Minggu, November 06, 2016

Tembak Ban ternyata Tanpa Tembakan


Salah satu jenis kejahatan adalah kejahatan yang dikenal dengan istilah tembak ban. Ciri-ciri korban kejahatan ini adalah ban mobil –biasanya belakang kiri- gembos perlahan. Saat korban sibuk mengganti ban, saat itulah sang bandit beraksi. Dengan gerakan cepat, sang bandit membuka pintu mobil dan mengambil tas atau pun barang yang bisa diambil cepat lalu kabur.
Kendati dinamakan tembak ban, tapi dalam kejahatan jenis ini tidak pernah ada tembakan. Malah tidak ada peluru ataupun sesuai yang diletupkan oleh alat peluncur. Entah darimana penyebutan istilah untuk kejahatan ini sampai disebut dengan bandit tembak ban. Karena disebut tembak ban, saya akan gambarkan seperti apa pelurunya.
Asal anda tahu, peluru yang digunakan dalam aksi ini adalah pemanfaatkan besi penyangga pada payung. Boleh anda lihat pada payung, ada jari penyangga yang berbentuk U. tidak panjang, hanya sekitaran 15 cm saja. Tapi itu lebih dari cukup karena yang dibutuhkan hanya sepanjang kurang lebih 5 cm saja.
Potong jari penyangga yang berbentuk U sepanjang 5 cm dan rapatkan sisi yang terbuka hingga akan tercipta lubang berbentuk segitiga. Runcingkan salah satu ujungnya. Dan.., peluru pun siap digunakan beraksi. Peluru ini akan hilang seiring dengan aksinya. One shoot one kill. Satu peluru untuk satu korban.
Lalu bagaimana dengan cara menembaknya?
Ada dua cara untuk menancapkan peluru tersebut pada ban dan membuatnya kempis secara perlahan. Dua cara tersebut untuk dua posisi mobil yang berbeda. Satunya untuk mobil yang parkir dan satunya lagi untuk mobil yang berjalan. Tentu mobil yang diincar adala mobil yang parkir di pelataran bank atau mobil yang baru saja keluar dari areal bank. Tentu, kedua mobil ini diyakini membawa uang dengan jumlah yang cukup.
Untuk mobil yang sedang parkir, peluru akan disamarkan ke dalam stereofoam. Peluru ditancapkan ke dalam steorofoam dengan ketebalan yang cukup hingga peluru tidak tampak. Pasang stereofoam dengan posisi ujung yang runcing berada di atas dan mepet di ban belakang sebelah kiri mobil yang parkir. Bekas rokok putih –tanpa cengkeh- yang biasanya lebih tebal, juga bisa dimanfaatkan untuk ini. Tentunya dengan sedikit meremas kemasan rokok agar terkesan seperi sampah.
Saat mobil mundur keluar parkiran, stereofoam berpeluru tersebut akan terlindas. Dengan cara itu, peluru akan menancap di ban dan sejak itulah, angin akan keluar perlahan. Sekeluarnya mobil dari areal parkiran, dipastikan kawanan bandit sudah siap membuntutinya. Sampai di suatu tempat, ban akan kempes dan membuat korbannya lengah.
Secara serampangan sang korban berhenti untuk mengecek ban atau pun malah mengganti ban. Saat itulah, sang bandit yang sejak tadi terus membuntuti, langsung beraksi. Mereka sudah merencanakan dengan sangat baik untuk saat ini.
Beberapa sindikat malah memasang jarum di bank untuk menentukan korbannya. Tapi untungnya, sekarang di ruang tunggu bank, sudah terpasang CCTV. Cukup efentif untuk menciutkan nyali pada bandit. Walaupun, kendatipun ada rekaman CCTV tentang orang-orang yang dicurigai, belum cukup banyak membantu. Di Indonesia, belum bisa mengenali catatan kejahatan seseorang hanya dari wajah seseorang atau rekaman gambar tentang seseorang.
Cara kedua menembakkan peluru pada mobil yang berjalan. Untuk cara ini dibutuhkan 2 orang yang berboncengan motor untuk mencari sasaran sekaligus menembakkan peluru. Satu syarat utamanya adalah yang duduk di jok belakang harus mengenakan sandal jepit karena dengan sandal inilah, peluru akan ditembakkan.
Peluru yang berasal dari besi kerangka payung yang sudah dimodifikasi runcing, dipasang di sandal jepit. Untuk menyamarkan, peluru ditusukkan ke sandal kanan pada posisi antara jari kaki. Jadi saat sandal dikenakan, peluru akan tersamar oleh jari-jari kaki. Setelah terpasang, peluru siap ditembakkan, tinggal mencari mobil yang diincar.
Sasarannya adalah mobil yang baru saja keluar dari bank atau diincar karena terlihat tas ‘menarik’ di jok depan. Mobil tanpa film kaca membuatnya mudah diintip jeroannya oleh para pelaku dan mengincarnya.
Setelah menentukan pilihan calon korban, selanjutnya adalah membuntuti sampai mobil incaran berhenti di lampu merah. Saat itulah, peluru akan ditembakkan. Caranya, saat mobil calon korban berhenti, motor pelaku akan berhenti dengan posisi sejajar dengan mobil dan pelaku yang duduk di jok belakang, persis di samping roda kiri belakang.
Dengan sikap seakan-akan membantu menyangga motor, pelaku di jok belakang akan menurunkan kaki kanan dan memasang sandal di depan ban kiri belakang. Saat itu, pelaku memundurkan kakinya hingga hanya menginjak tengah atau ujung belakang sandal. Ini untuk menahan sandal tidak tebawa ban saat peluru dilindas.
Setelah berhasil menancapkan peluru, langkah selanjutnya tinggal membuntuti mobil incaran hingga berhenti di tempat sepi. Korban mengecek ban atau menggantinya adalah kesempatan yang ditunggu bandit jenis ini untuk beraksi.
Biasanya, setelah ban kempes, pelaku atau sindikatnya akan menyalip korban sembari memberitahukan ban mobil yang kempes. Tentunya, ini dilakukan saat kondisi jalan sepi dan dirasa memungkinkan untuk beraksi.
Satu-satunya cara menghindar bila sudah diincar dan ban kadung tertembak, berhenti di keramaian. Syukur-syukur bisa menemukan pos atau kantor polisi. Cara ini sangat efektif untuk mengendorkan nyali dan niat mereka beraksi.
Tapi tentu saja, saya yakin para pelaku tidak hanya menyiapkan satu peluru dalam aksinya. Perhitungan sederhana saya saja, dengan 1 payung bekas saja, pelaku bisa menyiapkan sedikitnya 50 peluru yang dibuat dengan alat sederhana. Tang dan gunting kawat atau pun gerindra untuk menajamkannya.

Jumat, November 04, 2016

Saku Kiri itu Anticopet

Saya terbiasa menyematkan dompet di saku belakang sebelah kiri celana jeans. Sedikit tak lazim memang, karena kebanyakan, orang menyelamatkan dompet di saku kanan saat mengenakan celana jeans. Tentu bukan tanpa alasan saya sudah lebih dari 5 tahun terakhir, melakukan hal yang lazim tersebut.

Beberapa teman saya yang awalnya mengetahui kebiasaan tak lazim ini, penasaran dan menanyakan kepada saya. Mereka mendesak beberapa kali hingga saya pun harus menjelaskan kepada mereka, tentang apa yang membuat saya mengganti dompet di saku kanan ke saku kiri.
Malah untuk menggambarkan semuanya, saya harus mempraktekkan cara pencopet beraksi. Secara teori, saya memang bisa mempraktekkan cara mencopet. Tapi secara nyata, saya tidak pernah mempraktekkan karena memang aksi copet sangat jarang dilakukan secara mandiri atau perorangan.
Dari beberapa pengalaman wawancara dengan para pencopet dan beberapa kali meminta mereka memperagakan cara beraksi, saya kemudian mengambil keputusan mengganti lokasi dompet saat mengenakan celana jeans. Dari pengalaman, saya belum pernah melihat copet yang kidal. Hampir semuanya selalu beraksi dengan tangan kanan.
Dari peragaan yang dilakukan para pencopet di depan saya, ada dua cara mengeluarkan dompet dari saku sebelum kemudian diambil dan dioper ke komplotan lain. Cara pertama adalah mendorong dompet dengan lutut dan satunya dengan tangan kiri.
Setelah dompet nongol dan cukup untuk ditarik, pencopet akan melibatkan komplotannya untuk mengalihkan perhatian korban dengan memepet atau pun mendorong. Saat itulah, dengan kecepatan tangan yang terlatih, dompet korban bisa diambil dan dioper ke komplotan lain guna menghilangkan jejak. Dalam aksinya, komplotan pencopet melibatkan antara 3-4 orang untuk mengoper hasil copetan sekaligus menyamarkan barang bukti.
Dua cara mengeluarkan dompet baik dengan dorongan lutut ataupun dorongan tangan, dilakukan dalam posisi pelaku beriringan di belakang korban. Artinya, -normalnya- karena posisi dompet di kanan, pelaku bisa beraksi tanpa terlihat karena tertutupi dengan badannya. Hal ini akan berbeda dengan bila posisi dompet di sebelah kiri. Tentu pelaku akan mencolok bila memaksakan diri mendorong dompet korban dengan lutut kanan ata pun dengan tangan kirinya. Posisi dompet korban yang ada di sisi kiri dan posisi pelaku yang menyerong, akan membuka aksi tangannya terlihat.
Tentu ini resiko yang tidak bisa diambil oleh pelaku. Seandainya para pelaku memaksakan diri hendak mencopet, tentu dia butuh 1 komplotan lain yang berdiri di belakang korban. Tugas komplotan tersebut hanya untuk menutupi aksi tangan sang eksekutor copet.
Apakah saku kiri benar-benar aman dari pencopetan? Sebenarnya tidak juga sih. Di keramaian konser musik, aksi copet lebih beragam. Saat konser musik yang disesaki penonton, saku kiri saku kanan tetap saja rawan. Malah di keramaian ini, tas yang tertutup dan menempel di badan ku, bisa kebobolan.
Biasanya, pencopet yang memanfaatkan keramaian massal ini malah melengkapi diri dengan cutter. Bukan untuk mengancam korban tapi lebih pada merobek tas korban yang diperkirakan berisi barang layak copet. Biasanya, korban copet di konser ini, kebanyakan terlihat menerima telepon atau sempat terlihat memasukkan dompet atau sarana komunikasi ke dalam tasnya.
Aksi menyimpan ini terlihat komplotan copet di dekatnya dan mereka pun segera beraksi. Mengepung korban, mengalihkan perhatian, merobek tas dan mengambil incaran baik HP maupun dompet. Setelah berhasil, mereka mengoperkan hasil jarahan beberapa kali ke komplotannya kemudian berpencar tapi tidak berjauhan.
Setelah melihat calon korbannya lagi, mereka kembali beraksi yaitu mengepung korban, mengalihkan perhatian, merobek tas dan mengambil incarannya. Aksi tersebut akan dilakukan beberapa kali selama konser musik atau pertunjukkan massal. Tidak banyak aksi copet yang memanfaatkan keramaian massa ini yang tertangkap.
Ini karena mereka melibatkan banyak sindikat dan barang bukti dioper beberapa kali. Bisa jadi, saat korban menyadari kehilangan dan teriak, dompet atau HP nya sudah berada jauh darinya. Dioperkan ke beberapa komplotan hingga pelaku yang bertindak sebagai eksekutor, tidak kedapatan membawa BB alias barang bukti. Sedikit pencopet yang berhasil tertangkap karena memang BB sudah menghilang alias dioperkan.  Kecuali aksinya tertangkap tangan dan BB masih belum sempat dioper ke pelaku lain.
Hanya saja, ada yang sedikit mengganjal saya bila mengingat kebiasaan menyelamakan dompet di saku kiri celana jeans. Saat saya memulai keputusan menyematkan dompet di saku kiri, ada tulisan investigasi sebuah harian di Surabaya. Saat itu dalam tulisan bersambung selama satu minggu, mengulas geliat gigolo di Surabaya.
Dalam tulisan tersebut, dikupas mulai dari cara transaksi gigolo, tempat mangkal, tarif serta seabreg hal-hal lainnya terkait dunia gigolo, penjaja pemuas birahi untuk para wanita kesepian dan butuh hiburan. Kebetulan karena memang materinya menarik, saya mengikuti tulisan tersebut sejak seri pertama.
Tapi menjelang seri terakhirnya, media tersebut mulai membahas ciri-ciri atau kode yang digunakan gigolo dan untuk acuan para tante girang mengirimkan ajakan kencannya. Beberapa kode yang dipakai gigolo saat itu adalah menetakkan rokok berdiri di atas meja bila sedang duduk di cafĂ©, mengenakan cincin di jari tertentu, menyelipkan sapu tangan di saku depan celana jeans dan……. menyematkan dompet di saku belakang kiri celana jeans yang dikenakan.
Kendati demikian, karena pertimbangan keamanan diri sendiri, saya tetap memutuskan meneruskan tradisi baru tersebut yaitu menyematkan dompet di saku kiri. Toh seandainya disangka gigolo, tidak terlalu merugikan bagi saya.
Hmmm… tidak terlalu merugikan memang. Atau bisa-bisa malah bisa lebih menguntungkan. Bayangkan seandainya ada …. yang masih melihat dompet kiri saya kemudian menghampiri dan mengajak ….. Mana bisa saya menolaknya? (*)

Rabu, Oktober 05, 2016

Istimewakah Cinta?



Cinta. Banyak makna yang terkandung di dalamnya. Ada yang memberi makna cinta dengan Cerita Indah Namun Tiada Akhir atau cinta adalah bahasa yang mendunia. Tapi benarkan cinta masih sesuci itu? Benarkah cinta yang ada sekarang ini sesuci cinta Kaisar Mughal Shah Jahan untuk istri tercintanya, Mumtaz  dengan membangun Taj Mahal di India.
Atau kisah romantis Romeo Yuliet, atau kisah pewayangan Rama dan Shinta.
Sekarang, cinta nyaris kehilangan makna. Cinta tumbuh liar di hati para belia. Mereka mulai merasakan cinta sejak di usia dini, usia dimana mereka semestinya masih belajar dan bermain. Para belia ini sudah merasakan cinta dan rasanya bercinta. Duh..
Cinta juga sudah membutakan hati para belia. Mereka mengabaikan masa depan yang masih membentang dan memilih mengumbar naluri seksualnya secara serampang. Sebagian di antara mereka malah sudah menjadikan percintaan sebagai ajang bisnis. Saya lebih suka menyebut ‘Cinta Bertarif’ sebagai plesetan sebuah judul film -Cinta Bertasbih- untuk istilah ini.
Gadis belia malah mulai liar dan memanfaatkan nafsu lelaki dewasa yang gila dengan kemolekan dan kepolosan tubuh bocah, untuk urusan finansial. Hasilnya, transaksi cinta bertarif pun selalu ada, walaupun banyak sudah yang terungkap dan ditangkap. Matikah cinta bertarif ini. Tidak, dia tetap tumbuh dan berkembang liar di sela-sela kehidupan.
Edannya, kadang demi cinta bertarif, perkelahian tak bisa dielakkan. Di Blitar, beberapa tahun lalu, seorang polisi berpangkat perwira menengah (pamen), terlibat dalam pembunuhan hanya karena purel yang selama ini menjadi kekasih gelap sang pamen, berpaling cinta.
Yang terbaru adalah dua purel di Tulungagung, Arin Istriadi (23), warga Desa Kamplok, Kawedanan, Magetan yang berkelahi dengan Mega Sukma Putri Pamilu (17), warga Jalan Kepunden, Pakisaji, Malang, pada Minggu (18/9/2016). Pemicunya, rebutan lelaki tajir yang menjadi langganan kencan mereka.
Padahal dalam dunia cinta bertarif, uang adalah segala-galanya. Siapa yang bisa bayar lebih, akan mendapat pelayanan lebih pula. Saya jadi ingat komentar seorang kawan yang sering menghabiskan malam di tempat hiburan malam tanpa ditemani purel atau ladyscot atau pemandu lagu. “Jangan pernah percaya sapaan sayang di tempat hiburan. Palsu semuanya,” katanya.
Motif yang mirip, juga terjadi di Situbondo pada Selasa (20/9/2016). Diduga terbakar api cemburu, Suharsono (35), warga Kelurahan Dawuhan, Situbondo, duel dengan Nur Sarah (39), tetangganya. Kasusnya pun masih dalam penyelidikan petugas kepolisian setempat.
Jadi apakah cinta masih sangat istimewa? Masih adakah yang mengagungkannya dengan seagung-agungnya? Masih adalah yang mencintai dengan apa adanya dan dengan segala resikonya? Jelas lah, golongan ini ada dan tetap memberi makna indahnya cinta.
Secara ekstrim, saya malah menilai bahwa sepasang suami istri yang kompak melakukan tindak kejahatan, adalah bukti agungnya cinta mereka. Saat segala jalan bertahan sudah buntu, pilihan terakhir adalah melanggar hukum dan dilakukan bersama-sama.  Indahnya cinta.
Tentu penilaian saya di atas, masih perlu diperdebatkan. masih perlu dipertanyakan dan masih perlu diuji ditelitikan. Saya tidak perlu itu semua karena ini adalah penilaian saya. Anda mau menilai berbeda, monggo saja.
Hanya saja, saya ingin menyampaikan kepada para pengagung cinta dan para pengingkar cinta. Kalimat yang sering diucapkan siluman babi Pat Kay dalam kisah Kera Saksi Mencari Kiab Suci, pas untuk para pengagung cinta dan pengingkar cinta.
Dalam kisah tersebut, diselipi kisah cinta 1000 kali reinkarnasi Si Pat Kay dan selalu mengalami kegagalan. Pat Kay bisa jadi adalah kisah kesialan dari segala percintaan. Mau tahu kalimat Pat Kay tentang cinta?
Cinta, penderitaan tiada akhir. (*)

Antara Hajatan dan Hujatan



Bulan ini adalah bulan Dzulhijah atau di penanggalan Jawa dikenal dengan Bulan Besar. Bulan yang diyakini adalah bulan baik untuk menggelar pernikahan, sunatan ataupun pindahan rumah. Sebulan sebelumnya, di penanggalan Jawa disebut bulan Selo atau bulan Dzulkaidah. Bulan selo yang dalam arti Jawa adalah lubang yang menganga pada tanah tandus, diyakini bulan yang buruk untuk hajatan.
Saya jadi ingat dengan hajatan anak saya, sekitar 10 tahun lalu. Saat itu saya mertua saya yang diyakini bisa menghitung hari baik, masih belum meninggal. Sebagai menantu –semata-mata menghormati-, saya pun minta dicarikan hari baik untuk hajatan anak saya. Secara pribadi, saya tidak ingin dianggap anak (menantu) yang lancang kepada orangnya.
Hanya saja, saya sebelumnya sudah mengajukan syarat untuk hari baik yang saya minta. Apakah itu? Hari baik yang saya minta adalah bulannya terserah, asal hari akhir pekan dan awal bulan masehi. Pertimbangan saya sederhana. Seluruh teman saya bergaji berdasar penanggalan Tahun Masehi, bukan Hijriah.
Tapi resiko dianggap sebagai bulan baik, di bulan yang juga dibarengi dengan Idul Adha dan ibadah haji, banyak yang menggelar hajatan. Bagi yang punya banyak relasi dan kenalan, bisa jadi bulan ini adalah bulan yang berat untuk anggaran buwuhan. Syukurlah, bulan ini saya hanya dapat undangan dari 2 teman baik saya.
Tapi apakah ini bulan berat hanya bagi yang punya banyak kenalan? Tidak. Saya yang hanya mendapatkan 2 undangan saya, masih merasakan berat yang lain akibat kebaikan bulan ini. Bulan ini juga bulan yang berat bagi orang-orang yang menghabiskan hari-hari siang dan malamnya di jalanan. Kenapa?
Ya karena banyaknya orang menggelar hajatan, membuat banyak jalan dan gang yang ditutup total untuk lokasi terop. Resikonya, bila ingin melintasi, kita harus merubah rute yang biasanya disediakan oleh keluarga yang berhajat. Kadang kita dilewatkan lorong yang lebih kecil dan di sela-sela rumah penduduk. Bagi yang berkendara roda dua, sudah membuat sulit apalagi yang mengendarai roda empat. Tentu kesulitannya bila kadung berhadapan dengan jalan ditutup karena hajatan, harus putar balik dan melingkar ke jalan yang lebih jauh.
Saya sendiri sering menghujat dalam hati bila melihat terop menutup seluruh badan jalan. Ini karena kadang saya harus berburu dengan waktu janjian dengan teman atau pun jadwal kantor. Seandainya, mereka menyisakan sebagian ruas jalan dan ditambah dengan pengatur lalu lintas, saya yakin tidak bakal hilang kemeriahan hajatan mereka.
Saya malah bisa memastikan, hajatan akan lebih meriah tanpa diselingi dengan hujatan pengguna jalan yang terpaksa menggerutu karena arusnya dialihkan ke jalur yang tak jelas. Kendatipun harus antri dan sedikit bersabar, pengguna jalan akan memaklumi bila diatur bergantian melintas di samping terop. Bayangkan, bila pengguna jalan terlanjur masuk ke ruas jalan dan terhenyak saat melihat larangan dilarang masuk dan dijaga hansip kampung. Terpaksa dia harus memutar dan tentu saja diselingi dengan gerutuan dan hujatan.
Jadi, bila Anda hendak punya hajat, silahkan gunakan jalan di depan rumah anda. Tapi sisakan sekedar untuk lalu lintas pengguna jalan, bukan hanya undangan hajatan anda. Silahkan berhajad, jangan biarkan kami mengumpat dan menghujat. (penulis adalah Wartawan Harian Pagi Memorandum)

Dimas Kanjeng,Antara Peka dan Pekok



Penangkapan Pimpinan Yayasan Padepokan, Dimas Kanjeng Taat Pribadi, warga Probolinggo pada Kamis (22/9/2016) pagi, menghentak dan menyentak warga Jawa Timur. Pasalnya, informasi lelaki tambung yang dikenal bisa mendatangkan uang secara gaib ini sudah mengular dari getok tular, dari mulut ke mulut.
Anda bisa menemukan beberapa puluh video tentang atraksi Dimas Kanjeng di youtube.com. Di sana, Anda akan melihat tayangan video tanpa editan, tanpa putus tentang cara Dimas Kanjeng mengeluarkan uang dari balik tubuhnya. Dalam setiap video, Dimas Kanjeng yang pernah dikukuhkan sebagai raja ini selalu dalam posisi duduk dan mengambil uang dari balik badannya.
Logika saya, tidak ada cara cepat menjadi kaya seperti yang ditunjukkan Dimas Kanjeng. Saya memang dilahirkan dari keluarga sederhana dan dari desa kecil. Saya terbiasa kerja keras untuk kaya, bukan main sihir. Sopo obah bakal iso mamah (siapa yang mau berusaha, akan mendapat rejeki). Sederhana. Ya memang hidup itu sederhana kok. Nafsu saja yang mempersulitnya.
Kembali ke Dimas Kanjeng. Dengan ulah sihir yang memukau, dia merayu orang-orang pemalas yang mau kaya tanpa berusaha. Dalam benak para pemalas, mereka tinggal duduk di depan Dimas Kanjeng dan mengumpulkan hujan uang di depannya.
Sekali lagi, saya pake logika saya. Cara sihir dan promisi yang sangat persuasif, bisa membuat banyak orang terpedaya. Harusnya inilah yang menjadi tanda bahaya bagi pihak yang waspada. Siapa? Ya tentu saja adalah polisi, pemerintah daerah sampai dengan para TNI.
Tentu saja, mereka semua dibayar oleh uang rakyat untuk memberi perlindungan, bukan pembiaran tampilan ataupun sajian-sajian semu semacam Dimas Kanjeng. Harusnya, mereka inilah yang mengedepankan akal pikir dan logika normal untuk aksi-aksi semacam ini.
Aksi semacam uang ghaib, penangkapan jenglot, tuyul yang terperangkap dalam toplos dan mulai meresahkan masyarakat, harusnya segera diantisipasi. Perusahaan yang memberikan janji keuntungan di luar nalar pun harusnya sudah bisa diantisipasi. Berdalih tidak ada korban dan belum ada laporan, semestinya tidak menjadi tameng dari aksi pembiaran tersebut.
Sepanjang yang saya tahu, ada istilah 3 pilar di tengah-tengah masyarakat kita. Tiga pilar yang merupakan unsur gabungan dari polisi, TNI dan pemerintah daerah melalui Pol PP ini diharapkan menjadi ujung tombak pelayanan dan perlindungan keamanan masyarakat. Asal anda tahu, 3 pilar tersebut ada di setiap kelurahan/desa di Jawa Timur.
Dengan analog ini, saya sangat yakin bila 3 pilar tersebut sangat menguasai tipografi dan karakteristik masyarakat desanya. Tiga pilar inilah yang seharusnya mampu mengendus segala peluang keresahan masyarakat saat masih berada di level rendah. Ketiga pilar tersebut saya yakin terlatih dan terdidik secara logika. Tidak ada cara kaya mendadak kecuali dengan merampok bank dan menguras isi brankasnya. Cara sihir dan bisnis, sangat mustahil.
Melihat kemampuan para pilar di tingkat lebih tinggi, mereka punya pasukan intel baik di kepolisian maupun di TNI. Mereka ini harusnya bisa mendeteksi lebih awal ancaman gangguan keamanan dan ketertiban. Tentu anda pernah mendengar hebohnya kasus Pohonmas yang menjanjikan bisnis MLM (Multi Level Marketing) dengan bonus umroh, sekitar 10 tahun lalu. Itu menjadi besar dan meresahkan karena tidak ada antisipasi dari para pilar yang menjaga rasa aman masyarakat.
Kalau hal meresahkan ini kembali terulang dan terulang lagi, terserah anda memberi penilaian. Apakah mereka ini peka atau pekok? (*)

Nb: Pekok: bodoh (bhs Jawa)