Rabu, Januari 19, 2011

Nama Saya ARRAGMTMWMRKTBS Noor Arief Prastyo

Sebagai presiden dan pucuk pemerintahan, sangat pantas bila seseorang mendapat perlakuan teristimewa. Mulai dari fasilitas, penjagaan sampai dengan seabreg kemudahan yang lainnya. Belakangan ini salah satu kemudahan dan fasilitas sebagai pucuk pimpinan Negara dirasakan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada Senin, 18 Januari 2011.
Saat meresmikan Museum Batak dan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Asahan I di Desa Ambar Halim, serta Gardu Induk Tegangan Ekstra Tinggi di Desa Simangkuk, Tobasamosir, SBY dan istri mendapat gelar kehormatan masyarakat Batak. Pada kesempatan itu, perwakilan Batak Angkola melalui Tawari Siregar memberi gelar kepada SBY dengan Patuan Sorimangaraja dan ibu Ani Yudhoyono bergelar Maduma Harungguan Hasanyangan.
Beberapa waktu sebelumnya, pemberian gelar kebangsawanan juga diberikan artis Julia Perez dan penyanyi seksi Syahrini mendapatkan gelar tertinggi bangsawan dari Keraton Solo. Keraton Solo di Jawa Tengah ini memberikan gelar bangsawan pada artis Julia Perez dengan gelar kebangsaan Nimas Ayu Tumenggung. Menurut Keraton Solo, Jupe pantas menyandang gelar karena sudah disejajarkan dengan bupati.
Sedang untuk penyanyi Syahrini, Keraton Solo memberikan gelar Kanjeng Mas Ayu. Kbarnya, gelar Kanjeng Masayu adalah gelar tertinggi di keraton itu. Pemberian gelar kebangsawanan ini diberikan pada Rabu 7 Juli 2010 di Bangsal Kansetanan, Keraton Solo, dan dipimpin langsung oleh Pengageng Sasana Pustaka, Kanjeng Gusti Pangeran Haryo Puger.
Melihat dan membaca pemberian gelar kebangsawanan dari beberapa suku di Indonesia, saya membayangkan menjadi artis terkenal tanpa cela atau pun menjadi presiden. Mungkin saya akan sangat semangat mencari gelar kebangsawanan dari beberapa suku di Indonesia. Gelar-gelar kebangsawanan tersebut akan saya tulis lengkap sebelum nama asli saya.
Saya membayangkan bakal mendapat gelar Andi dari masyarakat Bugis, gelar Ra dari masyarakat Madura, gelar Raden dari masyarakat Jawa, gelar Aom dari masyarakat SUnda, gelar Gusti dari masyarakat Bali. Saya juga yakin –bila jadi presiden- akan mendapat gelar kebangsawanan Masagus dari masyarakat Palembang, gelar Tengku dari masyarakat Aceh, gelar Mas Wongso Dari masyarakat Dayak, gelar Mel Ratan Ken Tnebar Barataman dari masyarakat Maluku dan gelar Shaikh dari masyarakat Badui.
Andai suku bangsa dan masyarakat adat tersebut menyematkan gelar kebangsawanan kepada saya, tentu nama saya adalah ¬ Andi Ra Raden Aom Gusti Masagus Tengku Mas Wongso Mel Ratan Ken Tnebar Barataman Shaikh Noor Arief Prastyo atau disingkat dengan ARRAGMTMWMRKTBS Noor Arief Prastyo. Hebat khan….?
¬

Minggu, Januari 16, 2011

Pengantin dalam Kejahatan

Beberapa waktu lalu, kita digegerkan dengan pertukaran tahanan di Lembaga Pemasyarakatan Bojonegoro, sebuah kota kecil di Jawa Timur dan sebuah kebetulan, bila di kota ini lah saya mengubur kakang ari-ari saya alias tanah kelahiran saya. Dalam berita tersebut, disebutkan kalau Kasiem, narapidana kasus pupuk bersubsidi, atas putusan pengadilan diharuskan mendekam di penjara selama 2 bulan.

Tapi demi menyelamatkan tubuhnya dari ruang berjeruji besi, Kasiem –entah dengan bantuan siapa- akhirnya sempat berhasil lepas dari ruang pengap tersebut. Tapi untuk ‘membayar’ kewajiban hukum, akhirnya Karni, orang lain yang kebetulan sama berkelamin perempuan ini, menjadi pengganti tubuh Kasiem untuk mendekam di penjara.

Tentu saja keberanian Karni menggantikan tubuh Kasiem mendekam di penjara ini berbalas dengan uang Rp 10 juta. Tapi saat kali pertama masuk ke Lapas, Karni menerima Rp 7 juta sebagai imbalan awal dan sisanya akan dibayarkan selama Karni menjalani hukuman sebagaiu Kasiem. Sayangnya, sandiwara ini akhirnya terbongkar dan menggegerkan dunia peradilan kita.

Sebenarnya, kasus seperti ini, dalam keyakinan saya, sudah beberapa kali terjadi. Dalam beberapa kali liputan criminal, terutama terkait dengan salah satu budaya menjaga nama baik khan Madura, carok. Dalam beberapa kali kesempatan, saya sendiri ragu setiap kali mendapat kesempatan wawancara atau pun melihat rekaulang carok tersebut.

Pasalnya, tidak jarang, pengakuan pelaku ini sangat jauh dengan keterangan sejumlah saksi di lokasi kejadian. Pengakuan tersebut biasanya terkait dengan jumlah pelakunya. Saat carok terjadi, saksi di sekitar lokasi menyebutkan pelaku lebih dari satu orang. Tapi anehnya, beberapa hari kemudian, saat pelaku tertangkap, dia mati-matian mengatakan kalau pelaku adalah dirinya sendiri alias tidak ada pelaku lainnya. Padahal di lokasi kejadian, banyak saksi yang mengatakan pelaku lebih dari satu orang.

Kejanggalan lain yang beberapa kali saya lihat, dalam rekaulang kejadian carok tersebut. Seringkali pelaku yang diamankan, terlihat kebingungan saat diminta memperagakan kejadian kekerasan berdarah tersebut. Berkilah lupa dan dalam suasana emosi, pelaku mengaku kebingungan dan akhirnya ‘manut’ pada skenario rekaulang, berdasar keterangan saksi lain. Termasuk seringkali pelaku tersebut lupa bagaimana posisi korban saat dibacok pertama kali dst dst…

Melihat sejumlah kejanggalan tersebut, saya ingat dengan ajaran budaya dari Madura yang sempat saya dengar. Ajaran itu mengatakan tidak ada satupun manusia yang bisa membantu rasa malu seseorang. ‘Kalau kamu takut, saya bisa menemani hingga kamu berani. Tapi kalau kamu malu, siapa yang bisa membantu meringankannya’, itulah ajaran yang saya dengar.

Dalam budaya Madura, memang rasa malu adalah rasa yang dijunjung tinggi dan dilabel mati bila ada yang menganggunya. Istri dan tanah adalah lambang kehormatan bagi lelaki di masyarakat Pulau Garam ini. Mengganggu keduanya, artinya siap mati sebagai taruhannya.

Menghubungkan antara rasa malu dan keberanian, saya bisa menghubungkan keduanya dengan ada kemungkinan bila pelaku carok yang kebingungan saat rekaulang, tersebut sebenarnya bukan pelaku sebenarnya. Bukan tidak mungkin, pelaku yang diamankan polisi dan mati-matian mengaku sebagai pelaku tunggal carok adalah seorang pengantin –dalam istilah criminal, pengantin bisa diartikan sebagai pelaku pengganti-.

Bukan tidak mungkin, sebenarnya pelaku tersebut setara dengan Karni yang mau menggantikan Kasiem mendekam di tahanan. Artinya, pelaku yang mendekam tersebut bersedia lahir batin pasang badan agar pelaku carok lainnya, tetap tidak tersentuh hukum. Imbalannya, bisa saja juga rupiah atau bisa juga hanya untuk membela ‘rasa malu’ yang harus ditebus oleh pelaku terkait dengan dua lambang kehormatan.

Kendati asumsi saya ini harus dibuktikan, rasanya bukan hal sulit bila memang harus dibuktikan. Lalu mengapa polisi tetap mempercayai pengakuan sang pengantin? Saya bisa saja anggap sebagai salah satu cara cerdas meringankan tugas pengungkapan. Toh, sampai sekarang tidak ada satupun pihak yang merasa dirugikan atas pengakuan sang pengantin.

Lalu, terkait dengan jumlah pelaku antara keterangan saksi di sekitar lokasi dengan pengakuan pelaku, bukan masalah. Sampai matipun, sang pengantin akan mengatakan dengan lantang,” saya lah pelaku tunggal dalam carok tersebut. Tidak ada pelaku lainnya.”