Pekan kemarin, adik-adik kita di bangku SMA (Sekolah Menengah Atas) baru saja menyelesaikan ujian nasional (UN). Tapi yang dirasakan adik-adik kita –anak sulung saya baru kelas 7-, sudah seperti berada di ujung hidupnya. Seakan-akan sudah tidak ada hal lain yang menantang setelah UN.
Ungkapan kegembiraan mereka
sudah seperti berhasil meraih surga. Baju yang dicoret dan dirobek, konvoi
keliling kota sampai dengan mengisinya dengan pesta. Kendati tidak terungkap
dalam pemberitaan media, saya meyakini ada beberapa kelompok kecil adik-adik
kita yang menggelar pesta. Apa pun
itu bentuknya. Mulai dari sekedar pesta makan-makan sampai dengan pesta yang
diwarnai dengan minuman keras atau malah seks.
Semoga keyakinan saya salah
besar. Tapi melihat beberapa berita tentang mudahnya seorang gadis belia menyerahkan
kegadisan kepada kekasihnya, saya rasa dugaan saya cukup masuk akal. Bisa saja
dalam benak siswi yang sudah kehilangan kegadisannya akan merelakan kehangatan
tubuhnya untuk teman sekolahnya. “Untuk kenang-kenangan seumur hidup.” Andai
itu terjadi, benar-benar gita gila SMA.
Sebagai anak muda, saya yakin
mereka melek informasi dari berita televisi sampai berita di dunia maya. Mereka
malah kenal dengan namanya trading topic atau hal yang menonjol di dunia maya
paling up to date. Mereka pasti baca dan paham berita tentang Irma Bule,
penyanyi dangdut kelas teri yang mati di panggung setelah dipatok ular King
Kobra. Mereka juga pasti akan baca bagaimana kisah tentang AKBP Untung Sangaji,
pelumpuh teroris di MH Thamrin, Jakarta, beberapa waktu lalu.
Saya juga yakin mereka paham
benar berapa tarif Irma Bule sekali manggung dengan resiko nyawa sebagai
taruhannya. Hanya Rp500 ribu, termasuk tarian ular yang berbahaya tersebut.
Tanggungjawab membantu suaminya lah yang membuat Irma mempertaruhkan nyawanya.
Saking totalnya keinginan Irma
memuaskan penonton, dia sampai rela terus melantunkan lagu dan berjoget
walaupun sudah terpatuk ular. Penyanyi kelas teri ini pun baru dilarikan ke
rumah sakit saat tak sadarkan diri. Bukan keinginan Irma Bule sendiri. Sampai dia
tak sadarkan diri, Irma tetap menolak dibawa ke rumah sakit. Kecintaan dan
keinginannya memberikan hiburan, membuatnya melupakan nyawa yang sedang
dipertaruhkan.
Saya juga yakin mereka paham
dengan pemberitaan terkait AKBP Untung Sangaji, perwira menengah Polri yang
akhirnya merasa tidak dihargai atas pengorbanannya dalam pemberantasan teroris
di Jakarta. Saat itu, Untung memang menjadi salah satu tokoh di balik aksi
teroris di siang bolong dan menarik perhatian masyarakat serta dunia.
Saking merasa tercampakkan,
Untung hendak mengajukan pensiun dini dan mencalonkan sebagai bupati di daerah
asalnya, Kabupaten Seram Bagian Barat (SBB), Maluku. Saya tidak menggarisbawahi
rasa kecewanya, tapi resiko pekerjaannya lah yang membuat saya memberi garis
tebal. Resiko pekerjaan Untung saat itu juga bertaruh nyawa.
Saya juga pernah remaja
dan pernah juga lulus SMA. Saya juga menyangka kalau saat itu adalah akhir
perjalanan hidup. Memang benar, lulus SMA adalah akhir perjalanan hidup dimana
kita tidak banyak tuntutan. Kita hanya sekolah, mengerjakan tugas yang sama
dengan teman sekelas, ujian dan lulus. Tidak ada tuntutan tanggungjawab apa pun atas kegiatan kita sehari-hari.
Lulus SMA adalah akhir
perjalanan hidup tanpa tuntutan dan awal dari hidup yang dihadapkan pada
tuntutan. Bagi yang tidak meneruskan kuliah, dia akan dihadapkan pada mencari
pekerjaan. Bisa saja, lulus SMA berdalih menikmati kebebasan dengan menganggur,
akan kebablasan menjadi pengangguran berkepanjangan.
Malah lebih sering pengangguran
berkepanjangan akan berakhir di dunia kriminalitas. Selama 17 tahun terakhir
dalam hidup saya ini, melihat banyak pemuda pengangguran yang salah jalan dan
akhirnya menjadi pelaku tindak kejahatan. Penjara dan rawan semakin terperosok,
akan mengancam kehidupan mereka di kemudian hari.
Sedang yang meneruskan
pendidikan, akan menemui semakin banyak tuntutan. Pemilihan jurusan kuliah, absensi
kuliah, pengisian KRS (kartu rencana studi) sampai dengan penyusunan skripsi,
akan banyak menuntut. Kita bebas saja mau kuliah atau tidak sepanjang cukup
absensi guna ujian akhir semester (UAS), tidak akan menjadi masalah.
IPK (indek prestasi komulatif) akan
menentukan berapa SKS (system
kredit semester) yang akan kita ambil di semester depan. Semakin tinggi IPK
kita, semakin banyak SKS atau mata kuliah (MK) yang bisa kita ambil dan
otomatis akan mempercepat masa studi kita di bangku kuliah.
Seandainya kuliah pun kelar, apa
tuntutan akan selesai? Tidak. Tuntutan akan kembali menerjang kita. Mencari
pekerjaan dan mulai menata hidup sebagai manusia mandiri, akan dimulai. Lambat
laun, status anak yang bisa seenaknya minta uang kepada orangtua akan berganti
dengan memenuhi kebutuhan dari hasil keringat sendiri.
Sekedar gambaran dunia kuliah,
saya butuh waktu 12 tahun untuk menyelesaikan perkuliahan saya. Masuk pada
tahun 1992 dan saya baru diwisuda ada tahun 2004 saat sudah punya 1 anak.
Apakah saya bodoh? Bisa jadi iya. Tapi saya saat itu memilih bekerja daripada
meneruskan kuliah saya. Terlebih setelah bapak meninggal pada tahun 1995 atau
saat saya masih semester 6.
Kembali ke sikap adik-adik SMA
yang melampiaskan kelarnya UN (bukan kelulusan karena belum pengumuman), secara
gila. Beberapa foto yang ter-upload di jejaring sosial memperlihatkan ulah
mereka yang tidak hanya mencoret seragam, tapi juga merobeknya. Malah ada
beberapa siswi SMA yang merobek rok panjang seragam sekolah sampai nyaris di
pangkal pahanya. Benar-benar gila. (Penulis adalah wartawan Harian Pagi
Memorandum)
*Gita=nyanyian atau lagu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar