Ilmu dari Mo Ban Hok
Besok kita semua akan menyambut datangnya tahun baru bagi orang China. Di
negara kita ini saja yang banyak tahun baru di tahun yang sama. Ada tahun baru
Islam yang biasa disebut tahun Hijriah yang berbarengan dengan tahun baru orang
jawa yang biasa disebut suro, ada tahun Saka yang dirayakan oleh umat Hindu. Tahun
baru yang sangat universal adalah tahun baru masehi yaitu tanggal 1 Januari. Serentak
seluruh dunia menyambutnya.
Sengaja saya
menggunakan kata “kita” dalam tulisan ini karena kita juga menikmati tahun
baru-tahun baru tersebut, apapun agama kita. Bukankah kebijakan pemerintah yang
meliburkan hari-hari tersebut memberikan kesempatan kita menikmati tahun baru
itu? Tentu hari itu akan libur kerja –kecuali beberapa profesi termasuk
wartawan seperti saya- pada hari pergantian tahun baru itu.
Kembali pada Gong Xi
Fa Cai atau juga biasa disebut Tahun Baru Imlek yang besok akan kita sambut
bersama. Bagi banyak saudara kita yang keturunan China dan masih memegang teguh
tradisi mereka, banyak hal yang perlu disiapkan. Setumpuk angpao berupa amplop
warna merah dan berisi sejumlah uang, sudah disiapkan.
Aturan pemberian
angpao adalah yang sudah menikah dan bekerja akan memberikan angpao kepada yang
masih lajang, walaupun kadang yang lajang bisa jadi lebih mampu. Aturan lain
adalah yang lebih tua memberi angpao kepada yang muda. Tentu niat pemberi
angpao adalah agar rejeki, kesehatan di tahun depan akan berlimpah.
Sepertinya cara ini
juga dikenal di agama lain. Di tradisi gereja ada sepersepuluhan, sedang di
agama saya, Islam ada istilah sedekah, zakat, amal, infak. Saya juga yakin di
agama lain juga mengajarkan berbagi dengan sesama, walaupun mungkin beda nama. Seperti
teori memancing, mengorbankan ikan kecil untuk mengkail ikan yang lebih besar.
China, dalam ajaran
agama saya, Islam, memang sudah menjadi jujugan dalam dunia ilmu. “Tuntutlah
ilmu sampai di Negeri China”. Tentu saja, kalimat suci itu tidak muncul serampangan
dan sudah diyakini kebenarannya, termasuk saya yang sangat yakin dengan kalimat
super bijak itu. Saya akui, saya banyak belajar dari teman-teman saya yang
kebetulan ber-ras China, salah satunya adalah Mo Ban Hok.
Ada dua pelajaran
besar yang bisa saja dapatkan. Pertama adalah, mereka adalah pekerja keras yang
luar biasa. Saya pernah diskusi lumayan panjang dengan Mo Ban Hok ini, beberapa
tahun lalu. Kalimat per kalimat masih bisa saja ingat dengan baik, sampai detik
ini.
Waktu itu, saya tengah
putus asa karena gaji di kantor saya waktu itu masih belum mencukupi kebutuhan
keluarga saya. Saat itu saya tanyakan kepadanya tentang peluang usaha yang bisa
saya lakukan dan saya tegaskan, tanpa modal. Bagaimana punya modal, untuk
ngepaskan dengan kebutuhan bulanan sudah kembang kempis rasanya.
Mendengar pertanyaan
saya, Hok menjawab,” peluang usaha yang sangat mungkin untuk loe (kamu) adalah
usahakan nggak nganggur.”
“Lho kok gitu Hok?”
“Udah, loe minum
kopimu dulu. Rokok-rokok dulu biar otak loe enteng,” kata Hok yang memang saya
sebagai perokok berat.
Mo Ban Hok kemudian
menjelaskan lebih panjang jawabannya itu. Dengan logat campuran antara Jawa, Indonesia dan China, dia menjabarkan
dan saya pun tertohok di akhir penjelasannya. Menurut Hok, ada beberapa
keuntungan yang didapat bila tidak menganggur. Satu, tentu saja penghasilan
walaupun tidak cukup untuk hidup. “Kalau loe tiap hari butuh biaya hidup Rp 15
ribu, tapi gaji loe cuma Rp 10 ribu, minimal dengan loe kerja, utang loe cuma Rp
5 ribu perhari. Coba loe hitung utang loe, kalau loe nggak kerja. Bisa Rp 15
ribu perharinya. Yang ngasih utang loe juga yakin karena loe kerja,” katanya.
Keuntungan yang kedua,
orang yang bekerja akan berkumpul dengan orang yang bekerja juga. Obrolan
mereka juga tentang kerjaan. “Dari situ, loe bisa nambah ilmu, nambah peluang. Coba
kalau loe nganggur, pasti kumpulnya juga sama orang nganggur, ngomong gak jelas.
Coba loe bayangin andai ada sales buku berteman ama sales tas, mereka bisa
tukeran informasi mana yang butuh tas atau buku. Atau mereka bisa kongsi untuk
melengkapi dagangan mereka,” jlentreh Hok lagi.
Keuntungan yang ketiga
–menurut Hok- pada orang yang kerja adalah jam terbang. “Loe udah sering baca
iklan lowongan kerjam khan. Mereka cari yang berpengalaman untuk jabatan level
tengah. Owe pahamnya dunia sales dan ada supervisor sales di atasnya. Kalau di kerjaan
loe, Owe nggak paham banget. Tapi kalau loe loncat-loncat kerjanya, mana punya
pengalaman,” kata Hok yang sangat menyadarkan saya untuk bertahan dan terus
bekerja.
Tentu saja, karena
nasehat Hok inilah yang membuat saya bertahan di Memorandum sampai memasuki
tahun ke 17. Memang benar kata Hok, lambat laun akan terbuka rejeki kita bila
tidak putus asa dan berkuat hati.
Ilmu besar dari Hok
yang juga saya ingat adalah lelucon satir yang terjadi pada golongannya. Diakui
atau tidak, di kalangan pejabat, aparat dan kita sendiri, memandang kaum mata
sipit ini adalah golongan orang ber-uang. Termasuk teman saya Mo Ban Hok yang memang
pengusaha sembako di kota kelahiran saya.
Sebagai pengusaha
sembako, tentu sesekali tempat usahanya jadi jujugan pejabat kelas bawah sampai
dengan aparat pangkat rendah. Hok tidak pernah menolak dan tidak pernah punya
kemauan menolak. Wajahnya tetap saja tersenyum saat menjadi jujugan mereka.
Hanya kepada saya, dia
mau mengatakan walaupun itu keluhan bernada sindiran. “Owe heran ambek mereka.
Lebaran, mereka minta THR ke Owe. Natalan, juga minta parcelan ke Owe. Sekarang
giliran Owe Imlek-an, mereka juga minta angpao,” katanya yang membuat saya
tersenyum masam.
Sejenak kemudian, saya
pun berniat pulang. Hok berdiri dari kursinya dan memanggil salah satu karyawan
gudangnya. “Loe siapin sembako buat temen owe ini. Cepetan,” kata Hok.
Saya langsung menolak
halus dan mengatakan,”makasih Hok, aku bukan pejabat, aku juga bukan aparat. Aku
adalah sahabat yang mencoba mencuri ilmumu.” (*)
NB: dipublikasikan di Harian Pagi Memorandum Edisi Minggu 7 Pebruari 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar