Ada satu ajaran dari Almarhum ayah saya tentang laki-laki yang saya ingat. Menurut ayah saya, laki-laki yang mumpuni selain harus bisa melindungi dan mengayomi, juga mampu mencukupi. Tentu, batasan mencukupi, akan berbeda antara satu keluarga dengan keluarga lain. Minimal tempat penyimpanan beras tidak pernah tandas, adalah satu tanda dasar. Tentang lauk, kita masih orang Indonesia yang menempatkan nasi di atas segala-galanya menu.
Bagaimana dengan kemampuan
pemenuhan kebutuhan? Tentu seorang laki-laki harus bekerja untuk mendapatkan
upah. Upah kemudian untuk dibelikan kebutuhan dan pemenuhan kebutuhan lainnya,
termasuk sandang dan papan. Sederhana memang, tapi kadang menjadi tidak
sederhana bila tidak ada pekerjaan. Bila kebutuhan menjadi pengeluaran tetap,
sedang upah tidak bisa diharapkan tetap adanya.
Salah satu cara untuk memenuhi
kebutuhan adalah menambah pekerjaan atau meningkatkan upah yang didapat. Bila
tidak, bagi laki-laki berpikiran pendek, kejahatan adalah salah satu cara
pemenuhan kebutuhan tersebut. Banyak kejahatan yang bisa dilakukan, tergantung
pilihan yang di depan mata.
Sebagian bagi yang bernyali
besar, akan merampas atau mencuri. Sebagian yang lain yang merasa cukup percaya
diri dengan kemampuan tipu muslihat, akan menebar rayuan untuk mendapat
keuntungan. Sedang yang merasa tidak cukup nyali beraksi sadis, bisa melibatkan
diri dalam jaringan penyalahgunaan narkoba atau pun perjudian. Resikonya,
sama-sama hidup tidak tenang karena selalu dalam incaran polisi.
Ada yang mengatakan, kejahatan
yang dilakukan oleh anak di bawah umur bisa dimasukkan ke dalam kenakalan. Atas
dasar inilah, beberapa negara
memberlakukan anak tidak bisa dihukum untuk kejahatan-kejahatan sedang. Di
Indonesia sendiri, sistem peradilan anak baru diterapkan beberapa waktu lalu.
Sistem peradilan yang masih memberikan peluang antara korban dan keluarga
terlapor yang masih di bawah umur untuk berunding.
Masalahnya, kenakalan kejahatan
ini ada yang terbawa sampai di usia dewasa. Malah ada yang menjadikan kejahatan
sebagai mata pencaharian untuk pemenuhan kebutuhan. Untuk golongan ini, tentu
saja pengecualian. Tindakan tegas harus diterapkan karena kejahatan untuk
tujuan pemenuhan kebutuhan akan lebih tinggi dan meminta lebih banyak daripada
sekedar kenakalan anak-anak.
Terlebih bila kemudian, aksi para
bandit berusia bandot ini terulang dan terulang lagi di kemudian hari. Seperti
yang dilakukan oleh M Hasan (46), warga Sencaki yang kembali masuk penjara
untuk ketiga kalinya. Bagi Hasan, masuk penjara adalah salah satu bagian dari
resiko yang harus dijalaninya. Mungkin bagi dia, penderitaan yang dialaminya,
termasuk nyerinya luka tempat di kaki kiri adalah pengorbanan seorang laki-laki
pada keluarganya.
Tapi Hasan lupa, ada resiko lain
yang ditanggung bukan olehnya melainkan dirasakan keluarganya. Rasa malu pada
masyarakat, ditinggal bertahan sendirian tanpa laki-laki, mungkin luput dari
pikiran Hasan. Bagaimana istri dan anak-anaknya bertahan dari kelaparan selama
ditinggal menjalani hukuman, belum tentu masuk pikiran Hasan. Belum lagi
bagaimana perasaan anak-anaknya yang tahu bila bapak yang harusnya melindungi
dan menjaganya, malah masuk penjara.
Bila
pikiran Hasan dan orang-orang segolongan dengannya sangat picik dan dangkal,
saya menyimpan makian untuk mereka. Kalau di otak mereka hanya terlintas
pikiran bagaimana cara memenuhi kebutuhan tanpa penganyoman, ini makian saya.
Dasar bandit bandot! (banditmemo@yahoo.co.id)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar