Minggu kemarin, nenek saya di
Cilacap meninggal dunia. Nenek yang sangat banyak mengajarkan ilmu hidup kepada
saya selama ini. Kalau ada yang mengatakan
hubungan cucu dengan nenek jauh lebih akrab daripada ibu dengan anak, saya
buktinya. Pertama kali yang mengetahui kalau saya perokok adalah nenek.
Dari sekian banyak nasehatnya, ada
satu yang terpatri dalam hati saya. “Dalang ora bakal kentekan lakon”. Artinya,
seorang dalang tidak akan kehabisan cerita. Dari sekotak wayang, bisa
diceritakan seribu kisah yang sarat dengan nasehat. Dari sekotak wayang, akan
kita temukan sosok manusia termasuk pemimpin kita dan diri sendiri.
Tapi dari seribu cerita wayang akan
berhilir pada perseteruan 5 pembela kebenaran dengan nama Pandawa melawan 100
pasukan kejahatan dengan nama Kurawa. Hasil akhirnya tentu saja adalah
kejahatan tertumpas habis.
Bicara wayang, saya jadi ingat
seorang sahabat dari perwira kepolisian yang berhasil saya “Jawa-kan”. Memang
teman saya saat itu masih berpangkat Ajun Komisaris Polisi (AKP) setara dengan
Kapten dan menjabat sebuah kapolsek itu bukan orang Jawa. Dia berasal dari
sebuah suku yang dikenal dengan watak keras dan tegasnya.
Saat itu, saya ngobrol dengan dia
usai kegiatan kerjabakti di polsek yang dipimpinnya. Dalam kerjabakti itu, saya
melihat dia sangat membaur dengan anggotanya.
Tak segan dia juga turut menyapu halaman, mencabuti rumput sampai dengan
mengecat pembatas taman dengan warna hitam dan kuning.
Melihat saya datang, dia mengakhiri kegiatannya, hanya untuk
menerima saya dan diajak ruang kerjanya. Saya iseng menyapanya dan mengatakan,”Sampean iku mirip Semar, mas.”
Mendengar sapaan saya yang
menyamakan dirinya dengan Semar, terlihat jelas keningnya menyerut tanda
menyimpan penasaran tapi ada nada kesal. Mungkin dalam benaknya, sosoknya yang
pemimpin hanya disamakan dengan
sosok Semar, yang dikenalnya dengan penghibur dan peran pembantu. Saya paham
dengan perubahan mimiknya dan sebentar membiarkan.
“Sampean nggak kenal Semar, kan,” tanya saya yang dijawab
dengan gelengan kepala. Saya paham kalau dia tidak mengerti Semar karena memang
dia bukan orang Jawa dan tentu saja tidak paham dengan wayang.
Untungnya, keakraban kami membuat
saya tidak segan untuk memintanya browsing di internet dan mencari kisah
tentang Semar. Setelah itu, dia membaca naskah Purwacarita yang menceritakan
siapa Semar.
Dikisahkan, Sanghyang Tunggal
menikah dengan Dewi Rekatawati putra Sanghyang Rekatatama. Dari perkawinan itu
lahir sebutir telur yang bercahaya. Sanghyang Tunggal dengan perasaan kesal
membanting telur itu sehingga pecah menjadi tiga bagian, yaitu cangkang, putih,
dan kuning telur.
Ketiganya masing-masing menjelma
menjadi laki-laki. Yang berasal dari cangkang diberi nama Antaga, yang berasal
dari putih telur diberi nama Ismaya, sedangkan yang berasal dari kuningnya
diberi nama Manikmaya.
Pada suatu hari, Antaga dan Ismaya
berselisih karena masing-masing ingin menjadi pewaris takhta kahyangan.
Keduanya pun mengadakan perlombaan menelan gunung. Antaga berusaha melahap
gunung tersebut dengan sekali telan namun justru mengalami kecelakaan yaitu
mulutnya robek dan matanya melebar. Ismaya menggunakan cara lain, yaitu dengan
memakan gunung tersebut sedikit demi sedikit. Setelah melewati bebarpa hari
seluruh bagian gunung pun berpindah ke dalam tubuh Ismaya, namun tidak berhasil
ia keluarkan. Akibatnya sejak saat itu Ismaya pun bertubuh bulat.
Sang Hyang Tunggal murka mengetahui
ambisi dan keserakahan kedua putranya itu. Mereka pun dihukum menjadi pengasuh
keturunan Manikmaya, yang kemudian diangkat sebagai raja Kahyangan, bergelar Batara Guru. Antaga dan
Ismaya pun turun ke dunia. Masing-masing memakai nama Togog dan Semar.
“Sekarang sampean tahu siapa Semar.
Dia adalah kakak dari Batara Guru, dewa para dewa. Jadi Semar adalah dewa yang
rela dihambakan untuk melayani kebenaran,” kata saya mengintisarikan kisah
Semar.
Kawan saya yang mendengar penjelasan
saya, tersenyum dan mulai terlihat mimik bangga di wajahnya. Sejak itu, saya
tahu dia mulai menyukai gambar Semar. Beberapa kali pic profile
BlackBerrynya memasang gambar Semar dan memasang status "Dewa yang rela
dihambakan”. Saat dia pindah
tugas, saya pun memberikan kenang-kenangan gambar Semar yang diukir di selebar
kulit kambing.
Bagi saya yang asli orang Jawa,
dari wayang kita bisa mengambil banyak contoh pemimpin dari yang paling busuk
sampai dengan yang paling baik. Ada sosok wayang yang dikenal tak pernah
berbohong dalam hidupnya yaitu Yudhistira. Atau ingin sosok yang pantang
menyerah, kita bisa sebut tokoh wayang Bambang Ekalaya atau Palgunadi. Dia
pintar memanah walaupun ditolak Resi Durno sebagai muridnya.
Palgunadi pun kemudian membuat patung
menyerupai Resi Durno dan belajar di depan patung tersebut. Hasilnya, kemampuan
memanahnya beda tipis dengan Arjuna yang diajar langsung oleh Resi Durno.
Hebatnya, dalam banyak kisah, Palgunadi pun mengakui dirinya adalah murid Resi
Durno.
Di akhir kisah Palgunadi, Durno
meminta dirinya memotong telunjuk tangan kanannya sebagai wujud terima kasih
telah diajari memanah. Walaupun mengerti resikonya bila jari terpotong akan
menghilangkan kemampuannya memanah, Palgunadi tetap memotong jarinya dan
mempersembahkan kepada Durno.
Atau anda ingin tahu sosok licik,
bisa anda sebut Sengkuni. Paman Kurawa ini memang dikenal suka menjadi kompor
dan provokator dalam kisah pewayangan. Sengkunilah yang selalu menyulut
kemarahan di kubu Kurawa dan menebarkan kebencian pada Pandawa.
Kalau mencari pemimpin yang paling
brengsek, sebut saja Duryudono, raja Kurawa. Seabrek kebrengsekan ada di
sosoknya. Mulai dari arogan, sombong, kejam sampai dengan menginjak-injak
keadilan. Nyaris tidak ada kebaikan di
balik tokoh wayang antagonis ini.
Jadi, kita adalah wayang. Seperti
syair sebuah lagu yang menggambarkan dunia ini semacam panggung dan kita
memainkan peran yang kita pilih. Anda boleh memilih jadi Semar, Yudhistira,
Paldunadi, Arjuno, Resi Durno atau pun Duryudono. Atau anda memilih tokoh
wayang lainnya sebagai wakil sosok anda di dunia kemasyarakatan.
Kalau saya, lebih memilih menjadi
sosok Bima atau Werkudoro, tokoh Pandawa yang dikenal dengan sosok tinggi
besarnya. Tapi untuk saya, tentu saja bukan sosok fisik yang menyerupainya.
Sikap Bima yang tegas tanpa basa-basi, tanpa tedeng aling-aling yang saya anut.
Bima juga dikenal sebagai sosok
yang tidak bisa duduk walau di depan dewa atau titisan dewa sekalipun. Oh ya, satu lagi. Bima, satu-satunya
tokoh wayang yang tidak bisa bahasa kromo inggil, bahasa yang santun. Kepada
Kresna yang merupakan titisan Dewa Wisnu, Bima memanggil dengan jeliteng
(hitam). Ini karena memang Kresna digambarkan tokoh yang berwajah hitam. Mau
tahu panggilan dan salam hormat Bima kepada Kresna? “Heii, Jeliteng kakangku”.
(terbit di Harian Pagi Memorandum Edisi Minggu 27 Maret 2016)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar