Rabu, Februari 10, 2016

Gong Xi Fa Cai

Ilmu dari Mo Ban Hok
 
 
Besok kita semua akan menyambut datangnya tahun baru bagi orang China. Di negara kita ini saja yang banyak tahun baru di tahun yang sama. Ada tahun baru Islam yang biasa disebut tahun Hijriah yang berbarengan dengan tahun baru orang jawa yang biasa disebut suro, ada tahun Saka yang dirayakan oleh umat Hindu. Tahun baru yang sangat universal adalah tahun baru masehi yaitu tanggal 1 Januari. Serentak seluruh dunia menyambutnya.
            Sengaja saya menggunakan kata “kita” dalam tulisan ini karena kita juga menikmati tahun baru-tahun baru tersebut, apapun agama kita. Bukankah kebijakan pemerintah yang meliburkan hari-hari tersebut memberikan kesempatan kita menikmati tahun baru itu? Tentu hari itu akan libur kerja –kecuali beberapa profesi termasuk wartawan seperti saya- pada hari pergantian tahun baru itu.
            Kembali pada Gong Xi Fa Cai atau juga biasa disebut Tahun Baru Imlek yang besok akan kita sambut bersama. Bagi banyak saudara kita yang keturunan China dan masih memegang teguh tradisi mereka, banyak hal yang perlu disiapkan. Setumpuk angpao berupa amplop warna merah dan berisi sejumlah uang, sudah disiapkan.
            Aturan pemberian angpao adalah yang sudah menikah dan bekerja akan memberikan angpao kepada yang masih lajang, walaupun kadang yang lajang bisa jadi lebih mampu. Aturan lain adalah yang lebih tua memberi angpao kepada yang muda. Tentu niat pemberi angpao adalah agar rejeki, kesehatan di tahun depan akan berlimpah.
            Sepertinya cara ini juga dikenal di agama lain. Di tradisi gereja ada sepersepuluhan, sedang di agama saya, Islam ada istilah sedekah, zakat, amal, infak. Saya juga yakin di agama lain juga mengajarkan berbagi dengan sesama, walaupun mungkin beda nama. Seperti teori memancing, mengorbankan ikan kecil untuk mengkail ikan yang lebih besar.
            China, dalam ajaran agama saya, Islam, memang sudah menjadi jujugan dalam dunia ilmu. “Tuntutlah ilmu sampai di Negeri China”. Tentu saja, kalimat suci itu tidak muncul serampangan dan sudah diyakini kebenarannya, termasuk saya yang sangat yakin dengan kalimat super bijak itu. Saya akui, saya banyak belajar dari teman-teman saya yang kebetulan ber-ras China, salah satunya adalah Mo Ban Hok.
            Ada dua pelajaran besar yang bisa saja dapatkan. Pertama adalah, mereka adalah pekerja keras yang luar biasa. Saya pernah diskusi lumayan panjang dengan Mo Ban Hok ini, beberapa tahun lalu. Kalimat per kalimat masih bisa saja ingat dengan baik, sampai detik ini.
            Waktu itu, saya tengah putus asa karena gaji di kantor saya waktu itu masih belum mencukupi kebutuhan keluarga saya. Saat itu saya tanyakan kepadanya tentang peluang usaha yang bisa saya lakukan dan saya tegaskan, tanpa modal. Bagaimana punya modal, untuk ngepaskan dengan kebutuhan bulanan sudah kembang kempis rasanya.
            Mendengar pertanyaan saya, Hok menjawab,” peluang usaha yang sangat mungkin untuk loe (kamu) adalah usahakan nggak nganggur.”
            “Lho kok gitu Hok?”
            “Udah, loe minum kopimu dulu. Rokok-rokok dulu biar otak loe enteng,” kata Hok yang memang saya sebagai perokok berat.
            Mo Ban Hok kemudian menjelaskan lebih panjang jawabannya itu. Dengan logat campuran antara  Jawa, Indonesia dan China, dia menjabarkan dan saya pun tertohok di akhir penjelasannya. Menurut Hok, ada beberapa keuntungan yang didapat bila tidak menganggur. Satu, tentu saja penghasilan walaupun tidak cukup untuk hidup. “Kalau loe tiap hari butuh biaya hidup Rp 15 ribu, tapi gaji loe cuma Rp 10 ribu, minimal dengan loe kerja, utang loe cuma Rp 5 ribu perhari. Coba loe hitung utang loe, kalau loe nggak kerja. Bisa Rp 15 ribu perharinya. Yang ngasih utang loe juga yakin karena loe kerja,” katanya.
            Keuntungan yang kedua, orang yang bekerja akan berkumpul dengan orang yang bekerja juga. Obrolan mereka juga tentang kerjaan. “Dari situ, loe bisa nambah ilmu, nambah peluang. Coba kalau loe nganggur, pasti kumpulnya juga sama orang nganggur, ngomong gak jelas. Coba loe bayangin andai ada sales buku berteman ama sales tas, mereka bisa tukeran informasi mana yang butuh tas atau buku. Atau mereka bisa kongsi untuk melengkapi dagangan mereka,” jlentreh Hok lagi.
            Keuntungan yang ketiga –menurut Hok- pada orang yang kerja adalah jam terbang. “Loe udah sering baca iklan lowongan kerjam khan. Mereka cari yang berpengalaman untuk jabatan level tengah. Owe pahamnya dunia sales dan ada supervisor sales di atasnya. Kalau di kerjaan loe, Owe nggak paham banget. Tapi kalau loe loncat-loncat kerjanya, mana punya pengalaman,” kata Hok yang sangat menyadarkan saya untuk bertahan dan terus bekerja.
            Tentu saja, karena nasehat Hok inilah yang membuat saya bertahan di Memorandum sampai memasuki tahun ke 17. Memang benar kata Hok, lambat laun akan terbuka rejeki kita bila tidak putus asa dan berkuat hati.
            Ilmu besar dari Hok yang juga saya ingat adalah lelucon satir yang terjadi pada golongannya. Diakui atau tidak, di kalangan pejabat, aparat dan kita sendiri, memandang kaum mata sipit ini adalah golongan orang ber-uang. Termasuk teman saya Mo Ban Hok yang memang pengusaha sembako di kota kelahiran saya.
            Sebagai pengusaha sembako, tentu sesekali tempat usahanya jadi jujugan pejabat kelas bawah sampai dengan aparat pangkat rendah. Hok tidak pernah menolak dan tidak pernah punya kemauan menolak. Wajahnya tetap saja tersenyum saat menjadi jujugan mereka.
            Hanya kepada saya, dia mau mengatakan walaupun itu keluhan bernada sindiran. “Owe heran ambek mereka. Lebaran, mereka minta THR ke Owe. Natalan, juga minta parcelan ke Owe. Sekarang giliran Owe Imlek-an, mereka juga minta angpao,” katanya yang membuat saya tersenyum masam.
            Sejenak kemudian, saya pun berniat pulang. Hok berdiri dari kursinya dan memanggil salah satu karyawan gudangnya. “Loe siapin sembako buat temen owe ini. Cepetan,” kata Hok.
            Saya langsung menolak halus dan mengatakan,”makasih Hok, aku bukan pejabat, aku juga bukan aparat. Aku adalah sahabat yang mencoba mencuri ilmumu.” (*)
 
NB: dipublikasikan di Harian Pagi Memorandum Edisi Minggu 7 Pebruari 2016

Tidak ada komentar: