Minggu, Februari 28, 2016

Cerdik atau Cerdas?


Dalam banyak cerita anak, sosok kancil selalu digambarkan sebagai tokoh yang menang dalam cerita, kecuali dalam satu kisah. Apakah itu? Kisah tentang lomba lari antara sang kancil melawan siput. Rasa sombong sang kancil membuatnya alpa dan terpedaya dengan strategi si siput.
Padahal dalam kisah yang lain, mulai dari kancil melawan macan atau buaya, kancil menjadi tokoh yang dimenangkan. Malah di kisah yang lain, kancil menjadi sosok penolong hewan lain yang tertimpa masalah. Apakah kancil ini cerdik atau cerdas, terserah anda yang menilai.
Anda juga masih ingat dengan kisah Abunawas dan Sultan Harun Arrasyid. Sudah seribu cara dilakukan Sultan Harun agar bisa menghukum cambuk Abunawas, tapi selalu berakhir kecewa dan berkurangnya satu kantong uang emas dari kotak kekayaannya.
Ini karena Sang Sultan selalu memberikan pilihan, hukuman cambuk bila Abunawas kalah dan sekantong uang emas bila menang. Dalam kisah 1001 malam, Abunawas selalu menang dan membawa pulang sekantong uang emas.  Apakah Abunawas ini cerdik atau cerdas, terserah anda yang menilai.
Tapi itukan kisah karangan yang hasil fantasi pengarangnya. Oke…, saya bisa berikan contoh dari kisah nyata. Kisah yang terangkum dalam sejarah bangsa ini. Kisah berdirinya Kerajaan Singosari oleh Ken Arok. Mari kita buka bersama-sama salah satu kisah dari negeri sendiri.
Keris yang digunakan Ken Arok untuk membunuh Adipati Tunggulametung memang milik Ken Arok hasil karya Empu Gandring. Tapi mengapa keris tersebut dikenali masyarakat luas sebagai keris milik Kebo Ijo?
Itu karena, setelah keris sakti tersebut diambil paksa dari sang pembuat dan disertai dengan kematian Empu Gandring, keris dipinjamkan ke Kebo Ijo. Ken Arok sangat paham kalau Kebo Ijo memang suka pamer, termasuk memamerkan keris berpamor walaupun bukan miliknya. Apakah Ken Arok ini cerdik atau cerdas, terserah anda yang menilai.
 Setelah Tunggulametung tewas dan Kebo Ijo dihukum gantung karena kerisnya menancap di tubuh Adipati, Ken Dedes malah menikahi Ken Arok. Walau sebenarnya Ken Dedes tahu siapa sebenarnya pembunuh suaminya.
Buktinya, Ken Arok akhirnya tewas di tangan Anosapati, anak hasil perkawinan Ken Dedes dengan Tunggulametung. Sebelumnya, sang anak dibisiki Ken Dedes yang mengatakan bahwa pembunuh ayahnya (Tunggulametung) adalah Ken Arok. Keris saksi dan keramat karya Empu Gandrung jugalah yang memungkasi nyawa Ken Arok.
Memang kisah saling bunuh antara keturunan Ken Arok dan keturunan Tunggulametung ini terjadi sampai 7 turunan mereka. Itu adalah kutukan Empu Gandring karena keris diambil paksa walaupun belum ada warongko alias sarung keris. Apakah Ken Dedes ini cerdik atau cerdas, terserah anda yang menilai.
Cerita lainnya juga bisa dilihat dalam perang Kaum Padri di Sumatera Barat. Perang yang dipimpinn Malin Basa atau yang dikenal dengan sebutan Tuanku Imam Bonjol, ini berawal dari pencerahan oleh beberapa tokoh masyarakat setempat. Beberapa ulama mulai membangkang Belanda hingga akhirnya terjadi perebutan pengaruh antara kaum adat dan kaum Padri di tengah-tengah masyarakat. Kaum Adat minta bantuan Belanda. Akhirnya, perpecahan terjadi antara Belanda dan Kaum Padri.
       Sempat diwarnai beberapa kali perundingan antara Belanda dan Kaum Padri untuk tidak saling serang. Tapi perdamaian tidak pernah berlangsung lama dan kembali pecah perang.
Salah satu tindakan Belanda untuk mengakhiri perang Padri  adalah mendatangkan pasukan dipimpin oleh Letnan Kolonel Elout, kemudian Mayor Michaels dan juga mengirim Sentot Ali Basa Prawirodirdjo (bekas panglima Diponegoro) serta sejumlah pasukan dari Pulau Jawa.
Sempat terjadi peperangan antara pasukan pimpinan Sentot dengan Kaum Padri yang dipimpin Tuanku Imam Bonjol. Tapi walaupun kemudian Sentot dan pasukannya berpihak kepada kaum Padri dan melawan balik Belanda, kedua kelompok sempat bertikai. Sejak tahun 1831, kaum Adat menyadari kesalahannya dan balik bersatu dengan kaum Padri untuk menghadapi Belanda. Apakah Belanda ini cerdik atau cerdas, terserah anda yang menilai.
Yan terbaru adalah rencana revisi kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Rencana ini menjadi perbincangan di masyarakat luas. Saat PDI-Perjuangan, dimana Joko Widodo, adalah –mengutip kalimat Megawati- kader partai, menggulirkan dukungannya pada revisi, Presiden belum mengambil keputusan.
Apa tidak ada yang menolak revisi? Jelas ada dan sangat banyak. Banyak masyarakat Indonesia yang menentang rencana revisi yang dianggap akan mengebiri kewenangan KPK dalam pemberantasan korupsi. Beberapa elemen masyarakat sampai dengan aksi unik –mengenakan kostum superhero semisal Batman, Superman.
Belum lagi ditambah dengan dukungan di mediasosial. Banyak akun yang memberikan dukungan agar menolak revisi karena dituding akan melemahkan lembaga antirasuah tersebut. Malah beberapa akun memajang foto anggota DPR dari beberapa fraksi yang dianggap mendukung revisi tersebut. Tentu saja disertai dengan tulisan ‘Ingat nama-nama mereka dan jangan pilih kembali di Pileg 2019’.
Malah group musik papan atas sekelas Slank pun memberikan dukungan dengan menggelar konser di kantor KPK dan disaksikan masyarakat serta pejabat KPK. Lagu-lagu yang mengkritik ulah koruptor pun terdengar menggema dari mulut Kaka dan ditirukan seluruh pendukung. Tapi Jokowi masih belum menentukan pilihan.
Sampai akhirnya, forum guru besar universitas memberikan surat agar presiden menolak revisi undang-undang tersebut. Forum Guru Besar yang terdiri atas 100 profesor penolak revisi UU KPK itu ditemui Kepala Staf Kepresidenan (KSP), Teten Masduki dan juru bicara Presiden, Johan Budi SP.
Hasilnya, setelah serangkaian dukungan dan aksi masyarakat, akhirnya Jokowi telah memutuskan menunda pembahasan revisi Undang-Undang (UU) Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk dibahas di DPR. Apakah Joko Widodo atau Jokowi ini cerdik atau cerdas, terserah anda yang menilai. (Terbit Minggu, 28 Februari 2016  di Harian Pagi Memorandum)

Minggu, Februari 21, 2016

Bertetangga itu Mudah, Jangan Dipersulit

Saifullah Yusuf, Wakil Gubernur Jawa Timur, pekan ini meluncurkan gerakan peduli tetangga di Sun City Sidoarjo. Gerakan moral yang mengambil motto Gandeng tangan Jaga Lingkungan ini hasil pemikiran Gus Ipul (sapaan Saifullah Yusuf) dengan Eep saefulloh Fatah. Gerakan ini juga dilengkapi dengan aplikasi dengan nama ‘tetangga’ di playstore Android ataupun di IOS Iphone.
Gerakan ini sempat dibahas akhir pekan lalu bersama Forum Editor Surabaya di sebuah cafe di tengah kota. Kebetulan, saya termasuk anggota forum tersebut dan sempat datang dalam diskusi tersebut. Dasar gerakan ini sebenarnya sederhana yaitu ikut peduli dengan lingkungan sekitar agar tidak terjadi hal yang tidak diinginkan mulai dari kejahatan, narkoba sampai dengan terorisme.
Bicara tetangga dan tanggungjawabnya, saya jadi ingat sebuah kisah bijak tentang seseorang yang miskin dan di ujung rasa laparnya, mencuri ubi di ladang tetangganya. Si miskin ini kemudian disidang dan menarik perhatian banyak orang. Banyak yang menuding bahwa hukum tidak adil untuk si miskin.
Dalam putusan sidang, sang hakim memutuskan si miskin bersalah dan dikenakan denda Rp500 ribu atau kurungan 3 bulan. Putusan ini sontak membuat ricuh suasana sidang sampai sang hakim mengetukkan palunya berulang-ulang dan minta pengunjung sidang untuk tenang. Ternyata putusan belum tuntas dibacakan.
“Saya juga menghukum saya sendiri sebesar Rp500 ribu, seluruh pengunjung sidang ini, masing-masing dengan denda Rp250 ribu. Untuk tetangga kanan kiri dengan radius 5 rumah dengan rumah terdakwa, juga saya hukum untuk membayar denda masing-masing Rp250 ribu. Untuk ketua RT, RW, kepala desa dan kepala kecamatan di mana terdakwa tingga, saya kenakan hukuman denda Rp500 ribu. Denda ini adalah denda karena kita lah yang bertanggungjawab bila ada warga atau orang di sekitar kita yang kelaparan atau kesakitan,” kata sang hakim yang  kemudian mengeluarkan uang denda dan meminta jaksa untuk mengeksekusi putusannya.
Bisa jadi kisah bijak itu hanya karangan saja. Tapi ada nasehat benar di dalamnya. Kitalah yang harus merasa malu bila ada kelaparan di sekitar kita. Untuk itulah, Gus Ipul benar bila hendak menghidupkan tradisi bertetangga yang sebenarnya adalah tradisi desa. “Ini adalah salah satu cara men-desa-kan kota. Kota mengadopsi tradisi desa,” kata saya dalam forum tersebut dan di depan Gus Ipul.
Memang, harus diakui, tradisi bertetangga tumbuh subur di desa. Anda tinggal membawa nama orang dan desa tempat dia tinggal, anda akan mudah mencari rumahnya. Itu karena hamper seluruh warga desa, saling mengenal satu dengan yang lain.
Berbeda bila anda mencari rumah di perkotaan. Selain harus membawa nama, anda juga harus membawa secara lengkap alamat rumahnya. Itupun anda tidak bisa bertanya kepada semua orang yang anda temui. Satu-satunya yang bisa anda tanya tentang rumah seseorang di perkotaan adalah satpam.
Kembali pada aplikasi tetangga yang diluncurkan Gus Ipul. Aplikasi ini justru akan membatasi banyak niat baik untuk kembali menjalin ‘tetangga’. Bagaimana tidak? Untuk menyapa orang yang tinggal di sebelah rumah kita, dengan orang yang tinggal satu kampung, dengan orang yang tinggal dalam satu RT/RW, harus mendownload aplikasi ini.
Saya sampai sekarang masih belum menemukan hal yang menguntungkan dari aplikasi ini selain biaya pembuatannya –walaupun Gus Ipul mengatakan biaya pembuatannya sangat murah-. Untuk warga perumahan, warga satu RT bisa menggunakan Whatsapps (WA) yang bisa menampung 100 anggota dan itu cukup untuk mewadahi warga satu RT. Keuntungan lain tidak menginstal aplikasi tetangga, adalah menghemat memory internal android bagi yang bergadget pas-pasan. Warga satu RT dalam satu perumahan juga bisa memanfaatkan obrolan bersama dalam BBM (BlackBerry Messenger).
Tentu, WA ataupun obrolan bersama dalam BBM, tidak akan berlaku bagi masyarakat pedesaan di kota kecil. Kalau ini gerakan nasional, tentu aplikasi tetangga sangat tidak dibutuhkan di desa pelosok di Kabupaten Bojonegoro, misalnya. Di desa pelosok, tentu cara bertetangga sudah tidak memerlukan sarana apapun. Warga desa sudah terbiasa bertemu, ngobrol dan saling peduli.
Gerakan ini gerakan positif. Kita tinggal menggalakkan melalui change agent dan tentu saja melibatkan banyak pihak. Kejahatan, gangguan keamanan sampai dengan terorisme adalah musuh bersama kita. Banyak pihak atau ujung tombak yang bisa dimanfaatkan, tinggal memadukan dan memaksimalkan.
Di TNI AD adalah Babinsa (bintara pembina desa), di kepolisian ada bhabinkamtibmas (bhayangkara pembina keamanan, ketertiban masyarakat) dan ada juga personil Satpol PP yang tersebar di setiap kecamatan. Di tingkat kehidupan sosial, ada karang taruna dan juga sinoman. Ini ujung tombak yang siap dan sudah tersedia di setiap desa dan kecamatan. Mengapa tersia-siakan?
Menurut saya, dengan kapasitas Gul Ipul sebagai Wakil Gubernur, tentu bukan hal sulit untuk memaksimalkan ujung tombak-ujung tombak tersebut. Saya jadi ingat dengan program Menteri Pertanian yang kekurangan PPL (petugas penyuluh lapangan) pertanian dengan menggandeng TNI AD dengan babinsa-nya.
Buktinya sudah terasa, kendati saya tidak bisa memberikan angka yang jelas. Banyak Babinsa yang terjun dan mengawasi peredaran pupuk bersubsidi sampai dengan mengurusi pengairan persawahan. Kita juga sering membaca tindakan penyelewengan pupuk bersubsidi yang dibongkar tentara kita. Saya sendiri tidak pernah mempersoalkan siapa yang membongkar sebuah kejahatan. Apakah TNI, Polisi atau pramuka sekalipun, bukan persoalan bagi saya. Yang terpenting adalah, kejahatan terbongkar. Selesai.
Tentang terorisme yang benar-benar musuh besar bersama kita, saya sangat yakin itu sudah dalam buku kerja babinsa dan bhabinkamtibmas. Bisa jadi, mereka memantau setiap pergerakan masyarakat yang mencurigakan untuk kemudian melaporkan ke pimpinan dalam bentuk LI (laporan intelejen). Tapi tentu saja, sebagai manusia, mereka juga bisa lengah atau kewalahan mengawasi setiap gang sempit di sekitar kita.
Celah sempit inilah yang menjadi bidang garap kita sebagai change agent. Kita melibatkan diri secara aktif untuk sekedar kepo (ingin tahu) apa yang ada di tetangga kita. Kita harus curiga bila ada tetangga kita yang ulahnya mencurigakan. Intinya, kita harus saling mengenal dengan orang di sekitar kita.
Bertetangga tidak perlu alat apapun. Kita tinggal membuka pintu pagar rumah kita dan mencoba keliling di sekitar kampung. Menyapa dan bertanya kabar bila bertemu dengan tetangga dan luangkan waktu untuk berbincang sejenak.
Bertetangga itu sederhana. Kita tidak perlu harus membeli smartphone kemudian menginstal aplikasi tetangga, baru bisa menyapa orang yang tinggal di sebelah rumah kita. Itupun, aplikasi ini juga harus diinstal oleh tetangga sebelah rumah, agar bisa mengobrol. Alangkah rumitnya bertetangga dengan aplikasi ini.
Aplikasi ini menurut saya malah menyulitkan cara bertetangga yang sangat sederhana. Saya membandingkan aplikasi tetangga ini dengan menghitung 1+1 menggunakan kalkulator yang dilengkapi dengan sin, cos, tg dan dengan 4 angka desimalnya. Terlalu rumit, ribet untuk menyelesaikan hal yang sederhana.
Semangat bertetangga memang berkurang atau menurun, saya sepakat. Tapi itu hanya berlaku di beberapa kawasan perkotaan, utamanya di kawasan elit. Kendati rumah mereka besar dengan pekarangan luas –mirip rumah di desa-, tapi mereka tidak saling mengenal. Kendati rumah mereka tanpa pagar alias cluster –juga mirip rumah di pedesaan-, tapi mereka tetap saja tidak saling mengenal sesama warga. Untuk kawasan ini, mungkin diperlukan cara lain karena aplikasi tetangga, WA atau obrolan bersama BBM, belum juga pas dengan warga perumahan elit ini.
Hanya saja, dalam catatan saya selama 17 tahun menjadi wartawan, baru sekali saya menemukan rumah di kawasan elit yang dijadikan sarang narkoba dan digerebek polisi. Selama ini, sarang narkoba dan markas teroris, ditemukan di permukiman warga ataupun perumahan menengah.
Jadi, apakah saya akan menginstal aplikasi ini? Tentu saja tidak. Saya memilih dan sudah melakukan bertetangga dengan membuka pagar rumah saya dan jalan keliling sekitar rumah. Kebiasaan saya yang membuat saya dekat dengan tetangga adalah tradisi meminta. Meminta blimbing wuluh untuk sayur asem-asem patin sampai dengan meminta daun pisang untuk botok atau brengkes.
Saya bisa saja menanam blimbing wuluh atau pisang, tapi saya memilih menanam pandan dan serai. Tentu saja biar tetangga saya bisa minta pandan bila membuat kolak dan serai bila mereka hendak memasak rendang. Tentu saja, saya tetap berharap kiriman kolak dan rendang mereka, bila sudah masak sebagaimana saya juga akan mengirim asem-asem patin dan botok atau brengsekan ke mereka. (*)

Rabu, Februari 17, 2016

Identitas Kita dalam Angka-Angka

        Kata William Shakespeare, seorangpujangga besar Inggeris, apalah arti sebuah nama. Kalimat ini masih menjadi perdebatan panjang sampai sekarang. Ada yang tetap memandang perlunya nama yang indah, sebagian lagi mengatakan nama apa pun, yang penting adalah tindakan (manusia)nya.
Nama adalah perwujudan doa, alasan bagi pihak yang memandang perlunya sebuah nama yang indah. Sedang yang memandang nama hanyalah pembeda manusia beralasan, buat apa nama seperti nama malaikat tapi kelakuannya seperti ahli neraka.
Kalau anda tanya saya, apalah perlu sebuah nama? Saya akan menjawab, nama memang perlu tapi sekarang sudah tidak terlalu diperlukan. Sekarang, nama sudah menjelma menjadi kombinasi angka-angka yang saya yakin tidak akan ada duanya. Mau bukti?
Anda boleh cari nama yang sama atau mirip dengan nama anda. Saya berani bertaruh, ada ribuan atau malah jutaan manusia di dunia ini yang bernama Muhammad, Abdullah atau John. Untuk anda yang ada di Jawa, akan menemukan ribuan nama Bambang, Joko, Yanto ataupun Siti dan Sri.
Untuk anda yang berdarah Bali, berapa orang yang bernama Made, Putut, Komang, Dewa ataupun Ayu dan Ni. Pasti anda akan temukan jumlahnya ribuan. Jumlah yang sama juga akan anda temukan bila mencari nama Hutagalung, Manurung ataupun Nainggolan. Nama, sangat bisa dan sangat memungkinkan sama atau mirip atau malah persis.
Kalau anda tidak percaya, saya punya buktinya. Cari saja seorang anak laki-laki di Jl. Jeruk III, Surabaya. Tiga suku kata namanya persis dengan 3 suku kata nama saya. Tanpa ada huruf yang berbeda termasuk ejaan Noor yang tidak lazim untuk penyebutan Nur. Anak kecil yang kini duduk di bangku SMP tersebut adalah anak dari sahabat saya semasa SMA.
Mulai Tahun 2016, selain orang dewasa dengan umur 17 tahun atau sudah menikah, anak-anak pun akan dilengkapi dengan sejenis Kartu Tanda Penduduk (KTP) walaupun dengan nama KIA (Kartu Identitas Anak). Ini sesuai dengan Permendagri Nomor 2 Tahun 2016.
Kartu Identitas Anak adalah identitas resmi anak sebagai bukti diri anak yang berusia kurang dari 17 tahun dan belum menikah yang diterbitkan oleh Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kabupaten/Kota. Tujuannya, untuk meningkatkan pendataan, perlindungan dan pelayanan publik serta sebagai upaya memberikan perlindungan dan pemenuhan hak konstitusional warga negara.
Dalam Permendagri  tersebut, KIA akan terbagi dua jenis, yaitu untuk anak usia 0 sampai 5 tahun dan usia 5 tahun sampai 17 tahun. Setelah usia 17 tahun, tentu sang anak sudah berhak mengantongi KTP.
Sebagai nomor pembeda antara penduduk satu dengan penduduk lain, akan diberikan NIK (Nomor Induk Kependudukan). NIK adalah kombinasi angka-angka yang akan membedakan antara Bambang A dan Bambang B. NIK juga akan membedakan antara saya dan anak sahabat saya, walaupun nama kami persis secara ejaan dan lafalan.
Identitas sudah digantikan dengan kombinasi angka-angka juga terlihat dari nomor handphone kita. Saya berani bertaruh bila kita tidak akan menemukan 2 nomor handphone yang sama persis, tidak seperti nama berupa kombinasi huruf-huruf. Andai anak sahabat saya punya handphone, pasti nomornya akan berbeda dengan nomor handphone saya, walaupun nama kami persis secara ejaan dan lafalan.
Identitas lain tentang kombinasi angka yang juga menjadi pembeda dua individu adalah PIN (Personal Identity Number) BB (BlackBerry). Dari jutaan BB di dunia, tidak akan PIN yang sama persis. Andai anak sahabat saya punya BlackBerry, pasti PIN-nya akan berbeda dengan PIN BB saya, walaupun nama kami persis secara ejaan dan lafalan.
Jadi, bagaimana anda bisa membedakan antara saya dengan anak sahabat saya? Saya adalah Noor Arief Prasetyo dengan NIK 3578042202740011, PIN BB 5C560E**. Kalau Noor Arief Prasetyo yang rumahnya di Jl. Jeruk III, Surabaya, saya tidak tahu. 

Rabu, Februari 10, 2016

Gong Xi Fa Cai

Ilmu dari Mo Ban Hok
 
 
Besok kita semua akan menyambut datangnya tahun baru bagi orang China. Di negara kita ini saja yang banyak tahun baru di tahun yang sama. Ada tahun baru Islam yang biasa disebut tahun Hijriah yang berbarengan dengan tahun baru orang jawa yang biasa disebut suro, ada tahun Saka yang dirayakan oleh umat Hindu. Tahun baru yang sangat universal adalah tahun baru masehi yaitu tanggal 1 Januari. Serentak seluruh dunia menyambutnya.
            Sengaja saya menggunakan kata “kita” dalam tulisan ini karena kita juga menikmati tahun baru-tahun baru tersebut, apapun agama kita. Bukankah kebijakan pemerintah yang meliburkan hari-hari tersebut memberikan kesempatan kita menikmati tahun baru itu? Tentu hari itu akan libur kerja –kecuali beberapa profesi termasuk wartawan seperti saya- pada hari pergantian tahun baru itu.
            Kembali pada Gong Xi Fa Cai atau juga biasa disebut Tahun Baru Imlek yang besok akan kita sambut bersama. Bagi banyak saudara kita yang keturunan China dan masih memegang teguh tradisi mereka, banyak hal yang perlu disiapkan. Setumpuk angpao berupa amplop warna merah dan berisi sejumlah uang, sudah disiapkan.
            Aturan pemberian angpao adalah yang sudah menikah dan bekerja akan memberikan angpao kepada yang masih lajang, walaupun kadang yang lajang bisa jadi lebih mampu. Aturan lain adalah yang lebih tua memberi angpao kepada yang muda. Tentu niat pemberi angpao adalah agar rejeki, kesehatan di tahun depan akan berlimpah.
            Sepertinya cara ini juga dikenal di agama lain. Di tradisi gereja ada sepersepuluhan, sedang di agama saya, Islam ada istilah sedekah, zakat, amal, infak. Saya juga yakin di agama lain juga mengajarkan berbagi dengan sesama, walaupun mungkin beda nama. Seperti teori memancing, mengorbankan ikan kecil untuk mengkail ikan yang lebih besar.
            China, dalam ajaran agama saya, Islam, memang sudah menjadi jujugan dalam dunia ilmu. “Tuntutlah ilmu sampai di Negeri China”. Tentu saja, kalimat suci itu tidak muncul serampangan dan sudah diyakini kebenarannya, termasuk saya yang sangat yakin dengan kalimat super bijak itu. Saya akui, saya banyak belajar dari teman-teman saya yang kebetulan ber-ras China, salah satunya adalah Mo Ban Hok.
            Ada dua pelajaran besar yang bisa saja dapatkan. Pertama adalah, mereka adalah pekerja keras yang luar biasa. Saya pernah diskusi lumayan panjang dengan Mo Ban Hok ini, beberapa tahun lalu. Kalimat per kalimat masih bisa saja ingat dengan baik, sampai detik ini.
            Waktu itu, saya tengah putus asa karena gaji di kantor saya waktu itu masih belum mencukupi kebutuhan keluarga saya. Saat itu saya tanyakan kepadanya tentang peluang usaha yang bisa saya lakukan dan saya tegaskan, tanpa modal. Bagaimana punya modal, untuk ngepaskan dengan kebutuhan bulanan sudah kembang kempis rasanya.
            Mendengar pertanyaan saya, Hok menjawab,” peluang usaha yang sangat mungkin untuk loe (kamu) adalah usahakan nggak nganggur.”
            “Lho kok gitu Hok?”
            “Udah, loe minum kopimu dulu. Rokok-rokok dulu biar otak loe enteng,” kata Hok yang memang saya sebagai perokok berat.
            Mo Ban Hok kemudian menjelaskan lebih panjang jawabannya itu. Dengan logat campuran antara  Jawa, Indonesia dan China, dia menjabarkan dan saya pun tertohok di akhir penjelasannya. Menurut Hok, ada beberapa keuntungan yang didapat bila tidak menganggur. Satu, tentu saja penghasilan walaupun tidak cukup untuk hidup. “Kalau loe tiap hari butuh biaya hidup Rp 15 ribu, tapi gaji loe cuma Rp 10 ribu, minimal dengan loe kerja, utang loe cuma Rp 5 ribu perhari. Coba loe hitung utang loe, kalau loe nggak kerja. Bisa Rp 15 ribu perharinya. Yang ngasih utang loe juga yakin karena loe kerja,” katanya.
            Keuntungan yang kedua, orang yang bekerja akan berkumpul dengan orang yang bekerja juga. Obrolan mereka juga tentang kerjaan. “Dari situ, loe bisa nambah ilmu, nambah peluang. Coba kalau loe nganggur, pasti kumpulnya juga sama orang nganggur, ngomong gak jelas. Coba loe bayangin andai ada sales buku berteman ama sales tas, mereka bisa tukeran informasi mana yang butuh tas atau buku. Atau mereka bisa kongsi untuk melengkapi dagangan mereka,” jlentreh Hok lagi.
            Keuntungan yang ketiga –menurut Hok- pada orang yang kerja adalah jam terbang. “Loe udah sering baca iklan lowongan kerjam khan. Mereka cari yang berpengalaman untuk jabatan level tengah. Owe pahamnya dunia sales dan ada supervisor sales di atasnya. Kalau di kerjaan loe, Owe nggak paham banget. Tapi kalau loe loncat-loncat kerjanya, mana punya pengalaman,” kata Hok yang sangat menyadarkan saya untuk bertahan dan terus bekerja.
            Tentu saja, karena nasehat Hok inilah yang membuat saya bertahan di Memorandum sampai memasuki tahun ke 17. Memang benar kata Hok, lambat laun akan terbuka rejeki kita bila tidak putus asa dan berkuat hati.
            Ilmu besar dari Hok yang juga saya ingat adalah lelucon satir yang terjadi pada golongannya. Diakui atau tidak, di kalangan pejabat, aparat dan kita sendiri, memandang kaum mata sipit ini adalah golongan orang ber-uang. Termasuk teman saya Mo Ban Hok yang memang pengusaha sembako di kota kelahiran saya.
            Sebagai pengusaha sembako, tentu sesekali tempat usahanya jadi jujugan pejabat kelas bawah sampai dengan aparat pangkat rendah. Hok tidak pernah menolak dan tidak pernah punya kemauan menolak. Wajahnya tetap saja tersenyum saat menjadi jujugan mereka.
            Hanya kepada saya, dia mau mengatakan walaupun itu keluhan bernada sindiran. “Owe heran ambek mereka. Lebaran, mereka minta THR ke Owe. Natalan, juga minta parcelan ke Owe. Sekarang giliran Owe Imlek-an, mereka juga minta angpao,” katanya yang membuat saya tersenyum masam.
            Sejenak kemudian, saya pun berniat pulang. Hok berdiri dari kursinya dan memanggil salah satu karyawan gudangnya. “Loe siapin sembako buat temen owe ini. Cepetan,” kata Hok.
            Saya langsung menolak halus dan mengatakan,”makasih Hok, aku bukan pejabat, aku juga bukan aparat. Aku adalah sahabat yang mencoba mencuri ilmumu.” (*)
 
NB: dipublikasikan di Harian Pagi Memorandum Edisi Minggu 7 Pebruari 2016