Narkoba sebenarnya
adalah singkatan dari Narkotika, obat berbahaya dan bahan adiktif lainnya. Tapi
Narkoba juga bisa diartikan singkatan dari neraka kok dicoba. Kalimat ini saya garis bawahi saat menjadi narasumber
dalam Lomba Poster dan Dialog Anti-Narkoba Tingkat SMA/Sederajat
se-Gerbangkertosusila 2016 di Universitas Muhammadiyah Surabaya, akhir pekan
lalu.
Kalimat di atas
disebutkan beberapa kali oleh narasumber dari BNNP Jawa Timur, BNNK Surabaya
dan Granat di depan peserta. Saya tertarik dengan kalimat itu. Rasanya, patut
untuk saya jadikan judul tulisan ini agar banyak di antara kita mudah
mengingatnya dengan baik.
Menurut saya,
Narkoba benar-benar sudah menjadi ancaman serius di Indonesia. Malah kalau
boleh memilih dan menentukan, saya posisikan narkoba di atas teroris atau pun
laten komunis. Sebagai pembanding, 1 Kg TNT (trinitrotoluene)
bila meledak, bisa membunuh beberapa ratus orang. Tapi sabu dengan berat yang
sama akan membunuh lebih banyak orang. Bila menggunakan satuan yang sedang
dipopulerkan pihak BNN, 1 gram sabu-sabu (SS) bisa dikonsumsi 8 orang, maka 1
kg SS bisa dikonsumsi 8.000 orang.
Pembanding
lain, bisa dilihat pada serangkaian pengeboman yang terjadi di Bali pada 1
Oktober 2005. Saat itu, terjadi tiga pengeboman, satu di Kuta dan dua di
Jimbaran dengan sedikitnya 23 orang tewas. Sedang pada bom Bali pada 12 Oktober
2002, bom serupa menewaskan 202 orang. Belakangan, bom teroris diangkut dalam
mobil station. Bom yang sangat besar dan berat.
Racun Narkoba
sudah menyeruak di semua lapisan dan golongan masyarakat. Jangankan kalangan
rakyat kecil yang kadang terlibat narkoba karena bisnis, di kalangan penegak
hukum, TNI, artis dan selebritis sampai di kalangan pejabat pun sudah tertipu
kenikmatan semu Narkoba. Terakhir adalah tertangkapnya anggota DPR RI asal
Fraksi PPP, Fanny Safriansyah alias Ivan Haz. Saya yakin masih banyak pejabat
yang bisa jadi sudah kecanduan narkoba, walaupun belum terungkap.
Siapa sangka,
anak mantan Wakil Presiden Hamzah Haz ini bisa terjerat Narkoba. Saya mencoba
membayangkan masalah apa yang membuatnya melampiaskan diri dengan Narkoba.
Dalam akal normal saya, dia sudah berkecukupan secara materi ataupun sosial.
Saya yakin, motif Ivan Haz mengkonsumsi narkoba, bukan karena ingin mengambil
keuntungan.
Dasar dunia
politik. Hal ini pun kemudian membesar dan bergulir rencana tes urine untuk
anggota DPR RI. Rencana ini pun memantik reaksi beragam dari wakil rakya yang
terhormat itu. Wakil Ketua DPR RI, Fahri
Hamzah, malah menolak keras wacana tersebut.
Menurut Fahri
Hamzah, itu tak diperlukan karena yang harus dipahami adalah prinsip
kelembagaan dan wibawa. Fahri mengatakan pemeriksaan urine tersebut bisa
membuat wibawa lembaga negara tergerus. “Artinya diseret dalam suatu proses
rutin yang publik tahu hasilnya bisa membuat kelembagaan juga repot," kata
Fahri Hamzah dikutip sejumlah media pada Kamis (25/2).
Lebih
mengejutkan adalah pendapat Ketua DPR Ade Komarudin, yang menyebut bahwa tes
urine itu sebagai pemborosan anggaran. Tes urine tersebut dianggap hanya
mencari kerjaan dan membuat anggaran keluar ke hal yang tidak perlu. Karena
saya bukan orang politik dan 17 tahun menjadi wartawan kriminal, saya tidak mau
mendebat mereka.
Saya mencoba
mencari informasi, berapa uang yang harus dibayarkan untuk tes urine terkait
narkoba. Dari informasi tersebut, saya dapatkan harga Rp100 ribu untuk 4
indikasi kandungan narkoba dan psikotropika. Ohh, kalau hanya segitu dan
seandainya para wakil rakyat tidak mau memboroskan uang negara, saya akan
mencarikan uangnya. Tapi syaratnya cuma satu, hari dan waktu pemeriksaan,
terserah saya atau donatur -bila ada.
Menurut saya,
pemberantasan Narkoba dan menjaga generasi muda agar terhindar dari pengaruh
ini adalah wajib. Dulu tahun 1990-an, belum ada kampung-kampung kantong
Narkoba. Saat itu, di Makam Peneleh, masih sering ditemukan orang yang
mengkonsumsi narkoba salah satunya adalah putauw. Narkoba berbentuk serbuk
putih dan harus dilarutkan kemudian disuntikkan ke nadi, menjadi narkoba yang
paling lazim.
Saat terjadi
penolakan warga dan dibarengi dengan upaya penindakan polisi, lambat laun
kawasan tersebut bersih dan kawasan Narkoba pun kemudian bergeser ke lokasi
lain. Dalam catatan saya, kawasan Gresik PPI dan Semut Kalimir juga pernah
menjadi kantong narkoba. Tapi dua tempat ini pun tak lama menjadi basis narkoba,
karena karakteristik yang berupa jalan dan kawasan tanpa penduduk, membuat
petugas tidak sulit memberantasnya.
Tapi dalam
beberapa tahun belakangan, kawasan narkoba mulai beranjak di perkampungan padat
penduduk. Di Jakarta ada kampung Ambon yang terletak di Kompleks Permata,
Cengkareng; Kampung Berlan, Jalan Slamet Riyadi Matraman Jakarta Timur yang
sampai meminta nyawa Bripka Taufik Hidayat dan seorang informan, saat
penggerebekan sampai dengan Rusun Baladewa di kawasan Johar Baru, pusat Narkoba
jenis putauw. Sedang di Surabaya, kampung tersebut adalah kawasan sekitaran
Jalan Kunti.
Kawasan ini
adalah kampung padat penduduk dengan tingkat solidaritas tinggi. Beberapa kali
upaya penangkapan di sana, harus dibayar dengan rusaknya mobil petugas atau pun
obral tembakan peringatan. Malah mobil teman baik saya yang saat itu menjabat
sebagai Kanit Reserse Narkoba mengalami kerusakan cukup parah. Bayangkan, pot
besar beserta bunganya dilemparkan warga hingga masuk ke jok tengah.
Toh sejauh ini,
hanya beberapa pengedar di kampung setempat yang bisa diringkus. Sepertinya
memang butuh banyak kekuatan untuk membungkam kampung narkoba ini. Kecuali bila
aparat masih menganggap kampung narkoba di Surabaya, masih terlalu kecil untuk
dibinasakan.
Saya sendiri
sudah melihat dasyatnya kerusakan akibat narkoba. Ada teman saya yang mendekam
di tahanan dan membuat malu keluarganya yang jadi tokoh kampung dan ada yang
mati karena HIV/AIDS, karena jarum suntik yang digunakan. Saya sendiri dengan
keluarga mereka sampai benar-benar tahu bagaimana akibat kecanduan narkoba.
Mereka cerita
banyak tentang kemarahan yang meledak saat teman saya sakauw. Mulai dari
merusak barang, menyiksa diri sendiri sampai dengan mengancam keselamatan
anggota keluarga lainnya. Teman saya yang meninggal itu malah nyaris membunuh
ibunya karena tidak memberi uang. Anda bisa membayangkan kengerian ulah pecandu
narkoba yang menyayat lengannya sendiri dan darah mengucur kemudian dihisapnya.
Jadi, masih
berminat dengan Narkoba? (Penulis, Wartawan Harian Pagi Memorandum)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar