Minggu, Juni 08, 2008

Wak... kakakak

Hari ini saya baru saja bertemu dengan teman yang sudah lama tidak berjumpa. Saya sangat senang karena memang teman saya ini dikenal sebagai teman yang cukup kontroversi. Malah sebagian diantara kami menyakini kalau dia sebenarnya sudah nyaris menjadi atheis.

Saya sendiri sudah yakin andai lebaran dia tidak pulang ke kampung halaman, dia tidak akan sholat idul fitri. Malam itu, kami melepas rindu dan juga melepas kepenatan pekerjaan sehari-hari. Awalnya, kami membahas tentang BBM yang naik tapi tak lama kemudian berganti tentang bursa taruhan piala eropa.

Hanya saja, akhirnya kami pun bosan dan mulai nyerempet tentang agama. Sebenarnya saya sudah menolak sejak awal karena materi ini materi yang cukup berbahaya. “Agama tidak harus ditelan mentah-mentah. Tuhan saja membebaskan umatnya berusaha mencari kebenaran kok, kenapa Kamu yang marah-marah,” kata teman saya -sebut saja inisialnya cmt-.

Akhirnya karena memang sudah terdesak, saya pun tidak mau berdiskusi panjang dengannya. Maklum, selain pikiran saya sudah tidak fresh, malam sudah cukup larut. Rokok mulai habis hingga mulut pun beberapa kali menguap.

“Rukun Islam itu ada lima, Shahadat, Sholat, Zakat, Puasa dan menunaikan Ibadah haji bagi yang mampu. Benar apa betul,” kata Cmt dengan logat ala Zainuddin MZ. Tentu saja karena memang benar, kami pun diam dan tersenyum menunggu apa yang akan dikatakannya.

Tak lama kemudian, dia mempertanyakan mengapa yang mendapat sebutan kok hanya yang bisa menunaikan haji. “Seseorang akan dipanggil wak haji bila sudah pernah ke mekah. Haji sekarang sudah beda dengan haji jaman dulu, men. Sekarang ada haji yang buka rumah bordir di Dolly. Ada haji yang jadi penadah maling. Haji sudah bukan bukti kalau orang itu suci,” cerocosnya.

Merasa mendapat angin, Cmt terus melanjutkan ocehannya. “Seharusnya, kalau memang haji disebut dan dicantumkan sebagai embel-embel di depan nama seseorang, seharusnya ada juga Wak Shahadat untuk yang masih hanya bisa membaca shahadat. Wak Sholat untuk yang sudah bisa sholat. Wak zakat yang sudah bisa bayar zakat dan wak puasa yang sudah bisa menunaikan puasa. Baru kemudian saya terima bila ada yang dipanggil atau memanggil seseorang dengan Wak Haji,” katanya bak peluru senapan mesin menyerang musuhnya.

Kami pun terdiam sejenak dan memikirkan wak apa yang pantas bagi kami. Mas Budi, yang sekarang bekerja sebagai juru tagih bank, saya kira layak dipanggil dengan Wak Puasa. Mas Heri yang jadi tukang parkir di sebuah ruko, layak dipanggil dengan Wak Zakat karena saya tahu, dia jarang puasa di bulan ramadan dengan alasan musafir. Sedang Dik Rudi yang hingga kini masih belum mapan dan lebih banyak tergantung kepada kami semua layak disebut sebagai Wak sholat.

Lalu Cmt yang sekilas memang tampak jauh dari Tuhan tersebut, saya dengar sempat berucap kalimah syahadat setelah menyerang kami dengan racunnya. Bolehlah dia disebut wak shahadat. Lalu untuk saya yang belum sempat melakukan apa-apa tinggal Wak... kakakak.

Tidak ada komentar: