Saifullah Yusuf, Wakil Gubernur
Jawa Timur, pekan ini meluncurkan gerakan peduli tetangga di Sun City Sidoarjo.
Gerakan moral yang mengambil motto Gandeng tangan Jaga Lingkungan ini hasil
pemikiran Gus Ipul (sapaan Saifullah Yusuf) dengan Eep saefulloh Fatah. Gerakan
ini juga dilengkapi dengan aplikasi dengan nama ‘tetangga’ di playstore Android
ataupun di IOS Iphone.
Gerakan ini sempat dibahas akhir
pekan lalu bersama Forum Editor Surabaya di sebuah cafe di tengah kota. Kebetulan,
saya termasuk anggota forum tersebut dan sempat datang dalam diskusi tersebut. Dasar
gerakan ini sebenarnya sederhana yaitu ikut peduli dengan lingkungan sekitar agar
tidak terjadi hal yang tidak diinginkan mulai dari kejahatan, narkoba sampai
dengan terorisme.
Bicara tetangga dan
tanggungjawabnya, saya jadi ingat sebuah kisah bijak tentang seseorang yang
miskin dan di ujung rasa laparnya, mencuri ubi di ladang tetangganya. Si miskin
ini kemudian disidang dan menarik perhatian banyak orang. Banyak yang menuding
bahwa hukum tidak adil untuk si miskin.
Dalam putusan sidang, sang hakim
memutuskan si miskin bersalah dan dikenakan denda Rp500 ribu atau kurungan 3
bulan. Putusan ini sontak membuat ricuh suasana sidang sampai sang hakim
mengetukkan palunya berulang-ulang dan minta pengunjung sidang untuk tenang. Ternyata
putusan belum tuntas dibacakan.
“Saya juga menghukum saya
sendiri sebesar Rp500 ribu, seluruh pengunjung sidang ini, masing-masing dengan
denda Rp250 ribu. Untuk tetangga kanan kiri dengan radius 5 rumah dengan rumah terdakwa,
juga saya hukum untuk membayar denda masing-masing Rp250 ribu. Untuk ketua RT,
RW, kepala desa dan kepala kecamatan di mana terdakwa tingga, saya kenakan
hukuman denda Rp500 ribu. Denda ini adalah denda karena kita lah yang
bertanggungjawab bila ada warga atau orang di sekitar kita yang kelaparan atau
kesakitan,” kata sang hakim yang
kemudian mengeluarkan uang denda dan meminta jaksa untuk mengeksekusi
putusannya.
Bisa jadi kisah bijak itu hanya
karangan saja. Tapi ada nasehat benar di dalamnya. Kitalah yang harus merasa
malu bila ada kelaparan di sekitar kita. Untuk itulah, Gus Ipul benar bila
hendak menghidupkan tradisi bertetangga yang sebenarnya adalah tradisi desa. “Ini
adalah salah satu cara men-desa-kan kota. Kota mengadopsi tradisi desa,” kata
saya dalam forum tersebut dan di depan Gus Ipul.
Memang, harus diakui, tradisi
bertetangga tumbuh subur di desa. Anda tinggal membawa nama orang dan desa
tempat dia tinggal, anda akan mudah mencari rumahnya. Itu karena hamper seluruh
warga desa, saling mengenal satu dengan yang lain.
Berbeda bila anda mencari rumah di
perkotaan. Selain harus membawa nama, anda juga harus membawa secara lengkap
alamat rumahnya. Itupun anda tidak bisa bertanya kepada semua orang yang anda
temui. Satu-satunya yang bisa anda tanya tentang rumah seseorang di perkotaan
adalah satpam.
Kembali pada aplikasi tetangga
yang diluncurkan Gus Ipul. Aplikasi ini justru akan membatasi banyak niat baik
untuk kembali menjalin ‘tetangga’. Bagaimana tidak? Untuk menyapa orang yang
tinggal di sebelah rumah kita, dengan orang yang tinggal satu kampung, dengan
orang yang tinggal dalam satu RT/RW, harus mendownload aplikasi ini.
Saya sampai sekarang masih belum
menemukan hal yang menguntungkan dari aplikasi ini selain biaya pembuatannya –walaupun
Gus Ipul mengatakan biaya pembuatannya sangat murah-. Untuk warga perumahan,
warga satu RT bisa menggunakan Whatsapps (WA) yang bisa menampung 100 anggota
dan itu cukup untuk mewadahi warga satu RT. Keuntungan lain tidak menginstal
aplikasi tetangga, adalah menghemat memory internal android bagi yang bergadget
pas-pasan. Warga satu RT dalam satu perumahan juga bisa memanfaatkan obrolan bersama
dalam BBM (BlackBerry Messenger).
Tentu, WA ataupun obrolan
bersama dalam BBM, tidak akan berlaku bagi masyarakat pedesaan di kota kecil.
Kalau ini gerakan nasional, tentu aplikasi tetangga sangat tidak dibutuhkan di
desa pelosok di Kabupaten Bojonegoro, misalnya. Di desa pelosok, tentu cara
bertetangga sudah tidak memerlukan sarana apapun. Warga desa sudah terbiasa
bertemu, ngobrol dan saling peduli.
Gerakan ini gerakan positif.
Kita tinggal menggalakkan melalui change
agent dan tentu saja melibatkan banyak pihak. Kejahatan, gangguan keamanan
sampai dengan terorisme adalah musuh bersama kita. Banyak pihak atau ujung
tombak yang bisa dimanfaatkan, tinggal memadukan dan memaksimalkan.
Di TNI AD adalah Babinsa
(bintara pembina desa), di kepolisian ada bhabinkamtibmas (bhayangkara pembina
keamanan, ketertiban masyarakat) dan ada juga personil Satpol PP yang tersebar
di setiap kecamatan. Di tingkat kehidupan sosial, ada karang taruna dan juga
sinoman. Ini ujung tombak yang siap dan sudah tersedia di setiap desa dan
kecamatan. Mengapa tersia-siakan?
Menurut saya, dengan kapasitas
Gul Ipul sebagai Wakil Gubernur, tentu bukan hal sulit untuk memaksimalkan
ujung tombak-ujung tombak tersebut. Saya jadi ingat dengan program Menteri
Pertanian yang kekurangan PPL (petugas penyuluh lapangan) pertanian dengan
menggandeng TNI AD dengan babinsa-nya.
Buktinya sudah terasa, kendati
saya tidak bisa memberikan angka yang jelas. Banyak Babinsa yang terjun dan
mengawasi peredaran pupuk bersubsidi sampai dengan mengurusi pengairan
persawahan. Kita juga sering membaca tindakan penyelewengan pupuk bersubsidi
yang dibongkar tentara kita. Saya sendiri tidak pernah mempersoalkan siapa yang
membongkar sebuah kejahatan. Apakah TNI, Polisi atau pramuka sekalipun, bukan
persoalan bagi saya. Yang terpenting adalah, kejahatan terbongkar. Selesai.
Tentang terorisme yang
benar-benar musuh besar bersama kita, saya sangat yakin itu sudah dalam buku
kerja babinsa dan bhabinkamtibmas. Bisa jadi, mereka memantau setiap pergerakan
masyarakat yang mencurigakan untuk kemudian melaporkan ke pimpinan dalam bentuk
LI (laporan intelejen). Tapi tentu saja, sebagai manusia, mereka juga bisa
lengah atau kewalahan mengawasi setiap gang sempit di sekitar kita.
Celah sempit inilah yang menjadi
bidang garap kita sebagai change agent.
Kita melibatkan diri secara aktif untuk sekedar kepo (ingin tahu) apa yang ada
di tetangga kita. Kita harus curiga bila ada tetangga kita yang ulahnya
mencurigakan. Intinya, kita harus saling mengenal dengan orang di sekitar kita.
Bertetangga tidak perlu alat
apapun. Kita tinggal membuka pintu pagar rumah kita dan mencoba keliling di
sekitar kampung. Menyapa dan bertanya kabar bila bertemu dengan tetangga dan
luangkan waktu untuk berbincang sejenak.
Bertetangga itu sederhana. Kita
tidak perlu harus membeli smartphone kemudian menginstal aplikasi tetangga,
baru bisa menyapa orang yang tinggal di sebelah rumah kita. Itupun, aplikasi
ini juga harus diinstal oleh tetangga sebelah rumah, agar bisa mengobrol.
Alangkah rumitnya bertetangga dengan aplikasi ini.
Aplikasi ini menurut saya malah
menyulitkan cara bertetangga yang sangat sederhana. Saya membandingkan aplikasi
tetangga ini dengan menghitung 1+1 menggunakan kalkulator yang dilengkapi dengan
sin, cos, tg dan dengan 4 angka desimalnya. Terlalu rumit, ribet untuk
menyelesaikan hal yang sederhana.
Semangat bertetangga memang
berkurang atau menurun, saya sepakat. Tapi itu hanya berlaku di beberapa
kawasan perkotaan, utamanya di kawasan elit. Kendati rumah mereka besar dengan
pekarangan luas –mirip rumah di desa-, tapi mereka tidak saling mengenal.
Kendati rumah mereka tanpa pagar alias cluster –juga mirip rumah di pedesaan-,
tapi mereka tetap saja tidak saling mengenal sesama warga. Untuk kawasan ini,
mungkin diperlukan cara lain karena aplikasi tetangga, WA atau obrolan bersama
BBM, belum juga pas dengan warga perumahan elit ini.
Hanya saja, dalam catatan saya
selama 17 tahun menjadi wartawan, baru sekali saya menemukan rumah di kawasan
elit yang dijadikan sarang narkoba dan digerebek polisi. Selama ini, sarang
narkoba dan markas teroris, ditemukan di permukiman warga ataupun perumahan
menengah.
Jadi, apakah saya akan
menginstal aplikasi ini? Tentu saja tidak. Saya memilih dan sudah melakukan
bertetangga dengan membuka pagar rumah saya dan jalan keliling sekitar rumah. Kebiasaan
saya yang membuat saya dekat dengan tetangga adalah tradisi meminta. Meminta
blimbing wuluh untuk sayur asem-asem patin sampai dengan meminta daun pisang
untuk botok atau brengkes.
Saya bisa saja menanam blimbing
wuluh atau pisang, tapi saya memilih menanam pandan dan serai. Tentu saja biar
tetangga saya bisa minta pandan bila membuat kolak dan serai bila mereka hendak
memasak rendang. Tentu saja, saya tetap berharap kiriman kolak dan rendang
mereka, bila sudah masak sebagaimana saya juga akan mengirim asem-asem patin
dan botok atau brengsekan ke mereka. (*)
1 komentar:
layak di apresiasi karena tetangga sebenarnya adalah saudara kita yang paling dekat
Posting Komentar