Minggu, Oktober 04, 2009

Bencana itu (Mungkin) Harus Tetap Ada

Beberapa hari lalu, kita kembali diguncang bencana nasional. Gempa bumi berkekuatan 7,6 SR, mengunang Sumatera Barat. Bencana yang terjadi tepat saat kita mengenang satu sejarah dalam bangsa kita, Gerakan 30 September/PKI ini menewaskan ratusan saudara kita setanah air. Jutaan dari kita meneteskan airmata berkabung.
Jutaan orang diantara kita juga merogoh saku untuk mewujudkan kepedulian mereka atas musibah ini. Bencana gempa ini bukan satu-satunya bencana yang terjadi di negeri tercinta ini. Banyak sudah bencana yang juga membuat banyak orang menjadi janda, duda, yatim atau malah yatim piatu. Beberapa dari kita akhirnya menjadi sebatangkara akibat bencana alam tersebut.
Lalu, mengapa bencana alam selalu terjadi di negeri yang katanya subur makmur gemah ripah loh jinawi ini?
Jawabannya sangat beragam. Mulai dari alam yang sudah bosan sampai dengan Tuhan yang murka dengan ulah kita (manusia). Tapi tetap boleh punya pendapat yang berbeda. Termasuk saya, salah satu contohnya.
Bencana memang (harus) tetap ada. Sampai kapanpun, bencana akan terus ada. Mulai dari gempa, banjir atau pun tsunami yang akhirnya menjadi akrab di telinga kita. Mengapa bencana (harus) tetap ada?
Ini karena hanya inilah satu-satunya cara agar kita menghentikan egoisme kita dan mengalihkan sejenak pandangan kita dari kerajaan bisnis yang kita miliki, kita bangun atau yang sedang kita pertahankan. Dengan bencana ini (dan bencana yang lainny), banyak diantara kita akhirnya terhenti mengejar ambisi kita masing-masing dan bahu membahu membantu saudara-saudara kita yang sedang tertimpa bencana tersebut.
Bencana itu akan membuat banyak pihak kembali peduli dengan sesama. Saya yakin, para pelaku bisnis atau pun pelaku pemerintahan tidak akan menengok aatau terpikir mereka bila semua baik-baik saja. Benar?
Ada yang mengatakan bencana berkaitan erat dengan dosa yang diperbuat manusia. Menurut saja tidak. Kalau pun harus ada urutan yang layak menerima azab tentu dimulai dari pemilik majalah playboy, penhouse atau media porno lainnya. Atau kalau mau yang lebih lokalan lagi, tentu lokalisasi Jarak di Surabaya (katanya terbesar di Asia Tenggara) ini yang akan menerimanya. Tapi buktinya, kendati uang yang beredar di areal pelacuran tersebut sangat besar dan luar biasa. Buktinya di sana baik-baik aja. Malah sangat baik..
Tentu untuk pertanyaan ini, hanya Tuhan yang menjawab. Mengapa Dia memilik Padang sebagai lokasi gemba dan bukan yang lain (Jarak, termasuk). Hal tersebut sangat misteri semisteri kehidupan itu sendiri.
Sedang untuk saya? SANGAT YAKIN ANDA TETAP PEDULI DENGAN SAYA, TANPA SAYA HARUS MENGALAMI BENCANA. Benar?

Senin, September 28, 2009

Sebuah Kroni Baru

Beberapa hari setelah lebaran, saya bertemu dengan teman SMA dulu. Sudah 17 tahun sejak kami berpisah di tahun 1992, kami akhirnya bertemu. Banyak perubahan diantara kami walaupun kami tetap saling mengenali.. perbedaan pada kami antara dulu dan sekarang, yang laki-laki semakin banyak tumbuh rambut di tubuhnya atau malah berkurang karena sebagian sudah nampak botak. Sedang yang perempuan, kebanyakan adalah tambah lemak di beberapa bagian tubuhnya.
Kendati demikian, tidak ada yang berubah tentang keakraban kami. Kami tetap saja bertingkah dengan kekonyolan anak SMA walaupun kami sadar sesadar sadarnya kalau kami membawa serta anak dan istri kami.
Tentang pekerjaan? Jelas kami sudah banyak berbeda. Ada yang tetap menjadi petani karena memang ayahnya punya tanah sawah yang luas. Ada yang meneruskan usaha rokok milik ayahnya. Ada yang menjadi pegawai bank. Ada yang istri kontraktor dan doyan makan. Ada yang membuka warung dan masih banyak lagi pekerjaan. Kalau saya? Tetap sebagai wartawan kriminal di surabaya.
Saya kemudian membayangkan sebuah kroni yang dulu pada tahun 1998 digulingkan oleh mahasiswa. Ya… kroni Suharto yang disebut-sebut sebagai penyebab kemunduran demokrasi di Indonesia. Tapi saya merasa saya dan teman-teman saya bisa jadi kelak akan membentuk sebuah kroni baru. Sebuah kroni yang pada akhirnya –mungkin- akan dianggap sebagai biang kemunduran sesuatu di negeri ini.
Bayangkan saja cerita yang masih ada di dalam bayangan saya. Tidak menutup kemungkinan kalau apa yang masih dalam bayangan itu akan terjadi di dunia nyata. Apakah itu bayangan yang ada di benak saya tentang calon sebuaah kroni…?
Bayangan itu bermula dari teman saya yang menjadi petani. Semua kebutuhan pupuk dan bibit akan dibeli dari koperasi unit desa (KUD) yang dikelola oleh teman saya. Setelah panen, hasilnya akan dijual kepada dolog yang juga ada teman saya di sana. Hasilnya, beras pun akan dikulak oleh teman saya yang pedagang dan dijual lagi kepada teman saya yang membuka warung.
Pembelinya? Tentu saja teman saya yang menjadi istri kontraktor dan jago makan itu. Lalu kalau kemudian sang istri kontraktor tersebut kekenyangan kemudian sakit, ada teman saya yang menjadi dokter siap membantu menyembuhkannya. Obatnya, tentu saja beli di apotek milik teman saya juga.
Lalu peran saya dalam kroni itu apa?
Saya berperan saat petani, pegawai dolog, pengelola KUD, pemilik toko beras, pemilik warung makan, dokter, pemilik apotek yang bukan teman saya, stres lalu bunuh diri atau menjadi bandit jalanan. Di saat-saat itulah, saya baru berperan dalam kroni tersebut karena saya adalah WARTAWAN KRIMINAL.

Sabtu, Agustus 22, 2009

BENDERA

Siapapun di kampung kumuh itu tahu, siapa lelaki tua berusia 70 tahunan yang kakinya pincang itu. Siapa saja juga mengenal benar sosok tua yang hidup sebatang kara di kamar kos yang sudah dihuninya hampir 15 tahun belakangan ini. Dia adalah Mbah Joyo yang mereka tidak diketahui asal aslinya.

Tapi orang mengenalnya sebagai orang buangan di negeri ini, Negeri Antara. Padahal sebenarnya, bila tahu perjalanan panjang hidupnya hingga akhirnya terdampar jauh dari tanah kelahiran, semua orang akan menyanjung, memuja atau bahkan memanjakannya. Aku sendiri adalah tetangga kos yang juga sama-sama merantau di tanah orang.

Sama seperti Mbah Joyo, aku pun sudah hampir 5 tahun ini bertetangga dengannya. Pekerjaan yang layak belum juga aku dapatkan walau gelar sarjana sudah aku sandang, membuat aku hidup nyaris sama dengan Mbah Joyo. Aku mengandalkan penghasilan dengan bekerja serabutan, sedang Mbah Joyo mengandalkan uang pensiunan veteran yang hanya cukup untuk makan layak selama 20 hari saja, setiap bulannya.

“Makan itu hanya untuk sekedar hidup. Toh mungkin aku sebentar lagi juga akan mati,” selalu begitu setiap aku tanya mengapa hanya makan nasi putih dan krupuk serta garam saja. Aku sering kali pula mengelus dada dan menghela nafas panjang dan dalam setiap kali dia menjawab seperti itu. “Andai aku bisa melakukan sesuatu untukmu, Mbah,” batinku.

Hari-hariku yang lebih banyak luntang lantung membuatku sering berbincang dengan Mbah Joyo. Dari cerita-ceritanya, aku akhirnya tahu siapa Mbah Joyo. Dia adalah satu dari sejuta rakyat Negara Antara yang menjadi penjuang di masa perang. Mbah Joyo adalah rakyat yang semasa penjajahan dulu berjuang demi kemerdekaan. Tidak lebih..

Malah akibat perjuangannya yang dianggap berbahaya, Mbah Joyo harus diasingkan dari tanah kelahiran dan dibuang di sini, kota yang dulu semasa penjajahan masih berupa hutan dan tanah rawa.

Setahun lalu, menjelang bulan kemerdekaan, aku sempat ngobrol lama dengan Mbah Joyo tentang perjuangan dan patriotismenya. Dia cerita tentang kejamnya penjajah yang telah menghina dan hagra diri bangsa. Keinginan merdeka dan bebas menentukan keinginannya, membuat Mbah Joyo muda bangkit dan melawan.

Mbah Joyo juga menceritakan, akibat perjuangannya mengumpulkan anak muda di kampungnya, dia pun ditangkap kemudian diasingkan. Pun di tanah rantau ini, Mbah Joyo tetap melanjutkan perjuangannya, kendati dengan cara yang berbeda. “Bertahan hidup untuk melihat kemerdekaan dan menikmatinya,” katanya.

Kecintaannya kepada Negeri ini sudah tidak perlu diragukan. “Asal benderanya sama dengan bendera yang aku bela dulu, dia adalah ibu pertiwiku dan aku mau mati di dalam pelukannya,” katanya sambil membentangkan bendera yang sudah usang.

Saat itu memang Mbah Joyo akan mengibarkan bendera kebanggaannya. Bendera dengan warna dasar merah dan logo 3 bintang di sudut kiri atas, sudah tak berwarna lagi. Merahnya sudah sangat memudar..

&&&

Setahun ini, waktu berlalu terlalu cepat. Tidak ada kejadian yang sangat hebat yang membuat aku atau Mbah Joyo mentas dari kos-kosan di kampung kumuh ini. Aku tetap dengan pekerjaan serabutan, sedang Mbah Joyo tetap dengan cara berhematnya, jatah 20 hari digunakan untuk 30 hari. Selama itu pula, aku dan Mbah Joyo sering berbincang di depan kamarku atau kamar dia. Kamar yang sempit sudah tidak memungkinkan lagi ditempati kursi tamu.

Kami ngobrol banyak hal. Semuanya apa yang terjadi di negeri yang dipujanya sampai mati itu. Seringkalipula Mbah Joyo terlihat menerung usai berbincang denganku. Kalau sudah begitu, pasti jumlah rokok kretek murahan itu akan semakin banyak dihisap mulut tanpa gigi itu.

Seperti 6 bulan lalu, saat gencar-gendarnya berita tentang seorang polisi yang akhirnya menembak mati atasannya sendiri. Padahal saat itu sang atasan sedang menegur karena ulahnya yang dianggap mencoreng korpsnya. Tapi polisi itu merasa terusik harga dirinya dan membayar dengan menembakkan pistol Colt 38 ke arah kening atasannya.

Kami ngobrol banyak hal. Mulai dari harga diri yang diyakini sang polisi itu dan harga diri Mbah Joyo yang mungkin artinya akan jauh berbeda. Bagi polisi itu, harga diri adalah kehilangan rasa hormat dari anak buahnya. Sedang untuk Mbah Joyo, harga diri adalah kehormatan itu sendiri.

Malamnya, aku yang juga tidak bisa tidur mencoba keluar mencari angin. Di halaman kos-kosan yang biasa digunakan untuk menjemur pakaian, aku melihat Mbah Joyo duduk termenung dan merokok. Malam itu, aku pun menghampirinya.

“Lha iya.. kok ada polisi seperti itu. Diingatkan agar lebih baik, tapi malah tidak terima. Kalau dia ngomong tentang harga diri, apa dia ndak mikir tentang harga diri atasannya. Bagaimana penilaian orang bila seorang pimpinan tidak menegur atau memperbaiki hal yang salah,” katanya dengan nada tanya.

Aku? Yang masih muda dan tidak banyak pengalaman selain sering menahan lapar karena tidak punya uang, tidak bisa menjawab. “Andai polisi itu ketemu denganku, mungkin tidak perlu dia sendiri yang membunuh atasannya. Aku akan melakukannya dengan imbalan uang. Bukankah polisi adalah salah satu profesi yang digemari karena bisa banyak uang,” kataku dalam hati. Aku takut Mbah Joyo akan marah bila mendengar omonganku itu.

Malam itu sampai menjelang fajar, kami duduk berdampingan tapi tidak banyak perbincangan. Kami sama-sama tenggelam dalam lamunan masing-masing. Mungkin Mbah Joyo menyesalkan tindakan polisi yang terlalu emosi dan tidak mawas diri, sedang aku menyesalkan kenapa polisi itu tidak bertemu denganku, sebelum penembakan itu.

Diskusi panjang kembali kami lakukan sekitar 2 bulan lalu. Siang harinya, kami sama-sama melihat tayangan televisi tentang seorang anggota dewan perwakilan rakyat yang diamankan setelah menerima suap dari sebuah perusahaan yang akan mengalihkan hutan lindung menjadi hutan indutri.

Malam itu, Mbah Joyo kembali mengatakan kata hatinya. Kekesalan tampak jelas di kalimat-kalimatnya. Tampak jelas pula kekecewaan dalam keluhannya tentang negeri yang dicintainya itu. “Sungguh bukan seperti ini yang saya harapkan dalam kemerdekaan. Saya dan teman-teman seperjuangaan dulu memang ingin kekuasaan tertinggi ada di tangan rakyat. Tapi kalau seperti ini, apa mungkin tercapai,” katanya dengan nada tanya.

Memang mereka adalah para wakil rakyat yang seharusnya berjuang demi kepentingan rakyat yang mereka wakili. “Tapi apa kenyataannya. Mereka sudah kadung keenakan duduk di kursi empuk dan melupakan tuannya. Rakyat adalah tuan mereka karena 1 anggota dewan akan mewakili sekian puluh ribu rakyat,” gumamnya sambil menyulutkan rokok kretek ke mulut tanpa giginya.

Sedang aku? Malam itu sama seperti malam-malam perbincangan kami. Tidak banyak yang bisa aku katakan untuk mengimbangi omongan dan gugatan Mah Joyo atas apa yang terjadi di negeri ini. “Mboh.. mbah… semua ini sudah berlangsung lama dan terus menerus.Rrakyat sendiri akan menjadi raja menjelang pemilihan. Rakyat sendiri juga sampai sekarang masih mau dibohongi dengan janji-janji mereka selama kampanye,” kataku sekenanya.

Malam itupun berlalu seperti biasanya. Mbah Joyo tetap mengumandangkan kekesalan, kekecewaan dan aku hanya bisa menghela nafas dalam dan berat. Kalau pun aku jawab, itupun hanya jawaban sekenanya.

&&&

Lalu hari-hari pun berlanjut dan kadang juga diselingi dengan malam dimana aku dan Mbah Joyo kembali duduk di dekat jemuran dan berbincang tentang segala hal yang pincang di negeri ini. Di setiap malam-malam itu, aku sering mendengar keluhan dan kekecewaan Mbah Joyo.

Aku harus selalu menelan ludah dan membenarkan apa saja yang diomongkan Mbah Joyo. Tentang seorang hakim yang akhirnya terjungkal dari jabatannya karena menjual hukuman yang akan dijatuhkan. Juga tentang seorang guru ngaji yang telah memperkosa santriwati kemudian membunuhnya.

Mungkin lain kali, kalian juga harus dengar tentang omongan Mbah Joyo tentang seorang bupati yang dengan kekuasaannya mengobrak rakyatnya yang tinggal di pinggir kali. Atau tentang obrakan pelacur jalanan yang terpaksa karena tidak ada pabrik yang menerima mereka.

Atau tentang perlakuan para pengusaha yang dengan seenaknya sendiri menentukan berapa gaji yang dibayarkan kepada buruhnya, tanpa peduli berapa kebutuhan minimal untuk hidup layak. Juga tentang dokter yang dengan seenaknya sendiri menentukan obat yang akan diberikan kepada pasiennya. Pemberian obat bukan karena demi kesembuhan si pasien tapi karena kerjasama sang dokter dengan perusahaan farmasi.

Setiap kali usai mendengarkan keluhan dan umpatan kekesalan Mbah Joyo, aku semakin kagum dan semakin merasa dekat. Malah sangat dekat dengannya. Sampai akhirnya, terlintas dalam pikiranku sebuah keinginan untuk memberikan sesuatu yang mungkin akan menyenangkannya. Sebuah bendera baru untuk dikibarkannya di hari kemerdekaan negeri yang sngat dicintainya itu.

Keinginan itu sengaja aku simpan karena ingin memberikan kejutan untuknya. Untuk lelaki yang tidak ada ikatan darah apapun dengannya dan sudah aku jadikan ibu, bapak, kakak, adik, dan kakekku sendiri. Aku berharap bendera yang akan aku berikan itu bisa membuatnya senang karena aku sangat tahu bendera miliknya sudah sangat usang. Bendera yang selalu dipasang setiap hari kemerdekaan itu sudah kehilangan warna merahnya dan berganti dengan warna pudar.

Beruntungnya lagi, seminggu sebelum hari kemerdekaan banga ini, aku mendapat proyekan yang lumayan. Seorang dosen memintaku membersihkan gudang miliknya yang akan dijadikan ruang perpustakaan. Enaknya, seluruh isi gudang tersebut boleh aku ambil disamping sang dosen itu juga memberiku upah yang lumayan.

Dan setelah pekerjaan itu usai, aku masih bisa sisihkan uang untuk membeli bendera. Sengaja bendera yang aku beli, aku pilihkan yang ukurannya besar dengan harapan akan membuat perasaan senang Mbah Joyo juga akan semakin besar.

&&&

Malam ini aku pulang dengan membawa bendera yang akan aku berikan kepada Mbah Joyo. Sampai di kos-kosan, aku melihat kamar Mbah Joyo sudah tutup dan lampunya pun sudah dimatikan. Tidak mau membangunkan lelaki tua yang bersahaja itu, aku pun bergegas masuk ke kamar ku sendiri dan tidur. “Aku harus bangun subuh dan memberikan bendera itu sebelum Mbah Joyo mengibarkan bendera lamanya,” gumamku.

Tapi sampai subuh menjelang, mataku tak juga berhasil aku pejamkan. Bayangan tentang cerita perjuangan Mbah Joyo dan teman-temannya datang silih berganti dengan kepincangan yang ada di negeri ini. Bagaimana mungkin, negeri ini telah melupakan arti perjuangan para pahlawannya.

Sampai subuh menjelang dan jam sudah menunjukkan pukul 06.00, Mbah Joyo belum juga tampak keluar kamar. Aku yang menunggu lelaki itu keluar pun mulai jenuh dan penuh tanya karena tak biasanya Mbah Joyo bangun sesiang itu.

Akhirnya aku pun beranikan diri mengintip kamarnya. Tapi apa yang aku lihat sangat mengejutkanku. Aku melihat Mbah Joyo terbaring di tempat tidur bersimbah darah. Di tangannya, aku melihat bendera usangnya tergenggam di tangannya.

Aku panik dan mengundang perhatian penghuni kos-kosan murah itu. Tak lama kemudian, polisi pun datang dan membuka paksa kamar Mbah Joyo. Aku sempat menyeruak masuk ke dalam kamar mbah Joyo dan melihat dengan mata kepalaku sendiri. Aku melihat tangan kiri Mbah Joyo menggenggam bendera dan terlihat luka sayatan di pergelangan tangannya.

Aku juga menemukan selembar kertas yang tergeletak di samping mayatnya. Sebuah tulisan singkat terbaca di atasnya dan aku pun menghela nafas panjang. Di kertas itu tertulis ‘Aku hanya ingin bendera ini kembali merah’.

Sabtu, Juni 27, 2009

Jari Tengah, Organ Terpentingku

Beberapa waktu lalu, saya sudah menulis tentang jari tengah yang saya gunakan untuk bukti telah menjatuhkan suara dalam pemilihan umum. Saya sendiri tidak tahu mengapa saya lebih suka jari tengah, dibandingkan dengan jari yang lain.

Mungkin saja karena jari ini ada di tengah-tengah tangan kita (namanya saja jari tengah. Masak ada di pinggir). Tapi mungkin juga karena jari ini juga jari terpanjang di antara jari yang lain. Atau mungkin karena suka dijadikan simbol makian tingkat tinggi. Atau juga karena bentuknya mirip dengan Mr P (bila jari tengah mengacung).

Kembali saya akan menceritakan dengan kesukaan saya dengan jari tengah hingga membuat saya akhirnya memutuskan: JARI TENGAH, ORGAN TERPENTINGKU. Anda boleh juga mengartikan jari tengah adalah organ vital saya. Terserah.

Saya mau berbagi cerita dengan anda tentang pentingnya jari tengah dalam hidup saya. Bermula dari kebijakan kantor dimana saya bekerja yang memperlakukan absensi sidik jari. Langkah ini walaupun terbilang terlambat, tapi jelas sebuah kemajuan di kantor saya.

Untuk data base, setiap karyawan diminta meng-entri-kan sidik jari yang akan dijadikan pengenal diri di mesin absensi. Artinya, bila kita meng-entri-kan jempol kanan, maka hanya sidik jari jempol kanan inilah yang akan dikenali. Jari lainnya, tidak akan berbaca mesin ini.

Untuk saya –seperti saya sudah katakan- yang lebih menyukai jari tengah dari pada jari yang lain, tentu saja mendaftarkan jari tengah saya sebagai entri dalam data base mesin sidik jari. Tentu saja dengan ini saya pun akhirnya bisa mengatakan jari tengah saya adalah satu-satunya cara saya membuktikan kehadiran di kantor di mesin sidik jari.

Tentu saja, bila saat itu ada peraturan kantor yang melarang jari tertentu sebagai entri, tentu saja saya tidak akan memasukkan jari tengah saya sebagai pengenal. Tapi karena memang bebas, banyak teman saya yang tidak menjadikan jempol sebagai data entri. Ada teman yang suka jari telunjuk, jari manis atau pun kelilingking baik itu tangan kanan atau pun kiri.

Tapi ada satu cerita lagi yang akhirnya benar-benar mendorong saya mengatakan dengan tegas dan jelas kalau JARI TENGAH, ORGAN TERPENTINGKU. Anda mau tahu?

Bermula dari beberapa hari lalu. Saya menjalani hari yang berat. Malah sangat berat, mungkin. Sejak pagi, saya sudah keluar rumah dan keliling kota. Petangnya, saya sudah masuk kantor dan kembali tenggelam di pekerjaan. Malamnya, saya pun pulang dengan kondisi yang sudah sangat loyo.

Tapi begitu saya masuk kamar dan melihat istri yang sedang tidur, saya maklum. Malam itu, istri tercinta sedang mengenakan baju tidur hadiah ulang tahun dari saya. Itu adalah kode bahwa istri saya berharap nafkah batin kepada saya, sebagai suaminya.

Memang selama ini, istri saya lebih suka menggunakan bahasa simbol untuk keinginan-keinginannya. Untungnya, saya cukup pintar untuk membaca simbol-simbol tersebut. Sama seperti malam itu. Saya benar-benar faham dengan simbol baju tidurnya, termasuk aroma minyak wangi kesukaannya.

Sebagai suami yang baik dan berusaha menjadi suami terbaik pun, segera mencerna simbol-simbol tersebut. Jujur, untuk istri tercintaku, apapun akan aku lakukan. Termasuk memberikan nafkah batin dengan....... Jari tengahku.....

Minggu, April 19, 2009

Neo Kartini (Tentang Pelacuran Anak)

Kartini adalah wanita tua yang kini jadi pengasuh pondok sosial khusus mantan PSK yang sudah renta. Di masa mudahnya, Kartini ini memang sudah merasakan seribu kehidupan termasuk dari pelacuran anak, PSK sampai dengan menjadi mucikari. Kartini juga akhirnya berhasil mentas dan menjadi seorang istri seorang pegawai rendahan. Dalam perkembangannya, sang suami ternyata selingkuh dan akhirnya mereka pun bercerai. Berikut wawancara Kartini dengan Kartono, wartawan muda dalam sebuah kesempatan.

***

Kartono : Semasa muda, anda dikenal sebagai PSK. Karir (kalau saya boleh katakan) anda, sampai pada tinggal manajemen dengan menjadi mucikari. Bagaimana bila dibandingkan dengan sekarang?

Kartini : Memang saya dulu menjadi PSK saat usia masih sangat muda, sekitar 12 tahunan. Tapi yang perlu diingat, saya terjun ke sana (PSK) karena desakan ekonomi. Karena memang desakan ekonomi, saya pun berpikir sangat ekonomis dan setiap persetubuhan selalu saya nilai dengan uang.

Kartono : Sekarang?

Kartini : Sekarang sudah berbeda jauh. Banyak anak-anak belia yang juga nyaris sama dengan yang saya lakukan. Mereka hanya memikirkan gengsi dan merasa tidak PD hanya karena masih perawan. Mereka sangat bodoh atau malah sangat-sangat bodoh (nadanya mulai meninggi)!!

Kartono : Mengapa demikian?

Kartini : Keperawanan adalah hal yang paling berharga bagi seorang gadis dan mereka (anak sekarang) sangat tidak menghargainya. Hanya karena ingin membuktikan cinta, mereka rela ditiduri secara gratis..

Kartono : Kalau anda dulu?

Kartini : Saya mengalami banyak tingkat dan memang sesuai dengan kodrat, harga saya pun mulai menurun seiring bertambahnya usia. Dulu saat berusia belia, tubuh saya laku dengan harga mahal. Semakin tua, harga itu semakin turun sampai akhirnya tidak banyak lelaki yang mau dengan saya kecuali beberapa lelaki yang sudah kadung tresno (cinta) dengan saya. Banyak pelanggan saya yang berpindah ke pelukan dan antri kepada PSK yang lebih muda. Dan itu adalah wajar.

Kartono : Sampai kemudian anda menikah dengan suami yang juga pelanggan anda. Bagaimana anda menyikapinya karena jelas dari sisi penghasilan, sangat tidak ekonomis?

Kartini : Saya adalah wanita kuno yang tidak neko-neko. Kembali saya katakan, saya menjadi pelacur karena ekonomi dan duitlah yang menjadi junjungan saya, tidak ada cinta di dalamnya. Saat datang seorang lelaki dan menjadi suami saya, dialah junjungan saya. Dari ujung rambut sampai ujung kaki, saya persembahkan untuknya atas nama cinta. Tidak ada pertimbangan ekonomis di sana.

Kartono : Berarti anda anti emansipasi wanita sebagaimana yang diperjuangkan Kartini, pahlawan yang namanya sama dengan anda?

Kartini : Emansipasi yang seperti apa yang anda maksud? Banyak wanita yang hanya mengartikan emansipasi dengan sama rata sama rasa dengan lelaki. Mana bisa? Dari sononya (dari Tuhan), kita sudah ditakdirkan berbeda dan itulah anugrah yang diberikan untuk kita agar berbagi.

Kartono : Kondisi sekarang?

Kartini : Anda tahu data dari survey Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan. Di sana disebutkan 63% siswi SMP sudah pernah ngeseks dan 21 % siswi SMA pernah aborsi. Coba anda fikir apa seperti ini emansipasi yang diharapkan Raden Ajeng Kartini. Saya yakin bila saya dan mereka (siswi yang pernah aborsi) bertemu dengan RA Kartini, saya lebih PD daripada mereka walaupun kami sama-sama kehilangan keperawanan tidak di malam pertama pengantin.

Kartono : Mengapa?

Kartini : RA Kartini tetap akan menyalahkan kami berdua karena telah menyalahartikan emansipasi yang diperjuangkannya. Tapi saya punya alasan lebih kuat melepas keperawanan dibandingkan mereka yang hanya karena CINTA.

Kartono : Anda merasa apa yang anda lakukan sudah benar?

Kartini : Saya sampai sekarang tidak pernah merasa benar. Hanya saja saya menyesalkan para remaja yang sudah kehilangan keperawanan tanpa perencanaan. Toh walaupun jujur saja, pada akhirnya mereka akan mengikuti jejak saya.

Kartono : Maksud anda?

Kartini : Para gadis yang kini sudah tidak perawan lagi pada akhirnya juga akan tersingkir dalam pergaulan dan keasyikkan dalam dunianya. Mereka akhirnya akan menjadi gadis panggilan, purel atau sejenisnya. Sampai usia tertentu mereka sudah tidak layak menjadi purel atau gadis panggilan dan pilihan satu-satunya mereka adalah menjadi pelacur. Bedanya, saya melacur setel;ah merencanakan secara ekonomis penghasilan dan saya bisa maksimal karena keperawanan saya dihargai secara khusus dan cukup mahal.

*(Kartini dan Kartono adalah nama fiktif)

Jumat, April 17, 2009

Jali Tengah Untuk PEMILU (PEMIlihan paling LUwet)

*Tanpa Huluf R

Bila anda melihat foto saya dengan jali tengah mengacung, telselah mau dialtikan apa. Ini jaman meldeka –walau tidak semeldeka cita-cita-. Mau mengaltikan sepelti teman saya yang mengatakan itu adalah FxxK Pemilu. Tentu saja, sang teman saya yang seolang penulis celpen dan sastlawan muda ini, sah-sah saja. Banyak alasan yang dijadikan dasal mengaltikan foto saya itu.
Menulutnya dan tentu saja menulut data yang ada, Pemilu Legislatif yang sudah dilaksanakan pada 9 Palil 2009 lalu, masih saja menyisakan masalah dan malah semakin banyak masalah yang teljadi. Masalah mulai dali DPT (daftal pemilih tetap) sampai dengan ploses pelhitungan yang masih saja timbul masalah.
Selama masa kampanye pun, pala pucuk pimpinan paltai saling belkoal tentang keunggulan paltai masing-masing. Kata seolang teman, suasana masa kampanye sangat milip dengan pasal malam yang isinya penjual obat. Semuanya mengatakan nomol satu dan yang lain adalah pecundang.
Atau semakin banyaknya kasus luwet seiling dengan gagalnya pencalonan seseolang menjadi anggota legislatif. Di Bandung, sejumlah pelusahaan konveksi menanggung kelugian hingga milialan lupiah kalena aksi bogok (ngemplang) sang caleg. Di bebelapa kota, sejumlah caleg yang gagal mengalami deplesi mulai dali stless, gila sampai dengan melakukan bunuh dili. Sungguh luwet...
Belum lagi hali pelaksanaan pemilu yang kulang tepat kalena belbentulan dengan kegiatan agama dan diyakini oleh sejumlah pemilih. Akhilnya KPU pun mempelbolehkan pemilih –di daelah telsebut- untuk melakukan pencontlengan di hali yang belbeda.
Keltas suala? Siapa bilang tidak ada masalah. Pada point ini pun banyak ketidakmampuan pelaksana pemilu untuk membuatnya tidak menimbulkan masalah. Nomol caleg yang teltukal, kualitas cekatan dan keltas yang ambuladul sampai dengan pendistlibusian yang juga tidak kalah luwetnya, semakin menambah panjang ketidaksempulnaan pelaksanaan pemilu, kemalin.
Tapi jujul saja, dalam pileg kemalin, saya sengaja mengunakan hak suala saya. Bukan untuk paltai besal, tapi untuk paltai lain yang saya halapkan bisa menjadi tandingan paltai-paltai laksasa. Sayangnya, saya kembali halus kecewa kalena sang paltai pilihan saya pada akhilnya tetap saja melengek dan melapat ke paltai laksasa. Satu lagi hal yang saya sesali telah saya saya lakukan dalam hidup ini.
Tapi alti jali tengah untuk pemilu bisa jadi adalah jali tengah saya yang dicelupkan ke tinta pemilu, usai mencontleng. Dan itu memang yang saya lakukan pada 9 Aplil lalu. Tindakan saya sempat membuat hansip yang menjaga tinta beltanya dan saya jawab,” emang ada atulan halus jali kelingking yang dicelup?

Rabu, April 01, 2009

Batu-batu Bertuah

Sudah hampir sebulan ini Indonesia digegerkan dengan kasus batu petir milik Ponari, bocah SD yang tinggal di Jombang, Jawa Timur. Kabarnya kehebatan batu yang idapat setelah sebelumnya didahului dengan petir ini sangat ampuh untuk mengobati 1001 jenis penyakit. Walaupun belum teruji secara medis, ribuan warga yang datang bisa menjadi bukti kehebatan batu yang sekarang disebut dengan batu petir tersebut.

Malah sebagian dari mereka bersedia mati saat berdesak-desakan. Ada yang merasa mampu, merogoh kocek lebih dalam untuk menghindari antrian sampai dengan orang yang sudah membuang pikiran jernihnya dan minum air comberan yang keluar dari kamar mandi Ponari. Ihhhh.....

Belum lagi pro kontra tentang buka tidaknya Ponari untuk melayani warga yang datang. Sampai-sampai muspika dan MUI serta Komnas Anak merasa harus turun tangan mengendalikan aliran massa yang ingin menyembuhan. Seabreg alasan mereka mulai dari keterangan kampung sampai dengan masa anak-anak Ponari yang dipertaruhkan. Tapi akhirnya, Ponari tetap saja buka praktek. Sebuah solusi sederhana untuk rakyat sederhana mencari penyembuhan. Tentu saja jauh lebih murah dibandingkan dengan biaya rumah wakit walaupun sudah ditanggung Jamkesmas sekalipun.

Malah saking hebatnya berita batu Ponari, di beberapa tempat muncul berita dengan tujuan mempopularitaskan batu-batu lain. Di Jombang, masih di kota yang sama, juga sempat muncul kabar tentang batu sakti. Kemudian di Madura juga tiba-tiba diberitakan muncul berita dengan kehebatan yang tidak kalah dan terakhir di Gedangan Sidoarjo. Lagi-lagi ada batu ajaib yang juga diakui bisa menyembuhkan dari seorang warga di Bulak Banteng, Surabaya pada Rabu tanggal 1 April 2009.

Ngomong-ngomong tentang batu hebat, saya juga punya cerita yang diyakini di kampung kami –mungkin di kampung anda, juga-. Bila dalam perjalanan dan kita merasa kebelet beol, disarankan mengambil batu dan menyimpannya di kantong celana. Cara ini diyakini bisa menunda atau malah menghilangkan ‘desakan’ ke kamar belakang tersebut. Cara ini sudah terbukti pada anak tetangga saya yang akhirnya dibekali ibunya dengan sebongkah batu kecil di saku dalam perjalanan ke kampung. Hasilnya, selama perjalanan, sang anak lepas dari keinginan untuk Buang Air Besar (BAB).

Oh ya... saya baru ingat kalau sudah 2 hari ini saya juga tidak BAB. Sejak dari luar kota 2 hari lalu, saya belum juga buang air besar walaupun perut rasanya sudah sebah gak karu-karuan. Setelah saya berfikir beberapa saat, saya baru ingat kalau masih menyimpan kerikil dalam dompet saya. Tanpa membuang waktu, saya langsung membuka dimpet dan mengambil batu kemudian membuang lewat jendela.

Sebelum lupa, saya akan ceritakan tentang batu yang akhirnya saya masukkan ke dalam dompet saya itu. Saat itu, 2 hari lalu saya dalam perjalanan ke luar kota untuk suatu keperluan mendadak. Dalam perjalanan, tiba-tiba....... saya merasa (maaf, saya harus segera ke kamar belakang. Batu yang baru saja saya buang sudah membuat pertahanan saya jebol dan saya harus ke belakang......)

Jumat, Maret 27, 2009

Sepupu Saya (Berkah dari Pemilu)

Pemilu memang tradisi lima tahunan republik ini. Saya sendiri sudah 4 kalian mengalami pemilu yang katanya langsung, umum, bebas dan rahasia. Seperti yang terjadi di tahun ini, 2009, pemilihan langsung kembali digelar sebagai tanda bila kekuasaan ada di tangan rakyat (walau akhirnya, kebijakan tidak memihak kepada rakyat).


Terlepas dari sistem baru yang diterapkan KPU (komite Pemilihan Umum) yang merubah cara memilih dari mencoblos (dengan paku) menjadi contreng alias cawang alias centang (v), pemilu adalah pesta rakyat dalam arti yang sebenarnya. Saat ini adalah saat yang tepat untuk rakyat mendapat perhatian. Lihat, baca dan dengar dari pemberitaan media massa tentang sikap manis para caleg kepada pemilihnya (kebaikan mereka tergantung dengan dapil sang caleg dan tempat tinggal sang rakyat).


