Jumat, Agustus 10, 2012

Kejahatan dan Lebaran

Indonesia memang benar-benar negara dengan banyak musim. Mulai dari musim penghujan, kemarau sampai dengan musim rambutan, mangga dan –termasuk- musim kejahatan. Sudah nyaris menjadi hal yang bisa dipastikan bila menjelang lebaran atau pun tahun ajaran baru, angka kejahatan ini merangkak naik di angka yang fantastis.
Tindakan tegas pun kadang –terpaksa- dilakukan kepolisian untuk meredamnya. Seperti yang dilakukan oleh Polda Metro Jaya yang menembak mati perampok di Jl Raya Caman, Jatibening Baru, Pondok Gede, Bekasi, Selasa, 7 Agustus 2012.
Informasi dari Humas Polda Metro Jaya, petugas awalnya berhasil menghentikan kendaraan kawanan perampok itu. Namun para perampok itu sempat melakukan perlawanan sehingga petugas terpaksa mmenembak. Dua perampok pun tewas, sedangkan 4 orang lainnya diamankan petugas. Dari komplotan tersebut petugas menyita barang bukti 3 pucuk pistol, 2 golok, 1 linggis, dua sepeda motor, dua lakban, dan mobil Daihatsu Xenia.
Tensi tinggi kriminalitas juga sedang terjadi di Surabaya, kota kedua di Indonesia. Di kota Pahlawan ini, sedikitnya 2 kejadian yang melihatkan senjata api (senpi) yaitu perampasan senpi polisi lalu lintas yang disertai dengan penganiayaan dan perampokan SPBU (Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum) oleh perampok bersenpi.
Senin, 16 Juli 2012 sekitar pukul 23.30, saat berjaga di Pos Pol Margomulyo, Briptu Nyartam, didatangi lelaki yang menanyakan sebuah alamat. Tapi saat bhayangkara ini lengah, lelaki itu memukuli kepala dan merampas senjata apinya.
Selang beberapa hari kemudian, tepatnya Minggu 22 Juli 2012 sekitar pukul 10.30, SPBU di Kupang Jaya dirampok 2 orang bersenpi. Pelaku yang mengenakan penutup wajah ini sempat 2 kali menembak ke udara saat terdesak usai menjarah Rp 103.700.000. Terlepas apakah dua kejadian di Surabaya ini saling terkait atau tidak, biarkan polisi yang melacak dan menguaknya.
Kejahatan dan kebutuhan memang menurut saya saling terkait. Saat moment-moment dimana kebutuhan tinggi, akan dibarengi dengan meningkatnya aksi kejahatan. Ini karena aksi kejahatan tidak semata-mata untuk pemuasan hura-hura para pelakunya, tapi juga merupakan cara memenuhi kebutuhan hidup keluarga mereka.
Logikanya, sederhana saja. Setiap ada peningkatan kebutuhan, akan dibarengi dengan peningkatan kinerja untuk mengejar ‘upah’. Seorang sales pun akan lebih semangat untuk menjual produknya dan menjadikannya seakan-akan barang yang wajib dimiliki. Seorang buruh pun akan mencari jam lembur untuk menambah upah mingguannya.
Demikian juga seorang bandit yang memang menjadikan aksi kejahatan sebagai sebuah pekerjaan. Bila tidak meningkatkan kuantitas atau kualitas kejahatannya, darimana para bandit akan memenuhi kebutuhan keluarganya. Tentu saja, tidak pernah ada anggota keluarga yang mengetahui pekerjaan sang bandit. Terlebih tahun ini, tahun ajaran baru berbarengan dengan datangnya bulan puasa. Tentu saja, 2 moment tersebut sama-sama membutuhkan uang yang lebih daripada kebutuhan biasanya.
Bila menjelang peningkatnya kebutuhan, seorang sales dimaklumkan peningkatkan angka penjualan dan seorang buruh dimaklumkan pencari kerja lembur tentu juga harus dimaklumkan bila seorang bandit meningkatkan tingkat aksinya. Termasuk –harus- dimaklumkan bila seorang penulis, -biasanya- juga meningkatkan intensitas menulisnya.

Jumat, Agustus 03, 2012

Sekali lagi soal polisi dan ‘keunikannya’

Beberapa hari ini, hampir seluruh media di Indonesia menyajikan berita dugaan korupsi dalam pengadaan simulasi Surat Izin Mengemudi (SIM) di Korps Lalu Lintas. Ketika itu, Direktorat Lalu Lintas (Ditlantas) Mabes Polri masih dijabat Irjend Djoko Susilo. Banyak pihak tersentak. Sudah sedemikian parahkan budaya korupsi di kepolisian? Saya coba menceritakan apa yang Saya ketahui. Tentu tidak khusus membicarakan persinggungan antara kepolisian dan KPK dalam kasus ini, termasuk –yang dikatakan- miscomunication saat penggeledahan. Hanya cerita sederhana sepanjang apa yang Saya ketahui, Saya lihat dan Saya rasakan. Kendati sebagian perlu pembuktian lebih lanjut. Bicara aparat dan konspirasi, Saya teringat dua cerita. Pertama adalah kisah, yang diceritakan seorang sahabat perwira polisi. Tentang seseorang yang sangat miskin dan mengirim surat kepada Tuhan, minta uang Rp 500 ribu. Karena kebingungan, tukang pos kemudian mengantarkan surat tersebut ke kantor polisi. Karena kasihan, polisi ini memasukkan uang Rp.400 ribu yang ia punyai ke dalam amplop dan mengantarnya ke rumah si miskin. Begitu senangnya si miskin mendapatkan uang itu. Setelah membuka dan menghitung, si miskin kembali menulis surat kepada Tuhan. “Tuhan, terima kasih kiriman uangnya. Lain kali jangan dititipkan ke polisi ya? Pasti kena potong” tulisnya dalam surat kedua. Cerita kedua, Saya dengar dari seorang intel dalam obrolan di warung kopi. Diceritakan tentang keluhan pengusaha keturunan Tionghoa pada aparat keamanan. “Haiya.. lepot ada tamu aparat. Dikasih kopi, tidak diminum. Dikasih rokok, tidak dirokok. Dikasih duit, kopi diminum dan rokok dikantongi. Haiya...” Tradisi Dua joke di atas memang hanya sebuah guyonan. Namun semuanya menjadi cerita di masyarakat. Apa yang menyebabkan itu semua? Dari berbagai obrolan dengan polisi sahabat Saya, semuanya itu berawal dari tradisi bagi aparat yunior untuk melayani senior. Dimana pun dan kapan pun. Termasuk ketika sang senior datang ke sebuah kota, maka yuniorlah yang bertugas di kota tersebutlah yang menyediakan segala kebutuhannya. Kadang, termasuk biaya hotel dan perjalanan sang senior plus keluarganya. Dari mana seluruh biaya itu? Tentu saja –berani taruhan potong leher-, bukan dari uang gajinya yang jelas-jelas tidak besar itu. Uang gajinya jelas untuk kebutuhan rumah tangganya dan itu saja juga saya yakin masih kurang. Lalu darimana? Jelasnya, ada kewenangan yang akan dijadikan sebuah peluang bernilai rupiah. Sekadar membuka satu demi satu kemungkinan kewenangan yang berpeluang bernilai rupiah di luar lalu lintas. Sudah menjadi rahasia umum, di Lalu lintas, apa pun bisa dijadikan rupiah. Mulai dari plat nomor, SIM, STNK, BPKB, mutasi kendaraan, STNK/BPKB hilang sampai dengan nomor cantik, semuanya bisa dirupiahkan. Sebut saja pelayanan terdepan di kepolisian, yaitu Sentra Pelayanan Kepolisian Terpadu (SPKT). Di pos ini, kali pertama semua pengaduan masyarakat akan dilayani. Kendati tercantum tidak ada biaya yang dipungut, bukan jaminan tidak ada hilir mudik uang dalam pelayanan ini. Ruang pelayanan lainnya adalah Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK) dan perijinan kegiatan. Untuk ijin kegiatan saja, kita minimal membutuhkan ijin dari lokasi kejadian, rekomendasi dari Polsek setempat, rekomendari dari opsi lalu lintas untuk analisa dampak lalin, rekomendari dari Bagian Operasional (Bagops) untuk penentukan tenaga keamanan. Dan pada akhirnya, ijin dari intel Polres setempat. Hitung saja sendiri, sudah berapa meja yang harus dilewati untuk sebuah ijin kegiatan –terutama- yang berkaitan dengan kegiatan berbisnis. Hitung saja sendiri bila masing-masing meja membutuhkan berapa rupiah, berapa biaya untuk sebuah ijin kegiatan. Tahanan Tahanan kepolisian sendiri juga tetap rawan terjadi peredaran uang, kendati tidak resmi. Keluarga tersangka yang ingin keluarganya aman tanpa ‘kekerasan’, tentu akan mengeluarkan sejumlah uang keamanan. Tidak ada jaminan 100 persen bila uang keamanan ini tidak dirasakan para penjaga tahanan. Belum lagi kewenangan dalam pemeriksaan perkara. Ibarat mobil, pedal rem dan gas benar-benar dikendalikan polisi. Mau cepat ya monggo, mau lambat ya monggo. Tentunya lambat dan cepat, akan disesuaikan dengan hasil koordinasi. Banyak yang bisa digunakan untuk memperlambat atau mempercepat pemeriksaan perkara berpolemik. Mulai dari pemeriksaan saksi, tidak cukup bukti, butuh keterangan saksi ahli sampai dengan perlunya pemeriksaan bukti-bukti. Andai Anda sebagai pelapor dan dikatakan bahwa polisi masih melayangkan panggilan kepada saksi, Anda tentu hanya bisa mengangguk. Saat panggilan pertama dilayangkan dan saksi tidak datang, penyidik akan mengatakan akan melayangkan panggilan kedua. Setelah itu, penyidik akan melayangkan surat panggilan ketiga disertai dengan perintah membawa paksa. Tapi kalau ternyata yang dipanggil sudah keburu kabur, Anda tentu saja hanya bisa menelan ludah. Boleh jadi, anekdot tentang lapor kehilangan kambing menjadi kehilangan sapi, bisa saja memang terus terjadi. Atau jangan-jangan sekarang sudah berkembang menjadi lapor kehilangan kambing, hilang sapi termasuk kandangnya dan –makin terlalu- nyawa penggembalanya. Semoga saja anekdot itu tidak benar. Noor Arief Kuswadi Dimuat dalam lingkarberita.com http://www.kolom-lingkarberita.com/2012/08/sekali-lagi-soal-polisi-dan-keunikannya.html

Senin, April 02, 2012

Guyonan Politik

Beberapa waktu lalu, saya terima BBM (BlackBerry Messeger) lelucon tentang politik dari teman. Sebenarnya BBM itu sudah beberapa kali saya terima, tapi akhirnya menggelitik hati terlebih melihat perkembangan di tanah air. Karena lelucon ini berbahasa Indonesia, tentu sangat sah bila anda mencoba menghubungkan dengan yang terjadi di negeri ini. Negeri yang menurut saya semakin membuat NGERI.

Sekedar berbagi lelucon itu, inilah isi lengkap dari BBM seorang kawan saya.
Seorang anak kecil bertanya pada ayahnya :
"Ayah, dapatkah kau jelaskan apakah politik itu?"
Ayah berkata,"Nak, aku akan menjelaskan seperti ini:
Aku adalah pencari nafkah bagi keluarga, jadi sebutlah aku KAPITALIS.
Ibumu, dia adalah pengatur keuangan, sehingga kita sebut dia PEMERINTAH.
Kami disini untuk memenuhi kebutuhanmu sehingga kau kita sebut RAKYAT.
Bibi pembantu kita anggap sebagai BURUH.
Sekarang adikmu yang masih bayi, kita sebut dia MASA DEPAN.
Sekarang pikirkanlah hal ini dan pertimbangkanlah apakah ini masuk akal bagimu".
Anak tersebut masuk ke kamarnya dan memikirkan apa yang baru saja dikatakan ayahnya.

Tengah malam, dia mendengar adiknya menangis, lalu dia bangun dan memeriksanya, dan dia menemukan adiknya basah kuyup dan kotor karena adiknya pipis dan buang air besar.
Anak itu lantas pergi ke kamar orang tuanya dan melihat ibunya sedang tidur nyenyak sambil mendengkur.

Dia tak ingin membangunkan ibunya. Karenanya, ia pergi ke kamar pembantu. Pintunya terkunci, dan dia mengintip dari lubang kunci dan alamaakk... Dia melihat ayahnya sedang bercinta dengan si pembantu.

Dia menyerah dan kembali ke kamarnya.
Pagi berikutnya, anak kecil itu berkata pada ayahnya,
"Kurasa sekarang aku mengerti apa itu Politik.",
Ayah menjawab, "Bagus, Nak, ceritakan padaku pendapatmu tentang politik.",
Si anak segera menjawab, "Ketika Kapitalis sedang memanfaatkan Buruh, Pemerintah tidur, Rakyat hanya bisa menonton dan bingung melihat Masa Depan berada dalam kesulitan besar.

Saya akan mencoba menggambarkan analisa saya yang –menurut saya sih- masuk akal.

MASA DEPAN: tidak bisa menentukan dirinya sendiri. Dia sangat butuh kerjasama antara KAPITALIS dan PEMERINTAH. Tentu saja dengan mempekerjakan BURUH sebagai pelaksana dengan harapan berbagi keuntungan. Sedang RAKYAT, akan merasa tenang bila MASA DEPAN dirawat, dijaga dan diperhatikan.

KAPITALIS: namanya kapitalis, tentu dia akan mencari keuntungan pribadi tanpa banyak mempertimbangkan pihak lain. Dia akan mencari PEMERINTAH yang lemah dan tidak bisa mengawasi ulahnya. Jadi untuk urusan MASA DEPAN, sepertinya sulit berharap timbul dari KAPITALIS yang jelas akan merasa terganggu ‘keasyikannya’.

BURUH
: tentu saja bicara BURUH bicara tentang penghasilan. Bisa saja BURUH melawan kekuasaan KAPITALIS tapi dengan resiko kehilangan pekerjaan dan tidak akan merasa tidak mampu mencari makan. Tapi bisa saja BURUH membiarkan dan mencoba menikmati perlakuan KAPITALIS dengan harapan sedikit mendapat perhatian dari sang KAPITALIS. Berharap penyelamatan MASA DEPAN dilakukan oleh BURUH, tentu saja kita tidak boleh banyak berharap dari BURUH karena dia akan selalu bicara tentang penghasilan dan ketercukupan pangannya.
PEMERINTAH: jelas harusnya ini lah yang memegang kendali dalam sebuah system politik. Dia yang bertanggungjawab atas MASA DEPAN dan mengendalikan KAPITALIS serta mengawasi dan melindungi BURUH. Dia juga yag bertanggungjawab atas keselamatan RAKYAT. Tapi PEMERINTAH memang punya penyakit yang hampir sama yaitu lengah saat posisi nyaman, kebutuhan tercukupi dan keamanannya terjaga. Jadi kunci dalam politik ada di tangan PEMERINTAH.
RAKYAT: kekuatannya tidak terlalu besar walaupun RAKYAT selalu dijadikan alasan oleh KAPITALIS dan PEMERINTAH. Banyak KAPITALIS yang akan mengatakan, semua yang dilakukannya, semata-mata untuk RAKYAT. Hal yang sama juga dilakukan PEMERINTAH yang selalu bertindak mengatasnamanya kepentingan RAKYAT.

Sekarang, andai saya rakyat (dan memang benar-benar dalam posisi itu), ada beberapa hal yang bisa saya lakukan.
1. Menyelamatkan MASA DEPAN. Tentu saja, tidak akan banyak yang bisa dilakukan oleh RAKYAT yang masih lemah.
2. Menyadarkan KAPITALIS akan ulah semena-menanya kepada BURUH. Tentu resikonya, RAKYAT bakal kena semprot oleh KAPITALIS. KAPITALIS bisa marah dan meninggalkan RAKYAT yang makin tanpa harapan.
3. Membangunkan PEMERINTAH agar sadar akan tugas dan tanggungjawabnya terhadap RAKYAT, MASA DEPAN, BURUH dan mengawasi KAPITALIS. Cara ini sangat masuk akal dan paling tepat dilakukan.

Tapi kalau ternyata PEMERINTAH tak juga terbangun dari tidurnya, tidak ada salahnya kok menggulingkan PEMERINTAH hingga terjungkal. Jangan pernah takut berganti PEMERINTAH lama dengan PEMERINTAH yang baru. Karena percayalah, tidak semua ibu tiri lebih kejam dari ibu kandung.. Ups…

Jumat, Maret 23, 2012

Narkoba, Tuntutan dan Anggaran

Narkoba, sebenarnya sudah nyaris menjalar di mana-mana. Memasuki hampir semua sendi profesi dan lapisan masyarakat. Sudah pekak telinga kita mendengar mulai dari artis (bintang film, penyanyi dan komedian), politisi sampai dengan pejabat yang tertangkap karena mengkonsumsi narkoba –yang paling populer- Ineks dan shabu-shabu. Lalu apa menariknya lagi bila kasus ini terulang?

Terakhir adalah ditangkapnya Raka Widyarma, 20 thn, anak angkat dari Wakil Gubernur Banten, Rano Karno pada hari Selasa (6/3/2012) karena memesan 5 butir narkoba jenis ekstasi via online. Sebenarnya Raka bukan siapa-siapa. Dia bukan artis, bukan politisi dan bukan pejabat. Dia hanya sekali lagi hanya anak angkat dari seorang Rano Karno.

Hanya saja, nama Raka akan dihubungkan dengan Rano Karno yang pernah menjadi artis, politisi dan sekarang menjadi pejabat. Terlebih banyak orang terbayang dan menghubungkan sosok Rano Karno dengan sosok si Doel, yang diperankan Rano Karno. Sosok Doel yang tukang insinyur inilah yang sangat melekat pada sosok Rano Karno. Saya sendiri sangat yakin, kemenangan Rano di Propinsi Banten tak lepas dari sosok Doel, pemuda sederhana dan bersahaja.

Kembali ke masalah narkoba. Sebenarnya banyak jenis narkoba yang beredar di Indonesia. Dari setiap jenisnya akan kembali dibagi ke tingkat kualitasnya. Sebut saja putauw, shabu, ineks dan ganja, sudah banyak beredar di pasaran Indonesia dan menyeruak masuk di antara tempat hiburan malam. Dari sekian jenis narkoba tersebut, hanya shabu dan ineks yang menempati urutan teratas dalam jumlah konsumsi dan daya serap di pasaran.

Semakin intens polisi memeranginya, semakin unik cara pemasarannya. Awalnya, narkoba diperdagangkan secara langsung seperti jual beli permen yaitu antara pembeli dan penjual, bertemu langsung dan bertukar uang dengan ‘barang’. Tapi setelah modus ini terendus petugas dan satu demi satu, pengedarnya dibekuk, mereka pun merubah cara memasarkannya.

Ada cara yang disebut dengan ‘ranjau’. Cara ini adalah pembeli menyerahkan uang kepada pengedarnya dan ’barang’ akan diletakkan di suatu tempat. Dengan cara ini, andai sang pembeli adalah polisi yang undercover buy, akan kesulitan menemukan barang bukti. Tanpa barang bukti, tidak akan ada perkara karena polisi jelas tidak bisa menahan sang penjual narkoba tersebut.

‘Barang’ akan diletakkan di suatu tempat yang akan diberitahukan sang penjual kepada pembeli, sesaat kemudian. Tentu saja, setelah posisi penjual merasa aman alias tidak bakal terkejar lagi. Ada barang bukti tapi tanpa tersangka, tentu saja ini tidak akan menjadi perkara.

Lalu, bisnis ini kemudian menciptakan ‘penghubung’ antara pembeli dan penjual yang juga biasa disebut kurir. Celakanya, kelompok inilah yang kemudian semakin banyak jumlahnya mendekam di tahanan polisi. Kelompok yang kadang hanya ikut dalam jaringan karena keuntungan yang kecil berupa uang atau pun keuntungan kecil lainnya yaitu ikut mencicipi ‘barang’ tersebut.

Pada kelompok ini memang ditemukan cukup unsur untuk dilakukan pemeriksaan lebih lanjut. Ada tersangka, ada barang bukti. Lengkap sudah untuk diberkas kemudian dilimpahkan ke Kejaksaan lalu disidangkan. Proses penegakan hukum akan dikatakan berakhir sempurna bila kasus tersebut sudah diputuskan dalam persidangan, apapun keputusan dari Majelis Hakim.

Lalu, seiring dengan perkembangan jaman, perdagangan narkoba pun dilakukan di dunia maya. Pembelian narkoba secara online. Inilah yang terjadi pada kasus pengungkapan atas Raka Widyarma, anak angkat Rano Karno. Setelah Raka tertangkap dan diakui membeli ineks lewat jalur Online, apakah kemudian polisi berhasil membekuk penjualnya. Saya sendiri tidak terlalu yakin kalau penjualnya akan ditangkap. Kisah ini akan sama dengan ribuan kasus pengungkapan yang lainnya dimana hanya pengguna dan kurir yang diamankan polisi.

Sangat jarang –terlalu sangat jarang- bila terdengar kabar pengungkapan sebuah pabrik shabu atau pun ineks di Indonesia. Sesekali kita mendengar penggagalan upaya penyelundupan narkoba di bandara. Anehnya, kendati sudah ada yang digagalkan, toh kebutuhan narkoba di dalam negeri, tetap saja tercukupi dan tetap marak. Salahkah saya bila tetap menyakini, di suatu tempat di suatu kota di Indonesia, ada yang memproduksi shabu atau pun ineks secara massal?

Tapi jangan pernah menanyakan tentang hati nurani bila lebih banyak kurir yang mendekam di tahanan polisi. Terlepas dari beban moral dan pertimbangan kemanusiaan dan kepatutan, toh negara sudah menyiapkan senjata ampuh untuk menjerat para kurir ini dengan hukuman yang cukup lama yaitu minimal 4 tahun dan maksimal 12 tahun. Tidak itu saja, UU nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika yang merupakan perubahan dari UU Nomer 5 tahun 1997 tentang Narkoba dan Psikotropika serta penyempurnaan dari UU Nomer 22 Tahun 1997 tentang Narkotika dan menjadi UU Nomer 35 tahun 2009 tentang Narkotika, memberikan kewenangan akan hal itu.

Dalam pasal 111 dan 112 uu nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika, selain minimal 4 tahun penjara dan maksimal 12 tahun penjara, hukuman denda sudah disiapkan dijeratkan. Pidana denda paling sedikit Rp 800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah). Ruuaaaar biasa khan...?

Dengan pasal ini saja, sudah cukup untuk kepolisian menyatakan ‘say no to drug’ dalam tututan kinerjanya. Terlebih sekarang ini setiap kasus yang diungkap, negara menyediakan anggaran yang tidak sedikit. Satu Perwapu (Pertanggungjawaban Penggunaan Keuangan) dalam kasus narkoba kabarnya bernilai antara Rp 3 jutaan sampai dengan Rp 15 juta. Dengan catatan, kasus tersebut dilimpahkan ke Kejaksaan dan dinyatakan P-21 alias berkas sempurnya.

Senin, Maret 19, 2012

Preman..., Jelas Membingungkan

Sebenarnya preman adalah kata yang sudah lazim kita dengar. Operasi preman, mantan preman sampai dengan aksi premanisme. Kendati sering terdengar kata preman preman, tapi arti dan spesifikasi dari kata ini membingungkan. Kalau artinya saya sudah membingungkan, bagaimana kita bisa memberantasnya -bila dianggap meresahkan- dan mendukungnya -bila dianggap menguntungkan-.

Bila tidak percaya kalau arti dari preman masih membingungkan, coba anda tanya Wikipedia tentang preman. Di sana hanya ada 2 makna preman yaitu pengartian dari bahasa Belanda dan nama album dari Ikang Fauzy. Nah.., khan.

Saya ingin mengajak mengartikan preman yang diambil dari Bahasa Belanda -negara penjajah yang banyak mengukir aturan main di Indonesia-. Dalam Wikipedia tersebut dikatakan Premanisme (berasal dari kata bahasa Belanda vrijman = orang bebas, merdeka dan isme = aliran)[rujukan?] adalah sebutan pejoratif yang sering digunakan untuk merujuk kepada kegiatan sekelompok orang yang mendapatkan penghasilannya terutama dari pemerasan kelompok masyarakat lain.

Sangat aneh bila melihat arti preman dan premanisme walau selisih isme (aliran) yang akhirnya berjadi sangat berjauhan. Harusnya, bila ditambah dengan aliran, maknakan akan menjadi aliran orang bebas. Tapi mengapa justru premanisme diartikan dengan sosok pengompas atau tukang pukul? Sangat aneh, menurut saya.

Malah belakangan ini, kata ‘preman’ kembali mencuat mulai dari sosok Jhon Kei yang ditembak polisi dan dikaitkan dengan pembunuhan Ayung alias Tan Hari Tantono, bos PT Sanex Steel yang tewas di Swiss-Belhotel, beberapa waktu lalu. Polisi menyebutkan, dugaan motif ini karena fee jasa penagihan hutang, belum terbayarkan. Disebutkan pula oleh polisi, apa yang dilakukan Jhon Kei termasuk aksi premanisme.

Berita lain juga menyebutkan aksi penyerangan pelayat di Rumah Sakit Pusat TNI Angkatan Darat Jakarta juga hasil dari aksi premanisme. Dalam aksi tersebut, akhirnya mencuat nama Reny Tupessy, yang akhirnya berjuluk kill bill yang diambilkan dari salah satu judul film. Aksi Reny ini pun dikaitkan dengan premanisme.

Dan membicarakan preman, tentu akan muncul di benak kita sebuan nama yaitu Hercules. Nama ini dikaitkan dengan masa muda Hercules yang –lagi-lagi- dihubungan dengan aksi premanisme di kawasan Tanah Abang. Dalam masa mudanya, Hercules disebutan menjadi penguasa kawasan tersebut dan disebut raja preman. Kabarnya, Hercules sudah mengakhiri kehidupan liarnya dan memilih mendekatkan diri kepada Tuhan.

Lalu selain ketiga nama itu (Jhon Kei, Reny ‘kill bill’ dan Hercules), apakah masih ada nama preman lainnya? Kalau saya yang menerima pertanyaan itu, tentu saya akan menjawab, masih sangat banyak nama preman di Indonesia. Luar biasa banyaknya malah bila anda mau memasukkan asal disebut ‘preman’ dalam kelompok ini. Ada Tarjo, Parno, Tuji, Ronald, Bambang, Heru yang diamankan polisi di kawasan Stasiun Wonokromo Surabaya. Mereka semua terjaring dalam operasi preman oleh polisi. Atau anda bisa tambahkan nama-nama lain yang juga diamankan di stasiun, terminal di kota anda yang terjaring polisi dalam operasi preman.

Kalau anda menolak dan membantah mereka bukan preman, saya akan menjawab, kalau mereka bukan preman, mengapa mereka terjaring dalam operasi preman? Mereka itu jelas preman –bagi polisi- yang akhirnya menangkap dan mendata mereka. Lalu apa yang dilakukan polisi setelahnya? Mereka hanya didata lalu disidang tipiring (tindak pidana ringan) lalu mereka bisa kembali ke masyarakat setelah membayar denda atau pun tinggal di liponsos (lingkungan pondok sosial).

Untuk kelompok ini, apa arti dari preman bagi kepolisian. Ternyata definisi preman bagi kepolisian jauh lebih sederhana. Tanpa dilengkapi dengan kartu identitas saja sudah cukup untuk disebut preman. Malah dalam perkembangannya, para calo dalam sidang tilang sampai di loket pengurusan SIM pun, termasuk dalam kelompok preman versi polisi.

Padahal tidak punya KTP, sangat berhubungan erat dengan administrasi kependudukan. Kaum urban di kota besar pun akan mengalami masa menjadi ‘preman’ bila dia lama tidak pulang kampung dan mengurus bukti kependudukannya. Sedang untuk melebur menjadi warga kota, tentu dibutuhkan surat keterangan pindah dari asal.

Untuk calo. Apakah pekerjaan ini haram? Kalau tidak diharamkan, mengapa undang-undang manusia kemudian melarangnya dan memberi label ‘preman’ yang sangat menakutkan? Sangat tidak adil bila calo yang keberadaannya dibutuhkan oleh orang-orang yang sibuk dan dipekerjakan secara kesepakatan, harus diperangi.

Tentang premanisme, harus dipahamkan terlebih dahulu tentang makna dari preman dan premanisme. Apakah yang disebut premanisme adalah hal yang sedang atau telah dilakukan oleh 3 tokoh besar preman (Jhon Kei, Reny ‘Kill Bill’ dan Hercules) atau termasuk apa yang dilakukan oleh orang tanpa identitas tersebut. Dari sana lah, baru bisa dilakukan langkah untuk menanganinya. Baik itu memerangi –bila dianggap merugikan- atau pun menumbuhkembangkan –bila dianggap- menguntungkan.

Sekedar menambahkan saja koleksi arti dari preman yang tidak dijelaskan dalam Wikipedia. (Seragam) preman adalah baju putih, dasi merah dan celana hitam untuk seorang reserse dan dasi hijau tua untuk intel di lembaga kepolisian. Nah tentu arti preman bila dikaitkan dengan seragam (baju) ini akan semakin membingungkan orang tentang makna ‘preman’.

Sedang dalam Wikipedia, arti preman yang kedua adalah nama sebuah album lagu Ikang Fauzy di tahun 1987. Album ini sangat laris di era itu dan saya masih duduk di kelas 1 SMP. Sekedar mengingatkan saja, inilah syair dari lagu tersebut.

Pak cik pak pak..

preman preman oh oh..

Pak cik pak pak metropolitan
Pak cik pak pak..
preman preman oh oh..
Pak cik pak pak metropolitan..

Dari lorong-lorong yang sempit..
dalam kehidupan malam..
s'lalu siaga..
Setiap saat selalu sigap..
terjang bahaya..
Siapapun dihadapinya..

Sini preman, sana preman..
sedang beraksi..
Wajah dingin dan seram..
siap menerkam..
Jangan kau coba, kawan..
cari perkara..
Sejurus berarti petaka..
aaaaa....oww!..

Di zaman resesi dunia..
pekerjaan sangat sukar..
juga pendidikan..
Di sudut-sudut jalanan..
banyak pengangguran..
Jadi preman..
'tuk cari makan..

Di balik wajah yang seram..
tersimpan damba kedamaian..
Di balik hidup urakan..
mendambakan kebahagiaan..Bahagia...bahagia...bahagia...



Terakhir, titip saja ada ganjalan dalam hati saya tentang sebuah pertanyaan. Melihat arti dari syair lagu ini, mengapa waktu itu tidak dilarang beredar oleh pemerintah? Padahal di era yang sama, lagu Hati yang Luka oleh Betharia Sonata dilarang karena sangat cengeng. Apa artinya pemerintah lebih mendukung aksi ‘preman’ daripada ‘Hati yang Luka’?