Minggu, Februari 21, 2016

Bertetangga itu Mudah, Jangan Dipersulit

Saifullah Yusuf, Wakil Gubernur Jawa Timur, pekan ini meluncurkan gerakan peduli tetangga di Sun City Sidoarjo. Gerakan moral yang mengambil motto Gandeng tangan Jaga Lingkungan ini hasil pemikiran Gus Ipul (sapaan Saifullah Yusuf) dengan Eep saefulloh Fatah. Gerakan ini juga dilengkapi dengan aplikasi dengan nama ‘tetangga’ di playstore Android ataupun di IOS Iphone.
Gerakan ini sempat dibahas akhir pekan lalu bersama Forum Editor Surabaya di sebuah cafe di tengah kota. Kebetulan, saya termasuk anggota forum tersebut dan sempat datang dalam diskusi tersebut. Dasar gerakan ini sebenarnya sederhana yaitu ikut peduli dengan lingkungan sekitar agar tidak terjadi hal yang tidak diinginkan mulai dari kejahatan, narkoba sampai dengan terorisme.
Bicara tetangga dan tanggungjawabnya, saya jadi ingat sebuah kisah bijak tentang seseorang yang miskin dan di ujung rasa laparnya, mencuri ubi di ladang tetangganya. Si miskin ini kemudian disidang dan menarik perhatian banyak orang. Banyak yang menuding bahwa hukum tidak adil untuk si miskin.
Dalam putusan sidang, sang hakim memutuskan si miskin bersalah dan dikenakan denda Rp500 ribu atau kurungan 3 bulan. Putusan ini sontak membuat ricuh suasana sidang sampai sang hakim mengetukkan palunya berulang-ulang dan minta pengunjung sidang untuk tenang. Ternyata putusan belum tuntas dibacakan.
“Saya juga menghukum saya sendiri sebesar Rp500 ribu, seluruh pengunjung sidang ini, masing-masing dengan denda Rp250 ribu. Untuk tetangga kanan kiri dengan radius 5 rumah dengan rumah terdakwa, juga saya hukum untuk membayar denda masing-masing Rp250 ribu. Untuk ketua RT, RW, kepala desa dan kepala kecamatan di mana terdakwa tingga, saya kenakan hukuman denda Rp500 ribu. Denda ini adalah denda karena kita lah yang bertanggungjawab bila ada warga atau orang di sekitar kita yang kelaparan atau kesakitan,” kata sang hakim yang  kemudian mengeluarkan uang denda dan meminta jaksa untuk mengeksekusi putusannya.
Bisa jadi kisah bijak itu hanya karangan saja. Tapi ada nasehat benar di dalamnya. Kitalah yang harus merasa malu bila ada kelaparan di sekitar kita. Untuk itulah, Gus Ipul benar bila hendak menghidupkan tradisi bertetangga yang sebenarnya adalah tradisi desa. “Ini adalah salah satu cara men-desa-kan kota. Kota mengadopsi tradisi desa,” kata saya dalam forum tersebut dan di depan Gus Ipul.
Memang, harus diakui, tradisi bertetangga tumbuh subur di desa. Anda tinggal membawa nama orang dan desa tempat dia tinggal, anda akan mudah mencari rumahnya. Itu karena hamper seluruh warga desa, saling mengenal satu dengan yang lain.
Berbeda bila anda mencari rumah di perkotaan. Selain harus membawa nama, anda juga harus membawa secara lengkap alamat rumahnya. Itupun anda tidak bisa bertanya kepada semua orang yang anda temui. Satu-satunya yang bisa anda tanya tentang rumah seseorang di perkotaan adalah satpam.
Kembali pada aplikasi tetangga yang diluncurkan Gus Ipul. Aplikasi ini justru akan membatasi banyak niat baik untuk kembali menjalin ‘tetangga’. Bagaimana tidak? Untuk menyapa orang yang tinggal di sebelah rumah kita, dengan orang yang tinggal satu kampung, dengan orang yang tinggal dalam satu RT/RW, harus mendownload aplikasi ini.
Saya sampai sekarang masih belum menemukan hal yang menguntungkan dari aplikasi ini selain biaya pembuatannya –walaupun Gus Ipul mengatakan biaya pembuatannya sangat murah-. Untuk warga perumahan, warga satu RT bisa menggunakan Whatsapps (WA) yang bisa menampung 100 anggota dan itu cukup untuk mewadahi warga satu RT. Keuntungan lain tidak menginstal aplikasi tetangga, adalah menghemat memory internal android bagi yang bergadget pas-pasan. Warga satu RT dalam satu perumahan juga bisa memanfaatkan obrolan bersama dalam BBM (BlackBerry Messenger).
Tentu, WA ataupun obrolan bersama dalam BBM, tidak akan berlaku bagi masyarakat pedesaan di kota kecil. Kalau ini gerakan nasional, tentu aplikasi tetangga sangat tidak dibutuhkan di desa pelosok di Kabupaten Bojonegoro, misalnya. Di desa pelosok, tentu cara bertetangga sudah tidak memerlukan sarana apapun. Warga desa sudah terbiasa bertemu, ngobrol dan saling peduli.
Gerakan ini gerakan positif. Kita tinggal menggalakkan melalui change agent dan tentu saja melibatkan banyak pihak. Kejahatan, gangguan keamanan sampai dengan terorisme adalah musuh bersama kita. Banyak pihak atau ujung tombak yang bisa dimanfaatkan, tinggal memadukan dan memaksimalkan.
Di TNI AD adalah Babinsa (bintara pembina desa), di kepolisian ada bhabinkamtibmas (bhayangkara pembina keamanan, ketertiban masyarakat) dan ada juga personil Satpol PP yang tersebar di setiap kecamatan. Di tingkat kehidupan sosial, ada karang taruna dan juga sinoman. Ini ujung tombak yang siap dan sudah tersedia di setiap desa dan kecamatan. Mengapa tersia-siakan?
Menurut saya, dengan kapasitas Gul Ipul sebagai Wakil Gubernur, tentu bukan hal sulit untuk memaksimalkan ujung tombak-ujung tombak tersebut. Saya jadi ingat dengan program Menteri Pertanian yang kekurangan PPL (petugas penyuluh lapangan) pertanian dengan menggandeng TNI AD dengan babinsa-nya.
Buktinya sudah terasa, kendati saya tidak bisa memberikan angka yang jelas. Banyak Babinsa yang terjun dan mengawasi peredaran pupuk bersubsidi sampai dengan mengurusi pengairan persawahan. Kita juga sering membaca tindakan penyelewengan pupuk bersubsidi yang dibongkar tentara kita. Saya sendiri tidak pernah mempersoalkan siapa yang membongkar sebuah kejahatan. Apakah TNI, Polisi atau pramuka sekalipun, bukan persoalan bagi saya. Yang terpenting adalah, kejahatan terbongkar. Selesai.
Tentang terorisme yang benar-benar musuh besar bersama kita, saya sangat yakin itu sudah dalam buku kerja babinsa dan bhabinkamtibmas. Bisa jadi, mereka memantau setiap pergerakan masyarakat yang mencurigakan untuk kemudian melaporkan ke pimpinan dalam bentuk LI (laporan intelejen). Tapi tentu saja, sebagai manusia, mereka juga bisa lengah atau kewalahan mengawasi setiap gang sempit di sekitar kita.
Celah sempit inilah yang menjadi bidang garap kita sebagai change agent. Kita melibatkan diri secara aktif untuk sekedar kepo (ingin tahu) apa yang ada di tetangga kita. Kita harus curiga bila ada tetangga kita yang ulahnya mencurigakan. Intinya, kita harus saling mengenal dengan orang di sekitar kita.
Bertetangga tidak perlu alat apapun. Kita tinggal membuka pintu pagar rumah kita dan mencoba keliling di sekitar kampung. Menyapa dan bertanya kabar bila bertemu dengan tetangga dan luangkan waktu untuk berbincang sejenak.
Bertetangga itu sederhana. Kita tidak perlu harus membeli smartphone kemudian menginstal aplikasi tetangga, baru bisa menyapa orang yang tinggal di sebelah rumah kita. Itupun, aplikasi ini juga harus diinstal oleh tetangga sebelah rumah, agar bisa mengobrol. Alangkah rumitnya bertetangga dengan aplikasi ini.
Aplikasi ini menurut saya malah menyulitkan cara bertetangga yang sangat sederhana. Saya membandingkan aplikasi tetangga ini dengan menghitung 1+1 menggunakan kalkulator yang dilengkapi dengan sin, cos, tg dan dengan 4 angka desimalnya. Terlalu rumit, ribet untuk menyelesaikan hal yang sederhana.
Semangat bertetangga memang berkurang atau menurun, saya sepakat. Tapi itu hanya berlaku di beberapa kawasan perkotaan, utamanya di kawasan elit. Kendati rumah mereka besar dengan pekarangan luas –mirip rumah di desa-, tapi mereka tidak saling mengenal. Kendati rumah mereka tanpa pagar alias cluster –juga mirip rumah di pedesaan-, tapi mereka tetap saja tidak saling mengenal sesama warga. Untuk kawasan ini, mungkin diperlukan cara lain karena aplikasi tetangga, WA atau obrolan bersama BBM, belum juga pas dengan warga perumahan elit ini.
Hanya saja, dalam catatan saya selama 17 tahun menjadi wartawan, baru sekali saya menemukan rumah di kawasan elit yang dijadikan sarang narkoba dan digerebek polisi. Selama ini, sarang narkoba dan markas teroris, ditemukan di permukiman warga ataupun perumahan menengah.
Jadi, apakah saya akan menginstal aplikasi ini? Tentu saja tidak. Saya memilih dan sudah melakukan bertetangga dengan membuka pagar rumah saya dan jalan keliling sekitar rumah. Kebiasaan saya yang membuat saya dekat dengan tetangga adalah tradisi meminta. Meminta blimbing wuluh untuk sayur asem-asem patin sampai dengan meminta daun pisang untuk botok atau brengkes.
Saya bisa saja menanam blimbing wuluh atau pisang, tapi saya memilih menanam pandan dan serai. Tentu saja biar tetangga saya bisa minta pandan bila membuat kolak dan serai bila mereka hendak memasak rendang. Tentu saja, saya tetap berharap kiriman kolak dan rendang mereka, bila sudah masak sebagaimana saya juga akan mengirim asem-asem patin dan botok atau brengsekan ke mereka. (*)

1 komentar:

Info Properti mengatakan...

layak di apresiasi karena tetangga sebenarnya adalah saudara kita yang paling dekat