Ada caleg yang tiba-tiba peduli dengan pedagang kali lima, orang tua yang sakit atau pun ibu yang hendak melahirkan. Ada juga caleg yang sangat tiba-tiba peduli dengan pendidikan dan menjanjikan pendidikan murah serta bermutu, kesehatan gratis –tentu janji mereka bila terpilih-.


Tapi setiap kali pemilu datang, saya ingat dengan adik sepupu saya yang sekarang sudah kuliah dan tinggal bersama ibu serta adiknya di Jogja. Ibu (tante saya) dan bapaknya adalah orang yang merasa benar-benar diuntungkan dengan adanya pemilu. Dari pemilu tersebut, mereka dipertemukan Tuhan dalam perkawinan walaupun setelah lahir dua anak dari kisah kasih mereka, sang ayah harus berpulang dalam kecelakaan.


Saya sendiri tidak ingat pemilu tahun berapa, mereka dipertemukan di panggung kampanye. Memang, tahun itu, sang ayah (namanya Arief) adalah pegawai Solohilir (yang mengurusi Bengawan Solo) dan sang ibu (namanya Dewi) adalah tenaga honorer di Departemen Penerangan. Asal anda tahu, saat itu PNS adalah salah satu organ pendukung Golkar untuk memenangkan pemilu. Keduanya (Arief dan Dewi) pun dijadikan jurkam walaupun mereka saat itu bukan caleg.


Tapi saya ingat nama unik anak pertama mereka hasil dari perkawinan berkah pemilu tersebut. Nama anak pertama mereka yang juga adik sepupu saya adalah ARDEMA LITA MAHADAR PRESWARI. Nama yang luar biasa indahnya. Kami (keluarga saya) sempat kagum dengan nama yang indah tersebut dan mencoba mencari artinya.


Dari hasil korek sana dan korek sini (termasuk kepada ayah dan ibu) dari pemilik nama yang cantik tersebut. Kami sempat tersenyum setelah tahu artinya. Saya sendiri juga bertaruh, anda akan tersenyum bila tahu arti nama yang indah tersebut. Demi Tuhan, arti dari nama itu adalah ARDEMA (Arief Dewi Maret – anak dari Arief dan Dewi yang lahir di bulan Maret) LITA (dari kata Repelita-Rencana Pembangunan Lima Tahun) MAHADAR (Lima, Harto (dari Suharto), Darmono (dari Sudarmono) – Lima itu adalah angka untuk Repelita yang biasa digunakan dalam Orde Baru) dan PRESWARI (Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia). Sekarang, tolong bantu saya untuk mengingat, tahun berapa pemilu untuk repelita lima?

Sabtu, Februari 14, 2009

Jangan Mati di Valentine Days

Mawar Lagi Mahal

Hari ini banyak dan seluruh isi dunia merayakan valentine days alias hari kasih sayang. Budaya barat ini tidak diketahui kapan masuknya dan sudah beberapa tahun belakangan ini menjadi kegiatan serentak oleh anak muda.

Moment ini juga banyak digunakan tempat hiburan untuk menarik pengunjung dalam kemasan khusus. Di hari ini, seakan-akan warna pink atau merah muda menjadi warna teristimewa. Malah Satlantas Polwiltabes Surabaya juga menggunakan moment serba pink sebagai salah satu cara meningkatkan pelayanan. Para petugas pada hari itu mengenakan baju warna pink. Senyumnya, jangan ditanya... jaaaauhhhhhhh lebih manis walaupun pada hari biasa juga tetep manis juga.

Sepanjang hari ini, di tengah kesibukan saya mencari berita, di sepanjang jalan, terlihat pajangan serba pink atau merah. Mulai dari bunga mawar atau boneka dijual dengan kemasan yang menarik. Malah, sebatang coklat yang jelas-jelas berwarna coklat pun dipaksa dijadikan pink dengan melilitkan pita atau boneka lucu.

Di hari serba pink ini, harga bunga mawar mencapai puncaknya. Sebatang bunga penuh duri ini dijual hingga Rp 10 ribu lengkap dengan plastik dan beberapa asesoris sebagai bunga tangan. Padahal biasanya, harga bunga ini hanya sekitaran ratusan rupiah saja. Dalam hati, saya memanjatkan puja dan puji ke hadirat Tuhan yang telah memberikan manusia pikiran untuk membuat hari dimana penjual bunga merasakan panennya. Ya... Valentine Days adalah hari karangan manusia yang membutuhkan banyak bunga.

Hanya saja, dalam hati saya yang paling dalam juga memanjatkan doa agar tidak ada kematian di hari kasih sayang ini. Bukan apa-apa sih, hanya saya merasa kasihan dengan keluarga dan para kolega si yang meninggal tersebut. Kasihan karena keluarganya yang sedih dengan kematian tersebut akan tambahan anggaran yang cukup tinggi karena bunga MAWAR sedang MAHAL. Termasuk para kolega yang karena rasa dukanya akan mengirim karangan bunga –dengan bunga mawar-.

Karena itulah, saya juga berdoa agar tidak ada kematian di hari kasih sayang ini. Saya berharap di hari seperti ini, seisi dunia tetap merasakan kasih sayang tanpa ada rasa kehilangan keluarga, kerabat, kolega dan sahabatnya.

Walaupun jujur saja, melepas kematian keluarga, kerabat, kolega dan sahabat juga bisa jadi cara menunjukkan kasih sayang kita. SELAMAT HARI KASIH SAYANG. Sayang dan hormat saya untuk semua sahabat...

Senin, Februari 09, 2009

Secret Admirer

Ada kejadian pada hari Minggu, 8 Januari 2009 kemarin, yang membuat saya tertegun dan nyaris tak bernafas. Saya bertemu dengan teman semasa saya SMA. Saya di SMA dia di STM dan kami dekat karena kebetulan, dia kos di samping rumah saya. Kami tumbuh kembang bersama, lengkap dengan kenakalan ala remaja. Kami berpisah setelah lulus SMA tahun 1992. Jadi sudah 17 tahun kami berpisah, tanpa ada yang tahu kabar masing-masing.

Hari itu, kami kembali bertemu di rumahnya, di Jl. Jeruk III, Lakarsantri, SUrabaya. Tentu saja, Gunung Semeru tidak sebesar kerindungan kami untuk bertemu. Banyak cerita yang kami ulang untuk dikenang. Tapi ada beberapa hal yang membuat saya terkesima dengan apa yang dilakukannya selama ini. Persahabatan kami benar-benar terpatri di dalam hidupnya.

Dia masih saja menyimpan foto kami saat dolan ke rumah gadis yang dia taksir di kawasan Malo, Tuban. Dia tunjukkan foto itu walaupun saya sudah tidak bisa melihat gambar itu secara jelas karena sudah dimakan kelembaban air.


Tidak itu saja, dia juga sempat membuat saya malu di depan Eka, wanita yang dinikahinya. Wanita yang baru sekali bertemu dengan saya itu sudah tahu kenakalan-kenakalan saya semasa SMA. Duh malunya.... Bagaimana mungkin orang yang baru ketemu saya sudah mengenal masa lalu saya. Termasuk beberapa kegilaan saya saat pacaran... Untungnya, saya berkulit gelap hingga rona merah karena malu, tidak tampak. Hehehe...

Yang lebih membuat saya sangat kaget dan tidak menduga adalah saat saya bertemu dengan anak pertamanya yang duduk di kelas 2 SD. Saya tidak kaget denganh kulitnya yang gelap karena bapaknya juga berkulit gelap. Yang membuat saya kaget adalah nama yang diberikan sahabat saya itu untuk bocah laki-laki. Mau tahu, namanya adalah NOOR ARIEF PRASETYO. Kalau anda mau tahu, nama saya adalah Noor Arief Prastyo. Cuma beda huruf e pada Prastyo. Cuma sekarang, saya lebih suka mengganti nama Prastyo dengan Kuswadi (nama alm ayah).

Saya bingung, harus tersanjung atau harus bagaimana. Beberapa saat saya terdiam karena tidak menyangka apa yang dia lakukan. “Aku gak peduli walau tidak bertemu denganmu lagi. Tapi aku sudah berjanji akan memberi nama anak lelakiku dengan namamu,” kata sahabat yang membuat mata saya berlinang air.

Kami ngobrol banyak tentang apa yang kami lakukan, sejak perpisahan kami. Perjalanannya yang menjadi tenaga kasar bangunan sampai dengan sekarang yang juga tidak jauh dengan pekerjaan kasar seperti itu. Saya juga menceritakan apa yang saya jalani sejak kuliah yang terbengkalai sampai dengan siapa wanita yang saya nikahi.

Menjelang saya pulang, saya hampir Arief kecil sambil membelai rambutnya. Dalam hati saya berdoa, semoga hidupmu baik-baik saja dan jalan kita semoga tidak sama. Karena jalan yang telah aku tempuh, cukup terjal... Amin...

Minggu, Februari 01, 2009

Olahraga dan Seks

Beberapa hari belakangan ini, saya disibukkan menjadi (seakan-akan) manager sebuah kelompok futsal wartawan kriminal di Surabaya. Kami akan menghadapi turnamen futsal antar kelompok kerja (pokja) wartawan di Surabaya dan tim undangan dari Gresik serta Lamongan.

Jujur, saya sendiri sebenarnya orang yang paling malas berolahraga. Jangankan melakukan olahraga, melihat pertandingan olahraga –apapun itu-, saya tidak bisa. Saya merasa senang jadwal sehari-hari tidak terganggu dengan pertandingan liga Eropa, Inggris sampai dengan Piala dunia. Malah istri saya cukup senang karena saya tidak benar-benar gibol.Tapi yang membuat saya cukup nyaman tanpa berolahraga adalah sebuah artikel disini. Anda bisa baca sendiri beberapa keuntungan dari yang disebutkan di sana sebagai pengganti olahraga. Anda berminat?

Di sana disebutkan ‘sesuatu’ yang bisa menghilangkan stres, meningkatkan daya tahan tubuh, mengatasi kelebihan berat badan, membikin jantung sehat, meningkatkan rasa percaya diri, obat anestesi alias penghilang rasa sakit, mengurangi resiko kanker prostat sampai dengan obat tidur yang paling hebat. Atas banyaknya manfaat yang disebutkan itu, saya mengurangi olahraga karena saya sudah mendapatkan hal tersebut dari ‘sesuatu’ itu.

Kembali ke tim futsal saya yang diberi nama DPO (sesuai dengan bidang liputan kami, kriminal). Futsal ternyata baru saya sadari hanyalah permainan mirip dengan sepakbola dengan lapangan mini. Saya juga ingat kalau voli pantai juga sebuah olahraga modifikasi dari bolavoli yang diminikan. Lalu saya ingat dengan permainan squas yang juga merupakan pe-mini-an dari tenis lapangan.

Menurut teman saya, sekarang ini banyak alasan mengapa orang me-mini-kan sesuatu. “Alasannya tentu saja di jaman modern ini, semuanya serba minimalis. Mulai dari furnitur sampai dengan sejumlah perabotan masak pun diusahakan 2 in 1 atau kalau perlu 10 in 1 agar lebih efisien,” cerocos sahabat saya yang memang dikenal suka olahraga, apapun itu.

Saat mendengarkan ocehan tentang semua hal yang minimalis, diam-diam saya merogoh saku jaket dan mengambil sesuatu kemudian membuangnya. Saya baru ingat kalau tadi siang sempat merobek halaman sebuah majalah dengan cucu Mak Erot yang sedang buka praktek di kota saya. “Mungkin saya sudah tidak perlu iklan itu,” kata saya dalam hati.

Rabu, Januari 28, 2009

Poli Kritik (Caleg-calegku)


-->
Waktu pemilihan yang akan digelar 9 April 2009, sudah sudah semakin dekat. Banyak cara dilakukan para caleg untuk menampilkan diri, menarik simpati, meminta doa dan dukungan agar mereka bisa duduk di kursi empuk DPRD baik di tingkat II, tingkat I maupun tingkat pusat.
Jargon dan kata-kata yang mereka usung dalam baliho, sering membuat saya tertawa. Termasuk iklan dari caleg Sahat Tua Simanjuntak SH dari Partai Golkar untuk DPRD I Jawa Timur dapil 1 (Surabaya Sidoarjo). Dalam iklannya, sang caleg membuat slogan SAHAT (Setia, Bersahabat, Tanggap).
Seorang caleg di sebuah kota di Jawa Tengah lebih unik lagi. Baliho yang sempat saya lihat itu menuliskan Sa-lim (SAtu LIMa). Artinya, partai nomor 1, urutan nomor 5. Uniknya, antara slogan dan nama sang caleg, sama yaitu SALIM NURHASAN, SE. Saya juga sempat melihat beberapa baliho dengan slogan Ngo-ji (soNGO siJI) dan Sem-pat (SEMbilan emPAT) di beberapa tempat di kampung halaman saya, Bojonegoro.
Saya semakin tertantang untuk mencoba mencarikan slogan untuk kawan-kawan saya yang mungkin mencalegkan dirinya. Anda bisa pakai Ma-ju (liMA tuJUh) untuk yang partai nomor lima dan urutan caleg nomor tujuh. Atau pakai Ma-pan (liMA delaPAN) dan Se-tuju (SEpuluh-TUJUh).
Mau yang lebih kreatif lagi, anda bisa coba memakai Tu-mo (piTU liMO alias tujuh lima),
Pa-lu (PApat-teLU), Tumpas (TUjuhpuluheMPAt-Satu) atau Sepatu (SEmbilanPuluh-sATU).
Eh... saya punya juga singkatan yang menggambarkan mental anggota dewan kita. Kalau anda mau dan bersedia jujur, anda (para caleg) bisa memakai slogan Tu-li (piTU-Limo alias tujuh-lima), Pal-su (emPAt puLuh-SatU) atau Tipu-tipu (TIgaPUluh-TIgaPUluh).
Tapi andai saya seorang caleg, saya akan upayakan agar saya bisa memakai salah satu slogan ini. Inem (sijI-eNEM alias satu enam), Pan-tat (delapan-empat) atau mungkin malah Lonte Tuwo (wulongpuluhtelu-pituwolu alias 83-78).
Atau anda mau lebih bersatu dengan para caleg lain hingga membentu sebuah slogan unik. Contohkan, karena INEM punya PANTAT PALSU, dia dijuluki LONTE TUWO.....

Jumat, Januari 23, 2009

Do REG

Beberapa hari belakangan ini, entah kenapa saya lebih lama di depan televisi menikmati tembakan-tembakan iklan yang bombardir. Dari sekian banyak iklan yang tayang dan masuk ke ruang otak saya, ada beberapa hal yang cukup menarik. Salah satunya bejibunnya iklan yang menayangkan kemudahan mencari dan mendapatkan sesuatu.
Lihat saja, kalau ingin tahu peruntungan, kita tinggal ketik REG RAMAL lalu kirim ke 4 digit nomor operator. Malah Mama Lauren yang kondang karena ramalannya juga membuka jasa layanan untuk anda. Caranya, ketik MAMA (spasi) nama Anda lalu kirim ke 9090.
Atau kalau mau tahu berat badan yang ideal, kita tinggal ketik REG IDEAL lalu kirim 4 digit nomor operator. Ada juga yang mengandalkan perhitungan ala jawa dengan cara ketik REG PRIMPON lalu kirim ke 4 digit nomor operator.
Mau lebih vulgar lagi? Kalau kita mau selingkuh lewat SMS, kita tinggal ketik REG DARA lalu kirim ke 4 digit nomor operator. Singkat dan praktis walaupun mungkin biasanya, SMSnya sedikit lebih mahal dari biasanya.
Teman saya pernah merasa bangga karena setiap hari dikirimi SMS dari artis idolanya. SMS-SMS itu tentang kegiatan sang idola sehari-hari. Usut punya usut, ternyata sang artis pujaan hati itu juga menyediakan dirinya untuk memberi kabar kepada penggemarnya. Caranya, tentu saja ketik REG nama artis lalu kirim ke 9090.
Memang praktis hidup di jaman sekarang. Banyak kepraktisan yang kita hadapi dan hampir di semua lini, telah menjadi syarat mutlak untuk gaya modern. Malah saya sempat kaget juga melihat istri saya membeli bumbu siap saji untuk SAYUR asam. Padahal, setahu saya, sayur menyegarkan ini bumbunya relatif sangat sederhana. Sesederhana apapun bumbunya, kini sudah tersedia bumbu yang siap saji.
Jadi kita sekarang memang benar-benar dimanja. Mau ramalan, permainan sampai dengan punya teman kencan dan berkawan artis, semua bisa. Tinggal DO REG, beres...
Tapi kalau untuk percintaan yang praktis, pesan saya, jangan lupa kenakan juga Do reg (salah satu merek pengaman).

Rabu, Januari 07, 2009

Setia pada Kutukan


Dunia ini, panggung sandiwara
Ceritanya mudah berubah
Setiap Insan, dapat satu peranan
Yang harus... kita mainkan....
(Lagu Goodbless Panggung Kehidupan)

Seminggu belakangan ini, otak, mata dan telinga kita dijejali dengan pemberitaan penyerbuan pasukan Israel ke Jalur Gaza. Akibat serangan ini, ratusan warga sipil Palestina dikabarkan menjadi korban. Siapa yang salah?
Salahkah Israel atau benarkah Palestina. Banyak komentar yang akan mengatakan kalau Israel berada di pihak yang salah. Anda yakin?
Kalau saya, tentu saja kembali kepada peran kita dalam dunia ini. Sejauh mana dan sebagus apa kita memerankan lakon masing-masing, akan menjadi bahan pertanggungjawaban kelak di pengadilan kekal.
Israel. Bukankah kita sudah sering mendengar kisah-kisahnya di kitab-kitab suci. Diceritakan dalam kitab panutan umat tersebut, Israel adalah negara dengan penduduk cerdas, kuat tapi tidak punya wilayah. Lalu kalau apa yang dilakukan Israel dengan mencoba merebut Palestina, salah kah?
Mungkin kalau bukan Palestina, negara-negara di sekitarnya yang akan menjadi sasaran. Mungkin Mesir yang sampai saat ini masih dianggap wilayah paling aman dan paling dekat dengan wilayah konflik. Atau mungkin Indonesia, andai kita juga berada di sekitaran Palestina.
Israel telah dengan total melakukan lakon yang diembannya. Mungkin tidak semua orang Israel setuju dengan penyerbuan warga sipil tersebut. Bagi sebagian mereka, langkah Kumbokarno bisa menjadi contoh yang bagus. Mereka maju perang untuk membela negara, bukan siapa yang benar dan siapa yang salah.
Mungkin Israel tetap menjadi seperti itu (kejam dan keji mengorbankan warga sipil) adalah langkah mereka bertahan menjalani takdirnya. Dalam benak saya, seandainya Israel tidak seperi itu (kejam dan keji), mungkin sejumlah bagian dari kitab suci harus dirubah. Yang ini, jelas lebih tidak mungkin.
Bagi saya, Palestina adalah simbol pemersatu umat Islam dunia. Penderitaan mereka bisa dan mampu membuat kita (muslim di Indonesia) melupakan segudang penyiksaan yang kita alami di negeri sendiri. Karenanya, walau bagaimanapun, tetap Save Palestina...

Minggu, Januari 04, 2009

Ilmu dari Karib (Siklus Hidup)


Beberapa waktu lalu, saya bertemu dengan teman lama saya. Sebenarnya, dia bukan hanya teman lama, tapi teman seperjuangan saat masih bujang. Teman merintis kehidupan di Surabaya dan teman merintih dan meringis. Kadang kami sama-sama menangis. Menangisi kenapa kami tidak dilahirkan di keraton atau di istana. Beberapa usaha (Kalau boleh dibilang usaha) kami pun sempat gulung tikar dan berganti haluan.

Tapi bukan pertemuan dengan teman sejati itu yang membuat saya tertegun dan merenungi. Karib saya ini bercerita tentang siklus hidup. Memang saya akui, setelah lama tidak bertemu, saya memang mendengar kalau dia mulai suka hal-hal yang berbau klenik. “Tapi sepanjang bisa dinalar, aku akan jalani,” terangnya memberi alasan saat saya katakan kalau jaman sudah modern. Tukang becak saya sekarang sudah bawa HP berkamera.

Dalam pertemuan kami, karib itu mengatakan kalau setiap manusia mempunyai siklus kehidupan yang berbeda-beda. Dia mengutip cerita dari Nabi Yusuf dimana saat itu ada 7 tahun panen mencapai puncak dan 7 tahun kemudian paceklik berkepanjangan. “Nah, kita juga punya siklus yang sama dengan itu walaupun mungkin angkanya tidak 7. Ada orang yang siklusnya 5 tahunan, 6 tahunan atau pun 10 tahunan. Kita harus tahu siklus kita masing-masing agar bisa melakukan antisipasinya,” cerocos karib saya itu.

Mungkin yang dimaksud dengan antisipasi adalah menyimpan semua hasil pertanian saat mengalami panen yang luar biasa untuk menghadapi masa paceklik yang datang dengan panjang waktu yang sama.

Saya sendiri sebenarnya tidak begitu tertarik dengan materi tersebut. Tapi setelah berdiskusi panjang, saya pun mulai membenarkan sedikit apa yang diomongkan. Tapi saya mengambil intinya yaitu kita hanya menggunakan separo dari ‘panen’ kita. Harapannya, tentu saya yang separo bisa digunakan saat paceklik itu tiba.

Dan kini saya pun menularkan teori karib saya kepada para sahabat-sahabatku. Coba direnungkan apakah teori itu berlaku atau tidak. Mungkin dalam satu hal, ‘paceklik’ satu orang akan berbeda dengan ‘paceklik’ yang yang lain. Tapi kalau anda adalah ANAK, KEPONAKAN, ADIK, IPAR, SEPUPU atau CUCU jendral, mungkin teori itu tidak berlaku.