjabakti di polsek yang dipimpinnya. Dalam kerjabakti itu, saya melihat dia sangat membaur dengan anggotanya. Tak segan dia juga turut menyapu halaman, mencabuti rumput sampai dengan mengecat pembatas taman dengan warna hitam dan kuning.
Melihat saya datang, dia mengakhiri kegiatannya, hanya untuk menerima saya dan diajak ruang kerjanya. Saya iseng menyapanya dan mengatakan,”Sampean iku mirip Semar, mas.”
Mendengar sapaan saya yang menyamakan dirinya dengan Semar, terlihat jelas keningnya menyerut tanda menyimpan penasaran tapi ada nada kesal. Mungkin dalam benaknya, sosoknya yang pemimpin hanya disamakan dengan sosok Semar, yang dikenalnya dengan penghibur dan peran pembantu. Saya paham dengan perubahan mimiknya dan sebentar membiarkan.
“Sampean nggak kenal Semar, kan,” tanya saya yang dijawab dengan gelengan kepala. Saya paham kalau dia tidak mengerti Semar karena memang dia bukan orang Jawa dan tentu saja tidak paham dengan wayang.
Untungnya, keakraban kami membuat saya tidak segan untuk memintanya browsing di internet dan mencari kisah tentang Semar. Setelah itu, dia membaca naskah Purwacarita yang menceritakan siapa Semar.
Dikisahkan, Sanghyang Tunggal menikah dengan Dewi Rekatawati putra Sanghyang Rekatatama. Dari perkawinan itu lahir sebutir telur yang bercahaya. Sanghyang Tunggal dengan perasaan kesal membanting telur itu sehingga pecah menjadi tiga bagian, yaitu cangkang, putih, dan kuning telur.
Ketiganya masing-masing menjelma menjadi laki-laki. Yang berasal dari cangkang diberi nama Antaga, yang berasal dari putih telur diberi nama Ismaya, sedangkan yang berasal dari kuningnya diberi nama Manikmaya.
Pada suatu hari, Antaga dan Ismaya berselisih karena masing-masing ingin menjadi pewaris takhta kahyangan. Keduanya pun mengadakan perlombaan menelan gunung. Antaga berusaha melahap gunung tersebut dengan sekali telan namun justru mengalami kecelakaan yaitu mulutnya robek dan matanya melebar. Ismaya menggunakan cara lain, yaitu dengan memakan gunung tersebut sedikit demi sedikit. Setelah melewati bebarpa hari seluruh bagian gunung pun berpindah ke dalam tubuh Ismaya, namun tidak berhasil ia keluarkan. Akibatnya sejak saat itu Ismaya pun bertubuh bulat.
Sang Hyang Tunggal murka mengetahui ambisi dan keserakahan kedua putranya itu. Mereka pun dihukum menjadi pengasuh keturunan Manikmaya, yang kemudian diangkat sebagai raja Kahyangan, bergelar Batara Guru. Antaga dan Ismaya pun turun ke dunia. Masing-masing memakai nama Togog dan Semar.
“Sekarang sampean tahu siapa Semar. Dia adalah kakak dari Batara Guru, dewa para dewa. Jadi Semar adalah dewa yang rela dihambakan untuk melayani kebenaran,” kata saya mengintisarikan kisah Semar.
Kawan saya yang mendengar penjelasan saya, tersenyum dan mulai terlihat mimik bangga di wajahnya. Sejak itu, saya tahu dia mulai menyukai gambar Semar. Beberapa kali pic profile BlackBerrynya memasang gambar Semar dan memasang status "Dewa yang rela dihambakan. Saat dia pindah tugas, saya pun memberikan kenang-kenangan gambar Semar yang diukir di selebar kulit kambing.
Bagi saya yang asli orang Jawa, dari wayang kita bisa mengambil banyak contoh pemimpin dari yang paling busuk sampai dengan yang paling baik. Ada sosok wayang yang dikenal tak pernah berbohong dalam hidupnya yaitu Yudhistira. Atau ingin sosok yang pantang menyerah, kita bisa sebut tokoh wayang Bambang Ekalaya atau Palgunadi. Dia pintar memanah walaupun ditolak Resi Durno sebagai muridnya.
Palgunadi pun kemudian membuat patung menyerupai Resi Durno dan belajar di depan patung tersebut. Hasilnya, kemampuan memanahnya beda tipis dengan Arjuna yang diajar langsung oleh Resi Durno. Hebatnya, dalam banyak kisah, Palgunadi pun mengakui dirinya adalah murid Resi Durno.
Di akhir kisah Palgunadi, Durno meminta dirinya memotong telunjuk tangan kanannya sebagai wujud terima kasih telah diajari memanah. Walaupun mengerti resikonya bila jari terpotong akan menghilangkan kemampuannya memanah, Palgunadi tetap memotong jarinya dan mempersembahkan kepada Durno.
Atau anda ingin tahu sosok licik, bisa anda sebut Sengkuni. Paman Kurawa ini memang dikenal suka menjadi kompor dan provokator dalam kisah pewayangan. Sengkunilah yang selalu menyulut kemarahan di kubu Kurawa dan menebarkan kebencian pada Pandawa.
Kalau mencari pemimpin yang paling brengsek, sebut saja Duryudono, raja Kurawa. Seabrek kebrengsekan ada di sosoknya. Mulai dari arogan, sombong, kejam sampai dengan menginjak-injak keadilan. Nyaris tidak ada  kebaikan di balik tokoh wayang antagonis ini.
Jadi, kita adalah wayang. Seperti syair sebuah lagu yang menggambarkan dunia ini semacam panggung dan kita memainkan peran yang kita pilih. Anda boleh memilih jadi Semar, Yudhistira, Paldunadi, Arjuno, Resi Durno atau pun Duryudono. Atau anda memilih tokoh wayang lainnya sebagai wakil sosok anda di dunia kemasyarakatan.
Kalau saya, lebih memilih menjadi sosok Bima atau Werkudoro, tokoh Pandawa yang dikenal dengan sosok tinggi besarnya. Tapi untuk saya, tentu saja bukan sosok fisik yang menyerupainya. Sikap Bima yang tegas tanpa basa-basi, tanpa tedeng aling-aling yang saya anut.
Bima juga dikenal sebagai sosok yang tidak bisa duduk walau di depan dewa atau titisan dewa sekalipun. Oh ya, satu lagi. Bima, satu-satunya tokoh wayang yang tidak bisa bahasa kromo inggil, bahasa yang santun. Kepada Kresna yang merupakan titisan Dewa Wisnu, Bima memanggil dengan jeliteng (hitam). Ini karena memang Kresna digambarkan tokoh yang berwajah hitam. Mau tahu panggilan dan salam hormat Bima kepada Kresna? “Heii, Jeliteng kakangku.
 (terbit di Harian Pagi Memorandum Edisi Minggu 27 Maret 2016)

Senin, Maret 21, 2016

Narkoba: Neraka Kok Dicoba



Narkoba sebenarnya adalah singkatan dari Narkotika, obat berbahaya dan bahan adiktif lainnya. Tapi Narkoba juga bisa diartikan singkatan dari neraka kok dicoba. Kalimat ini  saya garis bawahi saat menjadi narasumber dalam Lomba Poster dan Dialog Anti-Narkoba Tingkat SMA/Sederajat se-Gerbangkertosusila 2016 di Universitas Muhammadiyah Surabaya, akhir pekan lalu.
Kalimat di atas disebutkan beberapa kali oleh narasumber dari BNNP Jawa Timur, BNNK Surabaya dan Granat di depan peserta. Saya tertarik dengan kalimat itu. Rasanya, patut untuk saya jadikan judul tulisan ini agar banyak di antara kita mudah mengingatnya dengan baik.
Menurut saya, Narkoba benar-benar sudah menjadi ancaman serius di Indonesia. Malah kalau boleh memilih dan menentukan, saya posisikan narkoba di atas teroris atau pun laten komunis. Sebagai pembanding, 1 Kg TNT (trinitrotoluene) bila meledak, bisa membunuh beberapa ratus orang. Tapi sabu dengan berat yang sama akan membunuh lebih banyak orang. Bila menggunakan satuan yang sedang dipopulerkan pihak BNN, 1 gram sabu-sabu (SS) bisa dikonsumsi 8 orang, maka 1 kg SS bisa dikonsumsi 8.000 orang.
Pembanding lain, bisa dilihat pada serangkaian pengeboman yang terjadi di Bali pada 1 Oktober 2005. Saat itu, terjadi tiga pengeboman, satu di Kuta dan dua di Jimbaran dengan sedikitnya 23 orang tewas. Sedang pada bom Bali pada 12 Oktober 2002, bom serupa menewaskan 202 orang. Belakangan, bom teroris diangkut dalam mobil station. Bom yang sangat besar dan berat.
Racun Narkoba sudah menyeruak di semua lapisan dan golongan masyarakat. Jangankan kalangan rakyat kecil yang kadang terlibat narkoba karena bisnis, di kalangan penegak hukum, TNI, artis dan selebritis sampai di kalangan pejabat pun sudah tertipu kenikmatan semu Narkoba. Terakhir adalah tertangkapnya anggota DPR RI asal Fraksi PPP, Fanny Safriansyah alias Ivan Haz. Saya yakin masih banyak pejabat yang bisa jadi sudah kecanduan narkoba, walaupun belum terungkap.
Siapa sangka, anak mantan Wakil Presiden Hamzah Haz ini bisa terjerat Narkoba. Saya mencoba membayangkan masalah apa yang membuatnya melampiaskan diri dengan Narkoba. Dalam akal normal saya, dia sudah berkecukupan secara materi ataupun sosial. Saya yakin, motif Ivan Haz mengkonsumsi narkoba, bukan karena ingin mengambil keuntungan.
Dasar dunia politik. Hal ini pun kemudian membesar dan bergulir rencana tes urine untuk anggota DPR RI. Rencana ini pun memantik reaksi beragam dari wakil rakya yang terhormat itu.  Wakil Ketua DPR RI, Fahri Hamzah, malah menolak keras wacana tersebut.
Menurut Fahri Hamzah, itu tak diperlukan karena yang harus dipahami adalah prinsip kelembagaan dan wibawa. Fahri mengatakan pemeriksaan urine tersebut bisa membuat wibawa lembaga negara tergerus. “Artinya diseret dalam suatu proses rutin yang publik tahu hasilnya bisa membuat kelembagaan juga repot," kata Fahri Hamzah dikutip sejumlah media pada Kamis (25/2).
Lebih mengejutkan adalah pendapat Ketua DPR Ade Komarudin, yang menyebut bahwa tes urine itu sebagai pemborosan anggaran. Tes urine tersebut dianggap hanya mencari kerjaan dan membuat anggaran keluar ke hal yang tidak perlu. Karena saya bukan orang politik dan 17 tahun menjadi wartawan kriminal, saya tidak mau mendebat mereka.
Saya mencoba mencari informasi, berapa uang yang harus dibayarkan untuk tes urine terkait narkoba. Dari informasi tersebut, saya dapatkan harga Rp100 ribu untuk 4 indikasi kandungan narkoba dan psikotropika. Ohh, kalau hanya segitu dan seandainya para wakil rakyat tidak mau memboroskan uang negara, saya akan mencarikan uangnya. Tapi syaratnya cuma satu, hari dan waktu pemeriksaan, terserah saya atau donatur -bila ada.
Menurut saya, pemberantasan Narkoba dan menjaga generasi muda agar terhindar dari pengaruh ini adalah wajib. Dulu tahun 1990-an, belum ada kampung-kampung kantong Narkoba. Saat itu, di Makam Peneleh, masih sering ditemukan orang yang mengkonsumsi narkoba salah satunya adalah putauw. Narkoba berbentuk serbuk putih dan harus dilarutkan kemudian disuntikkan ke nadi, menjadi narkoba yang paling lazim.
Saat terjadi penolakan warga dan dibarengi dengan upaya penindakan polisi, lambat laun kawasan tersebut bersih dan kawasan Narkoba pun kemudian bergeser ke lokasi lain. Dalam catatan saya, kawasan Gresik PPI dan Semut Kalimir juga pernah menjadi kantong narkoba. Tapi dua tempat ini pun tak lama menjadi basis narkoba, karena karakteristik yang berupa jalan dan kawasan tanpa penduduk, membuat petugas tidak sulit memberantasnya.
