Sejak seminggu lalu, Surabaya dan Jawa Timur,
mencermati pemberitaan sejumlah dugaan ulah tak etis dari petugas medis. Dua
diantaranya terjadi di satu rumah sakit yaitu Nasional Hospital dan satunya
tersiar dan menyebar dari sebuah rumah sakit di kawasan Sidoarjo.
Belakangan yang dari rumah sakit di Taman, Sidoarjo,
memberikan bantahan terkait dengan tudingan pihak keluarga. Sedang perkara tak
edis di Nasional Hospital, ditangani di Polda Jatim dan di Polrestabes
Surabaya.
Polda Jatim menangani dugaan pelecehan yang dilakukan
oleh dokter Reza yang dilaporkan melakukan pelecehan kepada calon perawat OPA,
setahun lalu. Selain kasus ini dilaporkan pidananya ke Polda Jatim, OPA juga
sedang mengajukan gugatan perdata di Pengadilan Negeri Surabaya. Sementara
waktu, tentunya gugatan perdana akan berhenti sementara waktu sembari menungu
proses pemeriksaan tindak pidananya.
Kasus dari petugas medis rumah sakit yang sama,
ditangani Polrestabes Surabaya. Penegak undang-undang di Jalan Sikatan ini
sudah mengamankan Zunaidi Abdilah (30), perawat yang dituding mencabuli salah
satu pasiennya usai menjalani operasi. Setelah dilaporkan, Zunaidi sempat kabur
sampai akhirnya berhasil diamankan di sebuah hotel.
Rumah sakit memang lokasi yang rentan konflik. Di sana
terkumpul keluarga pasien yang ingin keluarganya segera sembuh dan mendapat
pelayanan medis. Untuk orang awam, tentu banyak tindakan medis yang tidak
dipahaminya dan tanpa banyak tanya membiarkan penanganan tersebut dilakukan.
Sepanjang karir saya di Memorandum, saya pernah ngepos
di RSU dr Soetomo lebih dari 3 tahun. Sebagian besar waktu saya ada di
instalasi rawat darurat (IRD) semacam UGD (unit gawat darurat) yang menjadi
jujugan kali pertama pasien dengan kategori gawat. Tentu gawat di sini sesuai
dengan kriteria orang awam. Bukan kategori menurut medis.
Beda dengan para orang awam. Tim medis di sana punya
kriteria tersendiri untuk memilah kategori gawat. Dulu ada 4 warna label yang
akan ditempelkan di kartu status pasien. Kuning, Hijau, Merah, dan Biru.
Seingat saya, Kuning untuk kategori tidak gawat, Hijau untuk kategori gawat
sedang, Merah untuk kondisi gawat dan Biru untuk sangat gawat dan cenderung
mengancam jiwa.
Inilah yang tidak begitu dipahami keluarga pasien.
Kendati ada stiker kuning dalam lembar status keluarganya, mereka pun tetap
minta agar segera mendapat perawatan medis. Kadang kondisi inilah yang membuat
kondisi emosi keluarga pasien rawan memanas dan terbakar emosi.
Kembali ke tingkah tak etis dari petugas medis, ini
adalah persoalan moral personal. Sama seperti profesi lain yang juga selalu ada
ulah tak etis. Kendati dalam keseharian, para petugas medis sudah terbiasa
dengan bagian tubuh manusian, tentu dalam kondisi tertentu akan saja kembali ke
sisi manusiawi, birahi.
Sama seperti kelompok profesi lain. Ada guru cabul,
polisi cabul, sampai pada guru ngaji pun ada yang cabul. Tokoh agama pun tak
luput dari godaan cabul ini. Sekali lagi saya katakan, ini adalah moral
personal bukan moral secara komunal. Di kalangan lokalisasi pun, mereka sering
tampak santun di luar kamar tapi sangat cabul di dalam kamar.
Satu lagi bukti bila keilmuan medis tetap saja punya
ulah tak etis adalah aksi Intan Ariani (19), yang membuang bayinya di Madiun,
awal bulan Januari 2018 lalu. Intan ini adalah mahasiswi Akademi Kebidanan
Stikes Bhakti Husada Muliya Kota Madiun. Wanita asal Desa Kemiri, Kecamatan
Jenangan, Kabupaten Ponorogo, Jawa Timur, tega membuang bayi di pekarangan
asrama akibat hubungan gelap.
Secara logika, dia adalah mahasiswi kebidanan yang
seharusnya tahu bagaimana kehamilan dan cara-cara pencegahannya. Nyatanya, dia
jebol juga hingga akhirnya kini dia pun dijebloskan ke tahanan. Nah kan.
Hanya saja ada satu pertanyaan yang menjadi ganjalan.
Setahu saya, spesialis kandungan lebih banyak dari laki-lakinya daripada
perempuannya. Saya pernah mencoba mencari spesialis kandungan wanita di sekitar
tempat tinggal saya. Ada memang, tapi tidak semudah mencari dokter laki-laki
yang spesialis kandungan.
Iseng saja saya ingin bertanya, apa tujuan kali
pertama si dokter tersebut saat memilih spesialis kandungan sebagai S2
pendidikan kedokterannya?