Dalam dunia ini, ada siang ada malam, ada kaya ada miskin. Dua kata yang memang berbeda sisi dan kadang memang harus ada. Tidak ada malam bila tidak ada siang, begitu pula tidak ada si kaya bila tidak ada orang yang dipanggil si miskin. Tapi kadang Tuhan menempatkan dua sisi yang berbeda ini dengan cara bersanding.
Beberapa hari belakangan ini,
kita mendengar kabar yang mengejutkan dan tidak pernah terungkap sebelumnya.
Bagaimana mungkin seorang artis cantik, kaya, muda bernama Marshanda mempunyai
ayah seorang pengemis, pengamen jalanan dan terakhir hidup di bekas bajaj dekat
kuburan.
Adalah Irwan Yusuf, gelandangan
ini namanya langsung melejit hampir
menyamai nama anak cantiknya. Berawal dari Irwan Yusuf yang juga kakak dari
mantan model era 80-90an, Cynthia Yusuf, ini terkena razia dalam kondisi
memprihatinkan.
Selain mengemis, kondisi fisik
Irwan juga kurang sehat. Mata sebelah kiri memutih dan bagian kakinya bengkak
serta luka-luka. Meski belum didiagnosa positif depresi, seorang warga sempat
melihat mantan suami Riyanti Sofyan ini buang hajat sambil berdiri. Ayah yang
miskin dan anak yang kaya, disandingkan oleh Tuhan dalam kehidupan.
Hal yang sama juga terlihat dari
perkawinan Elly Sugigi dan Ferry Anggara. Dua manusia yang secara fisik dan ekonomi, sangat berlawanan bisa
disandingkan dalam rumah tangga. Elly yang bekerja sebagai pengerah penonton
bayaran dengan harta yang luar bisa, umur sudah sangat dewasa dan wajah sangat
biasa, bisa bersanding dalam pelaminan dengan Ferry Anggara. Padahal, Ferry
sendiri masih usia belia, tampan, harta tak ada. Dia adalah salah satu penonton bayaran Elly dan wajahnya luar
biasa.
Kendati sedang bermasalah akibat
ketidaksetiaan Ferry yang bermain ‘api’ dengan penonton bayaran lain, sudah
membuktikan bahwa si tampan Ferry dan si biasa Elly, pernah bersanding dalam
perkawinan. Meski di usia
perkawinan memasuki bulan keempat, badai sudah menghampiri kebersandingan
keduanya.
Saya tidak hendak mencampuri
urusan Marshanda dengan
ayahnya atau antara Elly dengan Ferry. Perbedaan dua hal yang disandingkan juga
tersurat dalam syair lagu Madu dan Racun.
Tapi saya hanya hendak mengatakan bila seringkali Tuhan menyandingkan
dua sisi yang berbeda.
Bagi saya, belajar bisa darimana
saja. Dari ciptaan Tuhan yang bernama hewan dan buah-buahan pun, kita bisa
belajar banyak. Termasuk dua sisi yang berbeda yang sering disandingkan.
Menghilangkan aroma durian dengan air yang dituang ke celah kulit atau mencegah
sakit perut akibat salak dengan memakan serta kulit ari dari buahnya.
Di dunia hewan pun, contoh
kontradiksi yang bersanding juga tak kurang banyak. Saya bisa sebutkan
kupu-kupu, belut, ikan atau lalat dalam kasus ini. Hewan-hewan ini mengalami
fase kontradiktif dalam
hidupnya.
Kupu-kupu. Bila awal siklus
kehidupan adalah telur, maka setelah menetas, akan keluar ulat yang sepanjang
harinya hanya makan daun. Dalam awal fase kehidupannya, ulat tentu dianggap
merugikan. Aksi makannya mengurangi jumlah dapur untuk tanaman dan bisa membuat
gagal panen.
Tapi ingat, fase hidup si ulat belum berakhir. Setelah
melalui fase kepompong, sang ulat pun menjelma menjadi kupu-kupu. Kupu-kupu
sangat berbeda dengan sifatnya saat menjadi ulat. Kupu-kupu ini malah membantu
tanaman untuk penyerbukan yang akan menghasilkan buah. Satu lagi, kupu-kupu
yang indah biasanya lahir dari ulat yang sangat gatal.
Belut, ikan berbentuk mirip ular
tanpa sisik ini juga menyimpan kontradiksi dalam hidupnya. Sepanjang hidupnya
–kecuali berakhir di penggorengan-, belut akan mengalami pergantian kelamin.
Saat kecil dengan panjang kurang dari 30 cm, belut akan berkelamin betina. Ini
akan berubah seiring dengan umur dan penambahan panjang tubuhnya. Bila sudah
mencapai 35 cm, dia akan berubah menjadi jantan.
Ikan pun menyimpan misteri
kontradiksi dalam kehidupan tubuhnya. Sekedar berbagi, saat
kita terluka karena sisik ikan yang biasanya disebut dengan kepathil, akan sembuh bila dibasuh
dengan darah dari si ikan.
Kalau lalat, saya mendapatkannya
dari agama yang saya anut. Disebutkan, bila minuman kita dimasukki lalat,
disarankan untuk menenggelamkan sang lalat kemudian membuang lalat tersebut.
Itu dilakukan karena pada satu sisi sayap sang lalat mengandung kuman dan sisi
sayap satunya mengandung penawar. Dengan menenggelamkan lalat, kuman dan
penawarnya akan bereaksi dan akan menjadi tawar.
Ilmu lain dari dunia hewan yang
saya pahami adalah, bagaimana sikap kesatria seekor laba-laba jantan yang
mematikan dirinya sudah mengawini betinanya. Tubuh pejantan yang mati itu akan
menjadi pasokan makanan bagi anak-anaknya yang menetas kelak.
Saya juga bisa belajar sabar dari
lebah. Lebah ini hewan penyabar karena menggunakan senjata menyengat sebagai
serangan akhirnya. Sengatan ini akan beresiko fatal baginya karena usai
menyengat, dia akan mati karena ujung sengatnya itu adalah bagian dari
perutnya.
Beberapa teman sudah pernah
mendengar penjabaran saya tentang keanehan makhluk hidup ini dar imana saya bisa belajar hidup. Mereka
banyak yang heran karena tahu saya lulusan fakultas sosial jurusan komunikasi,
bukan jurusan biologi. Saya pun hanya menjawab singkat dan mengatakan kalau
istri saya adalah dokter hewan.
Kami memang juga termasuk dalam
hal yang kontradiksi. Saya orang sosial, sedang istri saya adalah orang ilmu
pasti. Saya berkulit hitam sedang istri saya berkulit putih. Sampai ada yang
heran bagaimana kami bisa bertemu dan dipertemukan.
Dengan senyum terkulum dan
bercanda, saya pun menjawab, ”pernah dengar dokter jatuh cinta pada
pasiennya.” (Penulis adalah Wartawan
Harian Memorandum)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar