Selasa, November 06, 2018

Bernyanyi atau Gigit Kayu Mati

*Andai Saya Agus Setiawan Jong

Agus Setiawan Jong adalah tersangka (sementara adalah satu-satunya) dalam kasus jarring aspirasi masyarakat Kota Surabaya. Pria tua keturunan ini sendirian mendekam di tahanan Kejaksaan Negeri Tanjung Perak Surabaya. Pria ini disebut-sebut memainkan anggaran negara untuk warga tersebut. Melalui kewenangan anggota DPRD Surabaya. Karena itulah, sudah ada 6 wakil rakyat yang terhormat diperiksa penyidik kejaksaan. Hasilnya, tidak ada yang tahu.
Sekarang mari kita berbisnis karena Jong pun menjalankan bisnis pada pengelolaan uang negara tersebut. Disebut-sebut, Jong memainkan anggaran untuk kemudian berbagi keuntungan dengan anggota dewan. Kabarnya memang demikian karena belum ada keterangan apapun yang menyangkutkan keduanya. Semuanya masih asumsi di khalayak umum.
Ada dua pilihan untuk Jong. Bernyanyi atau gigit kayu mati. Keduanya punya resiko dan untung ruginya. Iya untung ruginya karena memang kedua pilihan ini bisa dikaitkan dengan rupiah.
Pertama, pilihan menyanyi. Jong bisa dengan mudah dan gamplang tak peduli suara sumbang. Tinggal sebutkan nama-nama anggota dewan yang pernah bekerjasama dengannya dalam permainan anggaran tersebut. ada berapa nama silahkan saja disebutkan. Tinggal nanti penyidik akan mendalami keterangan Jong ini dan mencocokkan dengan bukti yang ada.
Dalam posisi menyanyi, Jong bisa mengajukan menjadi justice collaborator (JC). Keuntungannya akan mendapat keringanan termasuk keringanan tuntutan dan menjadi pertimbangan hakim pada perihal hal yang meringankan terdakwa, kelak. Dengan posisi ini Jong akan mendapat banyak kemudahan karena dianggap membantu dalam penegakan undang-undang antikorupsi di Indonesia.
Pilihan lainnya, akan lebih rumit tapi lebih menguntungkan secara financial. Jong bisa saja memilih menggigit kayu mati alias pasang badan dan tidak mau menyebutkan siapa saja anggota dewan yang terlibat dalam aksinya. Tentu cara ini bisa dilakukan dengan imbalan sang anggota dewan yang ditutupi harus memberi imbalan. Tentu saja uang.
Resikonya, Jong akan mendapat tekanan dan hukuman maksimal atas dasar pembangkangan dan aksi bungkamnya. Tapi bila sudah dibarter dengan imbalan uang, tentu saja hukuman lama bukan menjadi persoalan. Toh selama-lamanya kurungan pengganti denda (seandainya tidak mau membayar denda) adalah 6 bulan –kalau tidak salah-. Terlalu singkat bila nantinya ditambahkan dengan putusan hakim tipikor.
Lalu apakah anggota dewan yang terlibat dari ditutupi Jong tidak akan terbongkar? Tergantung pada niatan penyidik. Apakah serius membuktikan atau cukup dari pengakuan Jong. Lagian toh hasil pemeriksaan 6 anggota dewan tidak pernah dipublikasikan. Padahal bisa jadi dalam pemeriksaan tersebut, para wakil rakyat tersebut sudah terpojok dan mengaku beraksi bersama Jong.
Kalau Jong gigit kayu mati, tinggal niatan penyidik. Apakah tetap mendalami pemeriksaan dan keterlibatan para wakil rakyat tersebut atau diam-diam mengaburkan. Kemudian melupakannya.
Sekedar berbagi cerita belasan tahun lalu. Dalam buku saya sempat saya bahas kabar santer tapi tidak bisa dibuktikan. Penangkapan salah satu bandar togel di Surabaya. Inisialnya W adalah sesembahan yang dikorbankan oleh paguyuban bandar judi Surabaya (semacam perkumpulan atau asosiasi mafia judi).
Dalam paguyuban, dibahas perintah kapolri saat itu Sutanto yang ingin Jawa Timur bersih dari perjudian. Semasa kepemimpinan Sutanto, sejumlah lokasi perjudian mirip kasino di Jalan Panglima Sudirman dan Jalan Kusuma Bangsa, tutup dengan sendirinya. Termasuk judi togel dengan dikorbannya bandar W sebagai tumbal.
Padahal saat itu bandar judi togel di Surabaya tidak hanya W. Ada beberapa nama tapi sampai sekarang, tidak ada bandar lain yang ditangkap. Malah W ini sempat ditangkap 2 kali dalam kasus yang sama. Kendati lokasi penangkapan yang kedua bukan di Surabaya.
Jong bisa menawarkan diri sebagai pengganti seperti W. kabarnya saat itu setiap bandar yang terhindar memberikan sejumlah uang sebagai pengganti diri. Sama. Jong juga tinggal menghubungi wakil rakyat yang mau dilindungi dengan balasan imbalan.
Berapa? Hanya Jong dan wakil rakyat tersebut yang tahu. Terlebih sebentar lagi masa perpanjangan karir politik mereka. Mereka ini sedang suka royal dan mendadak baik. Demi nama baiknya, mereka mendadak jauh lebih baik.
Jong, kamu bisa kontak saya kalau butuh penjelasan detailnya. Salam.

News Value (Nilai Berita)



Beberapa waktu lalu bermunculan di wall FaceBook (FB) saya tentang demo guru di Jakarta dan disebut-sebut tidak ada media yang meliputnya. Ada juga kabar di wall yang menyebutkan anak Indonesia yang menjadi juara membaca Alquran juga tidak ada media yang menulisnya. Well. Saya mencoba memaparkan bagaimana itu terjadi dan mengapa berdasar keilmuan dan praktek yang selama ini saya jalani.
Kesimpulan saya adalah tidak semuanya bisa dikaitkan dengan kalimat media sudah tidak netral. Media sudah menjadi lembaga bisnis murni yang mengesampingkan informasi penting. Media sudah kapitalis. Ini penjelasan saya.
Dalam berita ada 6 unsur yaitu 5W 1H yakni kependekan dari who, what, where, when, why, how. Keenam unsure inilah yang akan saling menyumbang peran dalam tinggi rendahnya sebuah berita. Penilaian antarunsur inilah yang menjadikan sebuah kejadian bernilai tinggi, sedang, biasa, atau ringan. Contohnya dengan kejadian yang sama. Seorang tukang becak nyabu dibandingkan dengan kepala sekolah yang nyabu, akan lebih tinggi nilai berita tentang kepala sekolah yang nyabu. Apalagi andai misalnya dibandingkan dengan bupati, gubernur, menteri, atau malah presiden yang nyabu. Itu bila melihat dari unsur ‘who’.
Perlakuan yang sama juga untuk unsur lainnya. Misalnya, berjudi di gardu kampung dan berjudi di teras tempat ibadah, tentu akan berbeda nilainya berdasar unsure where. Unsure what, bhen, why, dan how pun punya peran untuk menambah nilai berita.
Kembali ke masalah demo guru honorer di Jakarta. Dari hasil pelacakan saya, sudah banyak media (sebagian juga media mainstream) yang meliputnya. Termasuk upaya para guru honorer yang mengajukan gugutan kepada pemerintah. Semuanya ada. Tapi seiring perjalanan waktu, kejadian yang sama dan berlangsung lama tanpa ada pergerakan berarti, akan menurunkan nilai berita. Contoh (ini hanya contoh). Misalnya, ada guru honorer yang akhirnya meninggal dunia dalam aksi demo tersebut, akan membuat nilai berita naik lagi. Contoh lagi (sekali lagi ini hanya contoh). Ada honorer yang meninggal setelah dipukuli satu regu polisi. Wwihhh…. News value tinggi pakai banget.
Untuk kasus anak Indonesia yang menjadi juara membaca Alquran, ada analisa dari beberapa kawan saya. Dan itu masuk akal bagi saya. Media dan wartawan bukan malaikat yang serba tahu segala kejadian. Itulah gunanya ada bagian humas yang bertugas mengabarkan kepada pekerja media tentang informasi yang ingin ditunjukkan kepada masyarakat. Beberapa tahun lalu, ada anak Indonesia yang juga menjuarai hal yang sama dan terpublikasi di banyak media. Saat itu, orang tua sang anak memberi informasi kepada pekerja media yang kemudian meliputnya. Untuk kasus terakhir, tidak ada kabar ke pekerja media dan tiba-tiba muncul di sosial media, media mengabaikan prestasi luar biasa tersebut.
Nyaris sama dengan kebakaran Kampung Adat, Nggela, Ende – Flores, beberapa waktu lalu. Karena berbarengan dengan kecelakaan Lion Air JT 601, berita kebakaran simbol budaya Flores ini tidak muat di media nasional. Tapi yakinkan, di media lokalan, berita ini akan punya porsi yang lebih besar. Dalam ilmu komunikasi, ini dikatakan dengan kedekatan baik secara emosional maupun secara kewilayahan. Dalam kasus Nggela dan Lion, mengapa kok tidak muncul opini negative. Misalnya kok media selalu membela orang kaya (penumpang pesawat) dan mengabaikan orang kuno (mengagung-agungkan simbol budaya). Karena semuanya sudah paham dengan ilmu komunikasi dan news value.
Memang, sosial media sudah menguasai lebih dari media massa. Media massa butuh sejumlah ornament pelengkap. Salah satunya adalah badan usaha berbentuk PT sebagaimana yang diatur undang-undang. Sedang sosial media hanya butuh jempol dan smartphone. Itulah mengapa, orang yang terlalu fokus pada sosial media lebih sering mengabaikan media massa. Sangat masuk akal bila mengambil kesimpulan media sudah terbeli dan terjual bila membandingkan sosial media.
Kalau ada tudingan mengapa berita kelompok tertentu lebih banyak porsinya dibandingkan dengan kelompok yang lain. Ya news value itu yang membedakannya. Tentu saja media tetap mengedepankan bisnis karena seluruh karyawannya harus digaji. Tidak seperti sosial media yang muncul dan berkembang atas kesadaran kesukarelaan.
News value bisa direncanakan oleh humas (hubungan masyarakat). Di fakultas komunikasi, ada jurusan jurnalistik dan kehumasan. Humas ini bertugas membangun citra di mana dia bekerja atau berada. Jadi bila salah satu kelompok lebih unggul dalam pemberitaan, berarti kehumasannya jauh lebih pintar mengolah news value daripada humas kelompok satunya. Jangan kemudian kalah ilmu kehumasan dalam mengemas news value kemudian menuding media sudah terbeli. Media sudah tidak mengedepankan informasi yang dibutuhkan masyarakat.
Oh iya. Ada yang sedikit lupa. Media ada segmentasi pasar sesuai dengan apa yang diyakininya bisa bergerak. Segmentasi ini membuat masyarakat bisa memilih media mana yang bisa memuaskan keingintahuannya dan tidak salah pilih. Andai anda ingin tahu perkembangan sepak bola, tentu anda layak memilik tabloid olahraga. Jangan pernah membeli tabloid politik karena ada tidak akan terpuaskan. Demikian sebaliknya. Mirip dokter spesialis. Kendati mereka berawal dari dokter umum, anda tidak akan nekad mendatangi dokter spesialis kelamin untuk memeriksakan keluhan jantung anda. Tidak akan senekad itu. Walaupun saya yakin dokter spesialis kelamin pun menguasai ilmu jantung. Dalam batas sepengetahuan dokter umum.
Semoga banyak yang bisa paham apa itu news value dan bagaimana menyikapinya. Walaupun tetap dalam keyakinan saya, news value tertinggi adalah advertorial.