Beberapa waktu lalu bermunculan di wall FaceBook (FB) saya tentang demo
guru di Jakarta dan disebut-sebut tidak ada media yang meliputnya. Ada juga
kabar di wall yang menyebutkan anak Indonesia yang menjadi juara membaca
Alquran juga tidak ada media yang menulisnya. Well. Saya mencoba memaparkan
bagaimana itu terjadi dan mengapa berdasar keilmuan dan praktek yang selama ini
saya jalani.

Dalam berita ada 6 unsur yaitu 5W 1H yakni kependekan dari who, what,
where, when, why, how. Keenam unsure inilah yang akan saling menyumbang peran
dalam tinggi rendahnya sebuah berita. Penilaian antarunsur inilah yang
menjadikan sebuah kejadian bernilai tinggi, sedang, biasa, atau ringan. Contohnya
dengan kejadian yang sama. Seorang tukang becak nyabu dibandingkan dengan kepala
sekolah yang nyabu, akan lebih tinggi nilai berita tentang kepala sekolah yang
nyabu. Apalagi andai misalnya dibandingkan dengan bupati, gubernur, menteri,
atau malah presiden yang nyabu. Itu bila melihat dari unsur ‘who’.
Perlakuan yang sama juga untuk unsur lainnya. Misalnya, berjudi di
gardu kampung dan berjudi di teras tempat ibadah, tentu akan berbeda nilainya
berdasar unsure where. Unsure what, bhen, why, dan how pun punya peran untuk
menambah nilai berita.
Kembali ke masalah demo guru honorer di Jakarta. Dari hasil pelacakan
saya, sudah banyak media (sebagian juga media mainstream) yang meliputnya. Termasuk
upaya para guru honorer yang mengajukan gugutan kepada pemerintah. Semuanya
ada. Tapi seiring perjalanan waktu, kejadian yang sama dan berlangsung lama
tanpa ada pergerakan berarti, akan menurunkan nilai berita. Contoh (ini hanya
contoh). Misalnya, ada guru honorer yang akhirnya meninggal dunia dalam aksi
demo tersebut, akan membuat nilai berita naik lagi. Contoh lagi (sekali lagi
ini hanya contoh). Ada honorer yang meninggal setelah dipukuli satu regu
polisi. Wwihhh…. News value tinggi pakai banget.
Untuk kasus anak Indonesia yang menjadi juara membaca Alquran, ada
analisa dari beberapa kawan saya. Dan itu masuk akal bagi saya. Media dan
wartawan bukan malaikat yang serba tahu segala kejadian. Itulah gunanya ada
bagian humas yang bertugas mengabarkan kepada pekerja media tentang informasi
yang ingin ditunjukkan kepada masyarakat. Beberapa tahun lalu, ada anak
Indonesia yang juga menjuarai hal yang sama dan terpublikasi di banyak media.
Saat itu, orang tua sang anak memberi informasi kepada pekerja media yang
kemudian meliputnya. Untuk kasus terakhir, tidak ada kabar ke pekerja media dan
tiba-tiba muncul di sosial media, media mengabaikan prestasi luar biasa
tersebut.
Nyaris sama dengan kebakaran Kampung Adat, Nggela, Ende – Flores,
beberapa waktu lalu. Karena berbarengan dengan kecelakaan Lion Air JT 601,
berita kebakaran simbol budaya Flores ini tidak muat di media nasional. Tapi yakinkan,
di media lokalan, berita ini akan punya porsi yang lebih besar. Dalam ilmu
komunikasi, ini dikatakan dengan kedekatan baik secara emosional maupun secara kewilayahan.
Dalam kasus Nggela dan Lion, mengapa kok tidak muncul opini negative. Misalnya
kok media selalu membela orang kaya (penumpang pesawat) dan mengabaikan orang
kuno (mengagung-agungkan simbol budaya). Karena semuanya sudah paham dengan
ilmu komunikasi dan news value.
Memang, sosial media sudah menguasai lebih dari media massa. Media massa
butuh sejumlah ornament pelengkap. Salah satunya adalah badan usaha berbentuk
PT sebagaimana yang diatur undang-undang. Sedang sosial media hanya butuh
jempol dan smartphone. Itulah mengapa, orang yang terlalu fokus pada sosial
media lebih sering mengabaikan media massa. Sangat masuk akal bila mengambil
kesimpulan media sudah terbeli dan terjual bila membandingkan sosial media.
Kalau ada tudingan mengapa berita kelompok tertentu lebih banyak
porsinya dibandingkan dengan kelompok yang lain. Ya news value itu yang
membedakannya. Tentu saja media tetap mengedepankan bisnis karena seluruh
karyawannya harus digaji. Tidak seperti sosial media yang muncul dan berkembang
atas kesadaran kesukarelaan.
News value bisa direncanakan oleh humas (hubungan masyarakat). Di
fakultas komunikasi, ada jurusan jurnalistik dan kehumasan. Humas ini bertugas
membangun citra di mana dia bekerja atau berada. Jadi bila salah satu kelompok
lebih unggul dalam pemberitaan, berarti kehumasannya jauh lebih pintar mengolah
news value daripada humas kelompok satunya. Jangan kemudian kalah ilmu
kehumasan dalam mengemas news value kemudian menuding media sudah terbeli. Media
sudah tidak mengedepankan informasi yang dibutuhkan masyarakat.
Oh iya. Ada yang sedikit lupa. Media ada segmentasi pasar sesuai dengan
apa yang diyakininya bisa bergerak. Segmentasi ini membuat masyarakat bisa
memilih media mana yang bisa memuaskan keingintahuannya dan tidak salah pilih.
Andai anda ingin tahu perkembangan sepak bola, tentu anda layak memilik tabloid
olahraga. Jangan pernah membeli tabloid politik karena ada tidak akan terpuaskan.
Demikian sebaliknya. Mirip dokter spesialis. Kendati mereka berawal dari dokter
umum, anda tidak akan nekad mendatangi dokter spesialis kelamin untuk
memeriksakan keluhan jantung anda. Tidak akan senekad itu. Walaupun saya yakin
dokter spesialis kelamin pun menguasai ilmu jantung. Dalam batas sepengetahuan
dokter umum.
Semoga banyak yang bisa paham apa itu news value dan bagaimana
menyikapinya. Walaupun tetap dalam keyakinan saya, news value tertinggi adalah advertorial.
1 komentar:
kadangkala media memang gampang dibeli. sehingga banyak bermunculan media berbayar
Posting Komentar