Rabu, Agustus 28, 2013

Kiai Talkeh



Beberapa hari ini saya membaca berita tentang eker-ekeran antara Solmed (maaf-bila tanpa sebutan kiai atau ustadz) dengan buruh migran di Hongkong. Sebuah rencana pengajian yang sedianya digelar di negeri rantau yang akhirnya kacau balau. Entah apa penyebabnya, yang jelas yang mencuat ke permukaan adalah tentang honor yang harus disediakan panitia di Hongkong untuk si solmed (yang sekilas pengucapannya mirip soulmates yang artinya belahan jiwa
Status yang digambarkan pada solmed adalah sosok ulama/penceramah/pendakwah atau kata lain yang bermakna orang yang menyiarkan ajaran agama (Islam). Dalam benak saya yang dibesarkan di sebuah kota kecil, tentu bayangan tentang pendakwah jauh berbeda dengan apa yang saya lihat pada sosok Solmed.
Dari tampilan saja, antara pendakwah di kampung saya dan Solmed, jauh berbeda. Pendakwah di kampung saya dan tempat saya mengaji, sangat sederhana. Untuk pengajian, digunakan teras rumahnya.
Baru beberapa tahun terakhir, saya melihat ada bangunan di halamannya dan digunakan untuk mengaji. Kurikulum tentang TPA (Taman Pendidikan Al-Qur’an) membuat guru mengaji saya, berbenah dan memperbarui metode pengajarannya. Dulu, semasa saya, belajar mengaji iku dengan turutan dan kini mereka sudah menggunakan buku dengan metode baru dengan nama Iqro’. Tapi bagi saya sama saja. Baik dengan turutan maupun dengan Iqro’, kesan sederhana masih kental terasa.
Membandingkan dengan Solmed, tentu saja bak membandingkan bumi dengan langit. Bak membandingkan ketimun dengan durian. Jauh banget lah. Dari penampilan luar, jelas sudah berbeda. Dan belakangan terungkap kalau dibandingkan pada jati diri dan cara menyiarkan agamapun, jauh beda.
Celakanya, belakangan ini semakin banyak saya ustadz yang mirip artis. Saya tidak tahu apakah ini karena persegeran media mereka berdakwah yang dulu hanya dari radio dan dari mimbar pengajian, kini mulai merambah televisi. Hebatnya lagi, sajian rohani seperti pengajian sudah menjadi acara wajib di setiap televisi dan mengundang rating yang cukup bagus. Saya jadi curiga, apakah sudah sedemikian dahaganya kita akan acara siraman rohani?
Atau acara tersebut awalnya adalah acara wajib sekedar gugur kewajiban. Tapi karena ternyata mengundang iklan dan rating yang bagus, akhirnya acara wajib ini menjadi acara bisnis yang mendulang rupiah cukup tinggi. Akhirnya... pengisi acara pengajian tersebut lambat laun menjadi sosok bak artis. Mereka memainkan peran sesuai dengan ciri khasnya. Ada yang bergalay alay, cool sampai dengan ustadzah yang sangat khas cara tertawanya. Hmmm..
Tentang harta mereka. Woowww... jangan ditanya lah. Dari rating acara plus dijadikan model iklan, tentu saja mereka sangat layak dalam bidang harta. Dibandingkan dengan ulama di kampung saya, tentu saja jauh banget. Bayangkan, mereka punya rumah yang mewah, kendaraan mewah pula. Dengan harta begitu, gak mungkin khan bila di kas mereka hanya terisi uang ratusan ribu?
Saya jadi inget guyonan tentang sosok ini. Ada 2 macam kiai yang ada di sekitar kita. Satunya kiai SHOHEH yang harus dan wajib kita jadikan panutan. Satunya lagi adalah.... kiai TALKEH alias nguntale okeh alias makannya banyak. Doanya pun terdengar aneh... kulo iwake njenenan balunge nggih... (saya ikannya, anda tulangnya ya..).