Jumat, Maret 18, 2011

Kamu Ingin jadi Wartawan, Nak?.....Plak...!!!

Dalam beberapa kali diberi kepercayaan menularkan ilmu yang saya punya dalam pelatihan jurnalistik di tingkat mahasiswa maupun SMA, saya selalu mengatakan hal ini. Beberapa kawan karib saya malah sudah hafal dengan cerita saya ini. Sebuah cerita yang sangat mungkin akan benar-benar saya lakukan, kelak.
Anda boleh bilang ini nadar atau apa, terserah. Yang jelas, kelak saat anak lelaki saya sudah cukup dewasa untuk menentukan langkah dan cita-citanya, tentu dia sudah memilih pekerjaan atau profesi apa yang diinginkannya.
Bila karena sepanjang hidupnya, di depan mata setiap harinya melihat pekerjaan saya sebagai wartawan, bisa jadi pekerjaan ini juga akan terlintas dalam benaknya. Di depan matanya, sejak kecil, dia sudah melihat semua hal terkait dengan pekerjaan saya.
Berangkat kerja di jam yang tidak sama. Kadang fajar dan kadang pula siang atau pun menjelang sore. Pulang juga tidak pada jam yang pasti, kadang sore sudah pulang kadang malam atau malah menjelang pagi, saya baru pulang.
Atau kombinasi antara jam berangkat dan jam pulang yang juga jelas tidak pasti itu. Kadang saya berangkat pagi dan pulang menjelang fajar dan kadang saya berangkat sore dan pulang sebelum tengah malam. Pekerjaan dengan jam kerja yang tidak jelas dan tidak menentu ini sudah saya jalani –sampai sekarang- lebih dari 11 tahun.
Karena pekerjaan yang tampak dan dipahaminya dengan baik adalah pekerjaan saya sebagai wartawan, sangat mungkin anak lelaki saya pun akan meniru dan ada keinginan dia untuk menirunya. Sangat masuk akal bila dia pun akan mengatakan keinginannya sebagai wartawan, meneruskan jejak pekerjaan saya.
Sesaat dia menjawab ingin jadi wartawan, maka saya akan melayangkan tangan saya menamparnya. Lalu pertanyaan tentang cita-citanya, kembali akan saya tanyakan lagi. “Setelah Ayah tampar kamu, sekarang bilang ke Ayah. Apa cita-citamu, nak.”
Kalau dia masih bertahan dengan cita-citanya sebagai wartawan, tentu saya akan memeluknya. Sejak itu, tentu saya akan persiapkan dia dengan sangat baik untuk menjadi seorang wartawan yang layak. Tentu, pengalaman selama menjadi wartawan, akan saya gunakan untuk melatih dia agar benar-benar siap bekerja sebagai wartawan.
Bisa jadi akan banyak tugas yang akan dilakukannya. Mulai dari berdesakan di konser musik dengan target mengambil foto artis, ikut kampanye dengan target wawancara dengan juru kampanye, tidur di kamar mayat dan kantor polisi serta hadir di komunikas seni dan sastra. Nyaris, sejak itu, dia akan banyak kegiatan agar semuanya siap bila kelak dia menjadi wartawan.
Tapi bila dia merubah cita-citanya setelah saya tampar, tentu saja tetap memeluknya. Saya akan minta maaf dan membisikkan kalimat,” nak, kamu tidak punya mental menjadi wartawan. Tamparan ayah tadi hanya ingin menguji keteguhan hatimu saja. Kalau begitu, kamu pikirkan lagi dan pilih cita-citamu. Ayah tetap mendukung cita-citamu.”
Pekerjaan saya ini cukup beresiko berhadapan dengan hal seperti itu. Banyak pekerjaan lain yang dengan bangga mencantumkan alamat rumah dalam kartu namanya, tidak dengan pekerjaan saya ini. Tidak banyak wartawan yang berani mencantumkan alamat rumahnya pada lembaran kartu nama mereka. Dan saya benar-benar tidak berani mencantumkan alamat rumah saya.
Jujur, ada niatan tersembunyi, saya harus menuliskan cerita ini dan mengabarkan ke banyak orang. Saya berharap, anak lelaki saya membaca tulisan ini dan menjadi pertimbangan menentukan cita-citanya. Sehingga saya tidak perlu menamparnya karena jujur, saya sendiri tidak pernah menghalalkan tangan saya untuk menampar siapapun. Apalagi darah daging saya sendiri.