Tapi dalam beberapa tahun belakangan, kawasan narkoba mulai beranjak di perkampungan padat penduduk. Di Jakarta ada kampung Ambon yang terletak di Kompleks Permata, Cengkareng; Kampung Berlan, Jalan Slamet Riyadi Matraman Jakarta Timur yang sampai meminta nyawa Bripka Taufik Hidayat dan seorang informan, saat penggerebekan sampai dengan Rusun Baladewa di kawasan Johar Baru, pusat Narkoba jenis putauw. Sedang di Surabaya, kampung tersebut adalah kawasan sekitaran Jalan Kunti.
Kawasan ini adalah kampung padat penduduk dengan tingkat solidaritas tinggi. Beberapa kali upaya penangkapan di sana, harus dibayar dengan rusaknya mobil petugas atau pun obral tembakan peringatan. Malah mobil teman baik saya yang saat itu menjabat sebagai Kanit Reserse Narkoba mengalami kerusakan cukup parah. Bayangkan, pot besar beserta bunganya dilemparkan warga hingga masuk ke jok tengah.
Toh sejauh ini, hanya beberapa pengedar di kampung setempat yang bisa diringkus. Sepertinya memang butuh banyak kekuatan untuk membungkam kampung narkoba ini. Kecuali bila aparat masih menganggap kampung narkoba di Surabaya, masih terlalu kecil untuk dibinasakan.
Saya sendiri sudah melihat dasyatnya kerusakan akibat narkoba. Ada teman saya yang mendekam di tahanan dan membuat malu keluarganya yang jadi tokoh kampung dan ada yang mati karena HIV/AIDS, karena jarum suntik yang digunakan. Saya sendiri dengan keluarga mereka sampai benar-benar tahu bagaimana  akibat kecanduan narkoba.
Mereka cerita banyak tentang kemarahan yang meledak saat teman saya sakauw. Mulai dari merusak barang, menyiksa diri sendiri sampai dengan mengancam keselamatan anggota keluarga lainnya. Teman saya yang meninggal itu malah nyaris membunuh ibunya karena tidak memberi uang. Anda bisa membayangkan kengerian ulah pecandu narkoba yang menyayat lengannya sendiri dan darah mengucur kemudian dihisapnya.
Jadi, masih berminat dengan Narkoba? (Penulis, Wartawan Harian Pagi Memorandum)



Minggu, Maret 20, 2016

Ingin Jadi Wartawan, Nak? Plak...!!!



Menjadi anak pejabat dan terbiasa serba ada sejak usia muda, memang bisa membuat terlena. Sudah lazim banyak anak pejabat mulai dari tingkat bawah sampai atas yang bertingkah. Kendati beberapa ‘hanya’ terlibat masalah kecelakaan dan sikap arogansi, tapi tidak sedikit yang masuk ke ranah hukum yang serius, narkoba.
Siapa yang patut disalahkan? Apakah sang anak yang tidak juga bisa belajar sabar dan on the track ataukah sang bapak yang tidak bisa mengajarkan bagaimana cara bersikap dan bertindak sebagai pejabat. Pejabat dengan beberapa deret tanggungjawab serta kewenangan yang dibenarkan oleh undang-undang.
Kabar terbaru adalah Bupati Ogan Ilir (OI), Ahmad Wazir Noviadi yang ditangkap petugas Badan Narkotika Nasional (BNN) pusat terkait kasus narkoba. Bupati usia muda ini adalah putra dari Bupati Ogan Ilir sebelumnya, Ir. H. Mawardi Yahya. Jelas, sejak muda, Noviadi melihat pekerjaan bapaknya sebagai bupati.
Sebenarnya, Noviadi bukan baru pertama kali ini menjadi pejabat. Entah karena memang kemampuan pemikiran atau karena kemampuan finansial yang bisa menghimpun suara. Sebelum menjadi bupati, Noviadi menjabat anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) OI periode 2014-2019 dari Partai Golkar.
Anak pejabat lain yang juga menyimpan masalah adalah Fanny Safriansyah  atau yang biasa dipanggil Ivan Haz, anak dari mantan wakil presiden Hamzah Haz. Anggota DPR RI dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) ini sedikitnya terlilit  dua kasus yang mencuat dalam waktu yang berdekatan. Kasus pertama adalah dugaan penganiayaan terhadap pembantu rumah tangga (PRT) dan juga penyalahgunaan narkoba.
Di Jawa Timur, kasus ini juga tidak asing. Sekedar mengingatkan kasus Indra Iskandar, oknum anggota DPRD Kota Pasuruan dari PKB yang digerebek petugas Sat Reskoba Polrestabes Surabaya. Wakil rakyatyang juga anak mantan Walikota Pasuruan, Hasani, diamankan petugas di Hotel Sommerset Jl Raya Kupang Indah saat sedang asyik pesta Narkoba dengan 2 cewek.
Tapi tidak semua anak pejabat, banyak tingkah dan banyak ulah. Walau sedikit, tapi saya mencatat ada nama  Dr. -Ing. Ilham Akbar, MBA atau biasa ditulis Ilham Akbar Habibie. Kendati bapaknya adalah Prof. Dr.-Ing. H. Bacharuddin Jusuf Habibie, mantan Presiden Republik Indonesia yang ketiga, Ilham tidak banyak tingkah.
Ilham adalah orang kedua di Indonesia yang menguasai ilmu pesawat terbang. Orang pertamanya adalah sang ayah sendiri. Melalui PT Regio Aviasi Industri, Ilham membidani Program Regio Prop, proyek pesawat komersial buatan dalam negeri yang merupakan pengembangan dari N-250.
Sebenarnya masih ada beberapa nama anak pejabat yang mulai muncul ke permukaan. Sebut saja Wakil Wali Kota Surabaya, Wishnu Sakti Buana, anak dari Sutjipto, dedenggot PDIP. Tiga anak dari Joko Widodo yaitu Gibran Rakabuming Raka, Kahiyang Ayu dan Kaesang Pangarep serta dua anak dari Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yaitu Agus Harimurti Yudhoyono yang menjadi anggota TNI AD dan Edhie Baskoro Yudhoyono yang menjadi politisi Partai Demokrat.
Tapi untuk anak pejabat ini, saya belum menggolongkan mereka ke kelompok Ilham. Alasannya sederhana. Satu, ini adalah tulisan saya dan barometer pun saya yang menentukan. Alasan kedua tentu saja, saya belum klik (meminjam istilah anak muda) pada nama-nama mereka yang masih berlindung di bayang-bayang nama besar bapaknya.
Belajar dari kasus anak pejabat yang menjadi pejabat karena melihat ayahnya, saya jadi ingat anak saya. Saya harus menyiapkan cara agar anak saya tidak menjadi seperti Ivan Haz, Noviadi ataupun Indra Iskandar. Saya harus menyiapkan cara sebelum anak saya dewasa.
Anda boleh bilang ini nadar atau apa, terserah. Yang jelas, kelak saat anak lelaki saya sudah cukup dewasa untuk menentukan langkah dan cita-citanya, tentu dia sudah memilih pekerjaan atau profesi apa yang diinginkannya.
Bila karena sepanjang hidupnya, di depan mata setiap harinya melihat pekerjaan saya sebagai wartawan, bisa jadi pekerjaan ini juga akan terlintas dalam benaknya. Di depan matanya, sejak kecil, dia sudah melihat semua hal terkait dengan pekerjaan saya.
Berangkat kerja pada jam yang tidak sama. Kadang fajar dan kadang pula siang atau pun menjelang sore. Pulang juga tidak pada jam yang pasti. Kadang sore sudah pulang, kadang malam atau malah kadang menjelang pagi, saya baru pulang.
Atau kombinasi antara jam berangkat dan jam pulang yang juga jelas tidak pasti itu. Kadang saya berangkat pagi dan pulang menjelang fajar dan kadang saya berangkat sore dan pulang sebelum tengah malam. Pekerjaan dengan jam kerja yang tidak jelas dan tidak menentu ini sudah saya jalani –sampai sekarang- lebih dari 17 tahun.
Karena pekerjaan yang tampak dan dipahaminya dengan baik adalah pekerjaan saya sebagai wartawan, sangat mungkin anak lelaki saya pun akan meniru. Sangat masuk akal bila dia pun akan mengatakan keinginannya sebagai wartawan, meneruskan jejak pekerjaan saya. Sebagaimana yang terlintas dalam benak Ivan Haz, Indra Iskandar maupun Noviadi.
Sesaat setelah dia menjawab ingin jadi wartawan, saya akan melayangkan tangan untuk menamparnya. Lalu pertanyaan tentang cita-citanya, akan saya ulang lagi. “Setelah Ayah tampar kamu, sekarang bilang ke Ayah. Apa cita-citamu, nak.”
Kalau dia masih bertahan dengan cita-citanya sebagai wartawan, tentu saya akan memeluknya sangat erat. Sejak itu, tentu saya akan persiapkan dia dengan sangat baik untuk menjadi seorang wartawan yang layak. Tentu, pengalaman selama menjadi wartawan, akan saya gunakan untuk melatih dia agar benar-benar siap bekerja sebagai wartawan.
Bisa jadi akan banyak tugas yang akan dilakukannya. Mulai dari berdesakan di konser musik dengan target mengambil foto artis, ikut kampanye dengan target wawancara dengan juru kampanye, tidur di kamar mayat dan kantor polisi serta hadir di komunikas seni dan sastra. Nyaris, sejak itu, dia akan banyak kegiatan agar semuanya siap bila kelak dia menjadi wartawan.
Tapi bila dia merubah cita-citanya setelah saya tampar, tentu saja saya akan tetap memeluknya. Saya akan minta maaf dan membisikkan kalimat,” nak, kamu tidak punya mental menjadi wartawan. Tamparan ayah tadi hanya ingin menguji keteguhan hatimu saja. Kalau begitu, kamu pikirkan lagi dan pilih cita-citamu. Ayah tetap mendukung cita-citamu.”
Pekerjaan saya ini cukup beresiko berhadapan dengan hal seperti itu. Banyak pekerjaan lain yang dengan bangga mencantumkan alamat rumah dalam kartu namanya. Tidak dengan pekerjaan seperti saya ini. Tidak banyak wartawan yang berani mencantumkan alamat rumahnya pada lembar kartu nama mereka. Dan saya benar-benar tidak berani mencantumkan alamat rumah saya.
Jujur, ada niatan tersembunyi, saya harus menuliskan cerita ini dan mengabarkan ke banyak orang. Saya berharap, anak lelaki saya membaca tulisan ini dan menjadi pertimbangan menentukan cita-citanya. Sehingga saya tidak perlu menamparnya. Jujur saja, saya tidak pernah menghalalkan tangan saya untuk menampar siapa pun. Apalagi darah daging saya sendiri. (Penulis adalah Wartawan SKH Memorandum)*Revisi dari tulisan sebelumnya dengan judul yang sama.

Senin, Maret 14, 2016

Catur Politik: Ada Apa dengan Jakarta?


      Pemilihan Gubernur (Pilgub) Daerah Khusus Ibukota Jakarta, masih tahun depan. Tapi gaungnya sudah terasa sejak sekarang dan sampai merambah di kota lain. Bandung dan Surabaya terkena dampak persiapan Pilgub Ibukota Indonesia tersebut. Pimpinan Kota Bandung dan Kota Surabaya sempat disebut-sebut sebagai bakal calon gubernur dan bersaing dengan Basuki Tjahaja Purnama atau yang dikenal dengan sapaan Ahok.
Ridwan Kamil atau biasa disapa, Kang Emil, Wali Kota Bandung, beberapa waktu lalu namanya mencuat, digadang-gadang sebagai bakal calon Jakarta 1. Tapi belakangan, kader Partai PKS (Partai Keadilan Sejahtera) dengan dukungan Partai Gerindra (Gerakan Indonesia Raya) ini menyatakan mundur dari wacana maju dalam Pilgub Jakarta dan memilih menyelesaikan ‘kontrak politik’ dengan rakyat Bandung.
Daerah yang bergolak berganti di Surabaya. Nama Wali Kota Tri Rismaharini yang baru saja sebulan dilantik menjadi Wali Kota untuk kedua kalinya, mulai muncul untuk menjadi lawan Ahok. Kendati sampai sekarang belum bisa dipastikan –karena menunggu rekomendasi partai-, tapi ‘serangan’ mulai dilancarkan.
Dalam beberapa pemberitaan, sudah muncul nama pasangan Risma dalam ‘pertarungan’ di Ibu Kota. Malah sebuah berita, menurut saya, mulai menyerang Ahok yang memilih jalur independen dalam Pilgub Jakarta mendatang. “Kalau fatsunnya di agama tidak boleh meminta jabatan, kemudian kenapa aku tidak independen, kalau independen aku punya nafsu untuk cari jabatan itu. Kemudian saya diberikan kepercayaan. Karena itu bagian dari amanah,” kata Bu Risma seperti dikutip Detik.
Bukan hendak curiga, tapi kalimat itu bisa dianggap sebagai serangan fajar untuk #temanAhok, sebuah gerakan warga Jakarta untuk menjaring dukungan rakyat sebagai pelengkap pencalonan dari jalur independen. Banyak pertanyaan yang ada dalam benak saya tentang ilmu bener dan pener (semakna dengan pantas dan patut).
Benar bila  melihat Risma harus maju ke Jakarta dan bersaing dengan Ahok. Tentu Risma sebagai kader partai PDIP yang harus menjalankan amanah partai (yang katanya adalah perwujudan suara rakyat) menjalankan perintah dan melepas jabatannya sebagai wali kota adalah tindakan benar. Tapi apakah pener? Apakah pantas dan apakah patut bila melihat dia baru saja mendapatkan mandat rakyat Surabaya untuk kali kedua.
Tapi kabar majunya Risma sebagai lawan Ahok semakin muncul ke permukaan. Ibarat permainan catur, pion pertama sudah mulai dijalankan dan saatnya mengatur strategi. Bukankah banyak yang menyamakan politik dengan permainan catur?
Permainan catur memang cukup unik dan menarik untuk dimainkan. Banyak sosok dengan karakter yang berbeda-beda. Pion yang hanya bisa berjalan satu langkah dan hanya bisa membunuh satu langkah menyilang ke depan. Ada menteri yang hanya bisa berjalan dan membunuh sesuai dengan bidak kekuasaannya. Ada menteri bidak hitam dan bidak putih.
Ada benteng yang bisa berjalan dan memakan berdasar garis tapi tidak bisa menyilang. Masih ada perdana menteri yang menggabungkan kebisaan menteri dan benteng dalam langkah-langkah permainan. Strategi permainan adalah menyerang dan membunuh raja lawan sekaligus melindung raja kita dari serangan musuh.
Tapi ada satu sosok lagi yang sekilas tidak tampak menonjol, tapi menurut saya sangat layak dipertahankan. Sosok itu adalah kuda. Kendati banyak yang mengabaikan sosok ini, tapi menurut saya, serangan kuda tidak bisa dihadang dan dihalang. Serangan benteng, menteri sampai dengan perdana menteri bisa dihadang tanpa harus berpindah tempat. Sedang menghadapi serangan kuda, lawan harus menggeser sasaran atau membunuh kuda penyerang.
Melihat perkembangan menyambut Pilgub Jakarta, saya jadi ingat sebuah lelucon lama yang sampai sekarang masih tertancap jelas dalam benak saya. Lelucon tersebutlah yang membuat saya penasaran dengan kabar seputar Pilgub Jakarta. Ada apa dengan Jakarta?
Lelucon yang hendak saya ceritakan ini mencoba menggambarkan penjabaran arti politik. Dialog antara seorang anak kecil bertanya pada ayahnya :
"Ayah, dapatkah kau jelaskan apakah politik itu?"
Ayah berkata,"Nak, aku akan menjelaskan seperti ini:
Aku adalah pencari nafkah bagi keluarga, jadi sebutlah aku KAPITALIS. Ibumu, dia adalah pengatur keuangan, sehingga kita sebut dia PEMERINTAH. Kami di sini untuk memenuhi kebutuhanmu sehingga kau kita sebut RAKYAT. Bibi pembantu kita anggap sebagai BURUH. Sekarang adikmu yang masih bayi, kita sebut dia MASA DEPAN. Sekarang pikirkanlah hal ini dan pertimbangkanlah apakah ini masuk akal bagimu".
