Beberapa waktu belakangan ini, aya aktif di kegiatan di luar
kantor. Berkumpul, diskusi dan jelas dibarengi dengan ngopi bersama beberapa
teman. Saya biasanya diskusi dan ngobrol sekedar menghabiskan malam dengan
banyak kalangan. Sebagian besar memang teman kuliah dan seprofesi dengan saya
di media termasuk media antimeanstream, tapi ada juga yang di luar pekerja
media.
Di antara mereka ada yang seniman
sastra, senirupa, vokalis band aliran heavy metal sampai dengan yang menjalani
hidup layaknya sufi. Hidup dari mengandalkan setiap usaha di setiap harinya tanpa
banyak memikirkan hari esok. Saya menemukan keasyikan berkumpul dengan mereka. Serasa
menemukan dunia baru yang selama ini hanya sebuah wacana.
Saya bisa belajar dari kawan yang
seniman sastra tentang mengindahkan suasana hati yang gundah. Iya, saya lebih
suka menyebut puisi, catatan sastra atau prosa sebagai pengindahan kata-kata
untuk mengambarkan suasana yang kadang tidak indah. Saya mulai suka dengan
dunia ini dan tentu saja mencoba mengaplikasikan sesuai kemampuan saya di
status akun facebook saya. Saya cukupkan pengkristalan hasrat bersastra dalam
sebuah status semata.
Sebenarnya ada yang mengangap saya
cukup modal untuk memulai bersastra. Beberapa kawan mencoba merayu saya untuk
mencoba membuat sebuah puisi. Tapi saya belum cukup gila dan belum cukup malu
untuk melakukannya. Saya balas saja rayuan mereka dengan kalimat singkat. Saya
ini penikmat, bukan pembuat. Selesai lah mereka merayu saya walaupun tidak ada
jaminan, rayuan akan kembali lagi. Suatu saat nanti.
Dari teman yang seni rupa malah
saya sangat menjaga jarak. Saya selalu tak kehabisan kagum melihat mereka
mencoretkan pena di selembar kertas dan set set, jadilah gambar. Saya
benar-benar tidak berani bermimpi mencobanya. Sederhana sebenarnya. Dari 10
tanda tangan yang saya buat, tidak ada yang mirip otentik. Beberapa kali saya
harus mengulang tandatangan untuk sebuah urusan karena saya tidak dipercaya
sebagai Noor Arief. Nah khan..
Tentang teman yang menjadi vokalis
band, saya masih menyimak saja. Saya belum mengambil benang merah dari
cerita-ceritanya. Selain karena aliran musik yang digelutinya cukup meresahkan
telinga saya, juga karena suara saya dan suara alat musik manapun, tidak pernah
sejalan. Saya kemana, suara alat musik kemana.
Secara awam, saya hanya tahu aliran
heavy metal adalah musik cadas yang digandrungi anak muda. Sempat saya
mendengarka satu lagu aliran ini dan nyaris tidak bisa membedakan antara suara vocal
dan suara jeritan di tengah-tengah hingar binger musiknya.
Secara guyonan, saya sering
mengatakan agar menyiapkan kapas untuk sumbat telinga sebelum saya memberikan
sambutan. Ingat memberikan sambutan, bukan menyanyi. Saya tidak bisa
membayangkan dengan apa mereka harus menyumbat telinganya bila harus
mendengarkan saya menyanyi. Saya lebih suka bila disebut bila itu adalah siksaan
bagi mereka.
Tapi dari sekian banyak teman ngopi
itu, saya lebih suka menggali ilmu dari teman yang memilih jalan hidup sederhana.
Teman saya itu suka berjabat tangan dan mencoba mencium tangan temannya yang
baru saja datang. Saya sempat meragukan niatnya mencium tangan seorang teman
sampai saya pernah menyaksikan sendiri ciuman tangan itu.
Saya merasa tidak lebih tinggi dari
dia. Karenanya, sejak itu saja mati-matian menarik tangan saya secepat kilat
sebelum mampir di bibirnya. Bukan apa-apa sebenarnya, tapi saya risih diperlakukan
seperti itu. Bagi istri dan anak, saya mempermaklumkan tradisi cium tangan.
Tapi kepada sesama teman, tidak lah.
Menurut saya, dia sebenarnya sudah
masuk ke tingkat pandhito. Saya tahu benar, teman saya itu dulu adalah aktivis,
bekerja di beberapa media besar dan kini memilih menjalani hidup dari
ketrampilannya menyeduh kopi dan meladeni pelanggannya. Saya sempat amati
semalam penuh, dia sibuk menyapa pelanggan yang dikenalnya dan tentu saja
dengan sikap rendah hati, cium tangan.
Jujur saya mulai suka dengan
kehidupan baru ini, ngopi dan menghabiskan malam dengan saling gurau dan bully
yang menyenangkan. Tidak ada yang sakit hati walau mati-matian dibully karena
kami semua sepakat, membully teman dengan batasan-batasan malah akan
mengakrabkan kita.
Ingat semasa kecil, kita sering
memanggil nama teman kita dengan nama bapaknya atau panggilan-panggilan aneh.
Kita sempat marah tapi itu malah dikenal sampai kita tua. Lagu berjudul Gajah
oleh Tulus juga diilhami dari bully-an dia semasa kecil.
Dari sekian banyak teman-teman yang
saya anggap idealis, saya banyak belajar. Belajar bagaimana hidup dan
menganggapnya sebuah ujian. Mengutip salah satu status teman di facebooknya,
hidup ibarat ujian. Setiap soal harus dikerjakan. Soal yang sulit dilewati dulu
agar tidak kehabisan waktu.
Pria-pria idialis itu bagi saya sangat
mahal harganya. Pria dengan pendirian dan sikap teguh itu sangat langka di
peradaban jaman. Hukum ekonomi jelas berlaku, semakin sedikit stok barang akan semakin
melambungkan harganya. Termasuk pria idealis yang lebih memanjakan kepuasan
hati daripada gelimangnya rupiah.
Kalau pria realis sih, barang
pasaran. Di setiap warung di lorong sempit pun tersedia dengan stok yang
banyak. Pria yang mengutamakan penghasilan rupiah daripada kepuasan hati.
Jumlahnya sangat banyak khan?
Saya sendiri tidak berani
menggolongkan diri sendiri ke dalam pria idealis atau pria realis. Menurut
anda?
*Saya persembahkan tulisan ini untuk kawan-kawan yang mencerahkan malam-malam saya. salam tabik
Tidak ada komentar:
Posting Komentar