Rabu, Oktober 05, 2016

Istimewakah Cinta?



Cinta. Banyak makna yang terkandung di dalamnya. Ada yang memberi makna cinta dengan Cerita Indah Namun Tiada Akhir atau cinta adalah bahasa yang mendunia. Tapi benarkan cinta masih sesuci itu? Benarkah cinta yang ada sekarang ini sesuci cinta Kaisar Mughal Shah Jahan untuk istri tercintanya, Mumtaz  dengan membangun Taj Mahal di India.
Atau kisah romantis Romeo Yuliet, atau kisah pewayangan Rama dan Shinta.
Sekarang, cinta nyaris kehilangan makna. Cinta tumbuh liar di hati para belia. Mereka mulai merasakan cinta sejak di usia dini, usia dimana mereka semestinya masih belajar dan bermain. Para belia ini sudah merasakan cinta dan rasanya bercinta. Duh..
Cinta juga sudah membutakan hati para belia. Mereka mengabaikan masa depan yang masih membentang dan memilih mengumbar naluri seksualnya secara serampang. Sebagian di antara mereka malah sudah menjadikan percintaan sebagai ajang bisnis. Saya lebih suka menyebut ‘Cinta Bertarif’ sebagai plesetan sebuah judul film -Cinta Bertasbih- untuk istilah ini.
Gadis belia malah mulai liar dan memanfaatkan nafsu lelaki dewasa yang gila dengan kemolekan dan kepolosan tubuh bocah, untuk urusan finansial. Hasilnya, transaksi cinta bertarif pun selalu ada, walaupun banyak sudah yang terungkap dan ditangkap. Matikah cinta bertarif ini. Tidak, dia tetap tumbuh dan berkembang liar di sela-sela kehidupan.
Edannya, kadang demi cinta bertarif, perkelahian tak bisa dielakkan. Di Blitar, beberapa tahun lalu, seorang polisi berpangkat perwira menengah (pamen), terlibat dalam pembunuhan hanya karena purel yang selama ini menjadi kekasih gelap sang pamen, berpaling cinta.
Yang terbaru adalah dua purel di Tulungagung, Arin Istriadi (23), warga Desa Kamplok, Kawedanan, Magetan yang berkelahi dengan Mega Sukma Putri Pamilu (17), warga Jalan Kepunden, Pakisaji, Malang, pada Minggu (18/9/2016). Pemicunya, rebutan lelaki tajir yang menjadi langganan kencan mereka.
Padahal dalam dunia cinta bertarif, uang adalah segala-galanya. Siapa yang bisa bayar lebih, akan mendapat pelayanan lebih pula. Saya jadi ingat komentar seorang kawan yang sering menghabiskan malam di tempat hiburan malam tanpa ditemani purel atau ladyscot atau pemandu lagu. “Jangan pernah percaya sapaan sayang di tempat hiburan. Palsu semuanya,” katanya.
Motif yang mirip, juga terjadi di Situbondo pada Selasa (20/9/2016). Diduga terbakar api cemburu, Suharsono (35), warga Kelurahan Dawuhan, Situbondo, duel dengan Nur Sarah (39), tetangganya. Kasusnya pun masih dalam penyelidikan petugas kepolisian setempat.
Jadi apakah cinta masih sangat istimewa? Masih adakah yang mengagungkannya dengan seagung-agungnya? Masih adalah yang mencintai dengan apa adanya dan dengan segala resikonya? Jelas lah, golongan ini ada dan tetap memberi makna indahnya cinta.
Secara ekstrim, saya malah menilai bahwa sepasang suami istri yang kompak melakukan tindak kejahatan, adalah bukti agungnya cinta mereka. Saat segala jalan bertahan sudah buntu, pilihan terakhir adalah melanggar hukum dan dilakukan bersama-sama.  Indahnya cinta.
Tentu penilaian saya di atas, masih perlu diperdebatkan. masih perlu dipertanyakan dan masih perlu diuji ditelitikan. Saya tidak perlu itu semua karena ini adalah penilaian saya. Anda mau menilai berbeda, monggo saja.
Hanya saja, saya ingin menyampaikan kepada para pengagung cinta dan para pengingkar cinta. Kalimat yang sering diucapkan siluman babi Pat Kay dalam kisah Kera Saksi Mencari Kiab Suci, pas untuk para pengagung cinta dan pengingkar cinta.
Dalam kisah tersebut, diselipi kisah cinta 1000 kali reinkarnasi Si Pat Kay dan selalu mengalami kegagalan. Pat Kay bisa jadi adalah kisah kesialan dari segala percintaan. Mau tahu kalimat Pat Kay tentang cinta?
Cinta, penderitaan tiada akhir. (*)

Antara Hajatan dan Hujatan



Bulan ini adalah bulan Dzulhijah atau di penanggalan Jawa dikenal dengan Bulan Besar. Bulan yang diyakini adalah bulan baik untuk menggelar pernikahan, sunatan ataupun pindahan rumah. Sebulan sebelumnya, di penanggalan Jawa disebut bulan Selo atau bulan Dzulkaidah. Bulan selo yang dalam arti Jawa adalah lubang yang menganga pada tanah tandus, diyakini bulan yang buruk untuk hajatan.
Saya jadi ingat dengan hajatan anak saya, sekitar 10 tahun lalu. Saat itu saya mertua saya yang diyakini bisa menghitung hari baik, masih belum meninggal. Sebagai menantu –semata-mata menghormati-, saya pun minta dicarikan hari baik untuk hajatan anak saya. Secara pribadi, saya tidak ingin dianggap anak (menantu) yang lancang kepada orangnya.
Hanya saja, saya sebelumnya sudah mengajukan syarat untuk hari baik yang saya minta. Apakah itu? Hari baik yang saya minta adalah bulannya terserah, asal hari akhir pekan dan awal bulan masehi. Pertimbangan saya sederhana. Seluruh teman saya bergaji berdasar penanggalan Tahun Masehi, bukan Hijriah.
Tapi resiko dianggap sebagai bulan baik, di bulan yang juga dibarengi dengan Idul Adha dan ibadah haji, banyak yang menggelar hajatan. Bagi yang punya banyak relasi dan kenalan, bisa jadi bulan ini adalah bulan yang berat untuk anggaran buwuhan. Syukurlah, bulan ini saya hanya dapat undangan dari 2 teman baik saya.
Tapi apakah ini bulan berat hanya bagi yang punya banyak kenalan? Tidak. Saya yang hanya mendapatkan 2 undangan saya, masih merasakan berat yang lain akibat kebaikan bulan ini. Bulan ini juga bulan yang berat bagi orang-orang yang menghabiskan hari-hari siang dan malamnya di jalanan. Kenapa?
Ya karena banyaknya orang menggelar hajatan, membuat banyak jalan dan gang yang ditutup total untuk lokasi terop. Resikonya, bila ingin melintasi, kita harus merubah rute yang biasanya disediakan oleh keluarga yang berhajat. Kadang kita dilewatkan lorong yang lebih kecil dan di sela-sela rumah penduduk. Bagi yang berkendara roda dua, sudah membuat sulit apalagi yang mengendarai roda empat. Tentu kesulitannya bila kadung berhadapan dengan jalan ditutup karena hajatan, harus putar balik dan melingkar ke jalan yang lebih jauh.
Saya sendiri sering menghujat dalam hati bila melihat terop menutup seluruh badan jalan. Ini karena kadang saya harus berburu dengan waktu janjian dengan teman atau pun jadwal kantor. Seandainya, mereka menyisakan sebagian ruas jalan dan ditambah dengan pengatur lalu lintas, saya yakin tidak bakal hilang kemeriahan hajatan mereka.
Saya malah bisa memastikan, hajatan akan lebih meriah tanpa diselingi dengan hujatan pengguna jalan yang terpaksa menggerutu karena arusnya dialihkan ke jalur yang tak jelas. Kendatipun harus antri dan sedikit bersabar, pengguna jalan akan memaklumi bila diatur bergantian melintas di samping terop. Bayangkan, bila pengguna jalan terlanjur masuk ke ruas jalan dan terhenyak saat melihat larangan dilarang masuk dan dijaga hansip kampung. Terpaksa dia harus memutar dan tentu saja diselingi dengan gerutuan dan hujatan.
Jadi, bila Anda hendak punya hajat, silahkan gunakan jalan di depan rumah anda. Tapi sisakan sekedar untuk lalu lintas pengguna jalan, bukan hanya undangan hajatan anda. Silahkan berhajad, jangan biarkan kami mengumpat dan menghujat. (penulis adalah Wartawan Harian Pagi Memorandum)

Dimas Kanjeng,Antara Peka dan Pekok



Penangkapan Pimpinan Yayasan Padepokan, Dimas Kanjeng Taat Pribadi, warga Probolinggo pada Kamis (22/9/2016) pagi, menghentak dan menyentak warga Jawa Timur. Pasalnya, informasi lelaki tambung yang dikenal bisa mendatangkan uang secara gaib ini sudah mengular dari getok tular, dari mulut ke mulut.
Anda bisa menemukan beberapa puluh video tentang atraksi Dimas Kanjeng di youtube.com. Di sana, Anda akan melihat tayangan video tanpa editan, tanpa putus tentang cara Dimas Kanjeng mengeluarkan uang dari balik tubuhnya. Dalam setiap video, Dimas Kanjeng yang pernah dikukuhkan sebagai raja ini selalu dalam posisi duduk dan mengambil uang dari balik badannya.
Logika saya, tidak ada cara cepat menjadi kaya seperti yang ditunjukkan Dimas Kanjeng. Saya memang dilahirkan dari keluarga sederhana dan dari desa kecil. Saya terbiasa kerja keras untuk kaya, bukan main sihir. Sopo obah bakal iso mamah (siapa yang mau berusaha, akan mendapat rejeki). Sederhana. Ya memang hidup itu sederhana kok. Nafsu saja yang mempersulitnya.
Kembali ke Dimas Kanjeng. Dengan ulah sihir yang memukau, dia merayu orang-orang pemalas yang mau kaya tanpa berusaha. Dalam benak para pemalas, mereka tinggal duduk di depan Dimas Kanjeng dan mengumpulkan hujan uang di depannya.
Sekali lagi, saya pake logika saya. Cara sihir dan promisi yang sangat persuasif, bisa membuat banyak orang terpedaya. Harusnya inilah yang menjadi tanda bahaya bagi pihak yang waspada. Siapa? Ya tentu saja adalah polisi, pemerintah daerah sampai dengan para TNI.
Tentu saja, mereka semua dibayar oleh uang rakyat untuk memberi perlindungan, bukan pembiaran tampilan ataupun sajian-sajian semu semacam Dimas Kanjeng. Harusnya, mereka inilah yang mengedepankan akal pikir dan logika normal untuk aksi-aksi semacam ini.
Aksi semacam uang ghaib, penangkapan jenglot, tuyul yang terperangkap dalam toplos dan mulai meresahkan masyarakat, harusnya segera diantisipasi. Perusahaan yang memberikan janji keuntungan di luar nalar pun harusnya sudah bisa diantisipasi. Berdalih tidak ada korban dan belum ada laporan, semestinya tidak menjadi tameng dari aksi pembiaran tersebut.
Sepanjang yang saya tahu, ada istilah 3 pilar di tengah-tengah masyarakat kita. Tiga pilar yang merupakan unsur gabungan dari polisi, TNI dan pemerintah daerah melalui Pol PP ini diharapkan menjadi ujung tombak pelayanan dan perlindungan keamanan masyarakat. Asal anda tahu, 3 pilar tersebut ada di setiap kelurahan/desa di Jawa Timur.
Dengan analog ini, saya sangat yakin bila 3 pilar tersebut sangat menguasai tipografi dan karakteristik masyarakat desanya. Tiga pilar inilah yang seharusnya mampu mengendus segala peluang keresahan masyarakat saat masih berada di level rendah. Ketiga pilar tersebut saya yakin terlatih dan terdidik secara logika. Tidak ada cara kaya mendadak kecuali dengan merampok bank dan menguras isi brankasnya. Cara sihir dan bisnis, sangat mustahil.
Melihat kemampuan para pilar di tingkat lebih tinggi, mereka punya pasukan intel baik di kepolisian maupun di TNI. Mereka ini harusnya bisa mendeteksi lebih awal ancaman gangguan keamanan dan ketertiban. Tentu anda pernah mendengar hebohnya kasus Pohonmas yang menjanjikan bisnis MLM (Multi Level Marketing) dengan bonus umroh, sekitar 10 tahun lalu. Itu menjadi besar dan meresahkan karena tidak ada antisipasi dari para pilar yang menjaga rasa aman masyarakat.
Kalau hal meresahkan ini kembali terulang dan terulang lagi, terserah anda memberi penilaian. Apakah mereka ini peka atau pekok? (*)

Nb: Pekok: bodoh (bhs Jawa)