Anak tersebut masuk ke kamarnya dan memikirkan apa yang baru saja dikatakan ayahnya.
Tengah malam, dia mendengar adiknya menangis, lalu dia bangun dan memeriksanya, dan dia menemukan adiknya basah kuyup dan kotor karena adiknya pipis dan buang air besar. Anak itu lantas pergi ke kamar orang tuanya dan melihat ibunya sedang tidur nyenyak sambil mendengkur.
Tak ingin membangunkan ibunya, ia pergi ke kamar pembantu. Pintunya terkunci dan dia mengintip dari lubang kunci. Saat itu, dia melihat ayahnya sedang bercinta dengan si pembantu.
Dia menyerah dan kembali ke kamarnya.
Pagi berikutnya, anak kecil itu berkata pada ayahnya, "Kurasa sekarang aku mengerti apa itu Politik."
Ayah menjawab, "Bagus, nak, ceritakan padaku pendapatmu tentang politik."
Si anak segera menjawab, "Ketika Kapitalis sedang memanfaatkan Buruh, Pemerintah tidur, Rakyat hanya bisa menonton dan bingung melihat Masa Depan berada dalam kesulitan besar.
Saya akan mencoba menggambarkan pengertian saya yang –menurut saya sih- masuk akal.
MASA DEPAN: tidak bisa menentukan dirinya sendiri. Dia sangat perlu kerjasama antara KAPITALIS dan PEMERINTAH. Tentu saja dengan mempekerjakan BURUH sebagai pelaksana dengan harapan berbagi keuntungan. Sedang RAKYAT, akan merasa tenang bila MASA DEPAN dirawat, dijaga dan diperhatikan.
KAPITALIS: namanya kapitalis, tentu dia akan mencari keuntungan pribadi tanpa banyak mempertimbangkan pihak lain. Dia akan mencari PEMERINTAH yang lemah dan tidak bisa mengawasi ulahnya.
BURUH: tentu saja kalau bicara BURUH ada;ah bicara tentang penghasilan. Bisa saja BURUH melawan kekuasaan KAPITALIS, tapi dengan resiko kehilangan pekerjaan dan tidak akan merasa tidak mampu mencari makan.
PEMERINTAH: jelas harusnya dialah yang memegang kendali dalam sebuah sistem politik. Dia yang bertanggungjawab atas MASA DEPAN dan mengendalikan KAPITALIS serta mengawasi dan melindungi BURUH. Dia juga yag bertanggungjawab atas keselamatan RAKYAT. Tapi PEMERINTAH memang punya penyakit yang hampir sama, yaitu lengah saat posisi nyaman, kebutuhan tercukupi dan keamanannya terjaga. Jadi kunci dalam politik ada di tangan PEMERINTAH.
RAKYAT: kekuatannya tidak terlalu besar walaupun RAKYAT selalu dijadikan alasan oleh KAPITALIS dan PEMERINTAH. Banyak KAPITALIS yang akan mengatakan, semua yang dilakukannya, semata-mata untuk RAKYAT. Hal yang sama juga dilakukan PEMERINTAH yang selalu bertindak mengatasnamakan kepentingan RAKYAT.
Sekarang, andai saya rakyat (dan memang benar-benar dalam posisi itu), ada beberapa hal yang bisa saya lakukan.
1. Menyelamatkan MASA DEPAN, semampu saya.
2. Menyadarkan KAPITALIS akan ulah semena-menanya kepada BURUH.
3. Membangunkan PEMERINTAH agar sadar akan tugas dan tanggungjawabnya terhadap RAKYAT, MASA DEPAN, BURUH dan mengawasi KAPITALIS. Cara ini sangat masuk akal dan paling tepat dilakukan.
Tapi kalau ternyata PEMERINTAH tak juga terbangun dari tidurnya, tidak ada salahnya kok menggulingkan PEMERINTAH hingga terjungkal. Jangan pernah takut berganti PEMERINTAH lama dengan PEMERINTAH yang baru. Karena percayalah, tidak semua ibu tiri lebih kejam dari ibu kandung. Ups…(Penulis adalah Wartawan Surat Kabar Harian Memorandum)