Selasa, November 06, 2018

News Value (Nilai Berita)



Beberapa waktu lalu bermunculan di wall FaceBook (FB) saya tentang demo guru di Jakarta dan disebut-sebut tidak ada media yang meliputnya. Ada juga kabar di wall yang menyebutkan anak Indonesia yang menjadi juara membaca Alquran juga tidak ada media yang menulisnya. Well. Saya mencoba memaparkan bagaimana itu terjadi dan mengapa berdasar keilmuan dan praktek yang selama ini saya jalani.
Kesimpulan saya adalah tidak semuanya bisa dikaitkan dengan kalimat media sudah tidak netral. Media sudah menjadi lembaga bisnis murni yang mengesampingkan informasi penting. Media sudah kapitalis. Ini penjelasan saya.
Dalam berita ada 6 unsur yaitu 5W 1H yakni kependekan dari who, what, where, when, why, how. Keenam unsure inilah yang akan saling menyumbang peran dalam tinggi rendahnya sebuah berita. Penilaian antarunsur inilah yang menjadikan sebuah kejadian bernilai tinggi, sedang, biasa, atau ringan. Contohnya dengan kejadian yang sama. Seorang tukang becak nyabu dibandingkan dengan kepala sekolah yang nyabu, akan lebih tinggi nilai berita tentang kepala sekolah yang nyabu. Apalagi andai misalnya dibandingkan dengan bupati, gubernur, menteri, atau malah presiden yang nyabu. Itu bila melihat dari unsur ‘who’.
Perlakuan yang sama juga untuk unsur lainnya. Misalnya, berjudi di gardu kampung dan berjudi di teras tempat ibadah, tentu akan berbeda nilainya berdasar unsure where. Unsure what, bhen, why, dan how pun punya peran untuk menambah nilai berita.
Kembali ke masalah demo guru honorer di Jakarta. Dari hasil pelacakan saya, sudah banyak media (sebagian juga media mainstream) yang meliputnya. Termasuk upaya para guru honorer yang mengajukan gugutan kepada pemerintah. Semuanya ada. Tapi seiring perjalanan waktu, kejadian yang sama dan berlangsung lama tanpa ada pergerakan berarti, akan menurunkan nilai berita. Contoh (ini hanya contoh). Misalnya, ada guru honorer yang akhirnya meninggal dunia dalam aksi demo tersebut, akan membuat nilai berita naik lagi. Contoh lagi (sekali lagi ini hanya contoh). Ada honorer yang meninggal setelah dipukuli satu regu polisi. Wwihhh…. News value tinggi pakai banget.
Untuk kasus anak Indonesia yang menjadi juara membaca Alquran, ada analisa dari beberapa kawan saya. Dan itu masuk akal bagi saya. Media dan wartawan bukan malaikat yang serba tahu segala kejadian. Itulah gunanya ada bagian humas yang bertugas mengabarkan kepada pekerja media tentang informasi yang ingin ditunjukkan kepada masyarakat. Beberapa tahun lalu, ada anak Indonesia yang juga menjuarai hal yang sama dan terpublikasi di banyak media. Saat itu, orang tua sang anak memberi informasi kepada pekerja media yang kemudian meliputnya. Untuk kasus terakhir, tidak ada kabar ke pekerja media dan tiba-tiba muncul di sosial media, media mengabaikan prestasi luar biasa tersebut.
Nyaris sama dengan kebakaran Kampung Adat, Nggela, Ende – Flores, beberapa waktu lalu. Karena berbarengan dengan kecelakaan Lion Air JT 601, berita kebakaran simbol budaya Flores ini tidak muat di media nasional. Tapi yakinkan, di media lokalan, berita ini akan punya porsi yang lebih besar. Dalam ilmu komunikasi, ini dikatakan dengan kedekatan baik secara emosional maupun secara kewilayahan. Dalam kasus Nggela dan Lion, mengapa kok tidak muncul opini negative. Misalnya kok media selalu membela orang kaya (penumpang pesawat) dan mengabaikan orang kuno (mengagung-agungkan simbol budaya). Karena semuanya sudah paham dengan ilmu komunikasi dan news value.
Memang, sosial media sudah menguasai lebih dari media massa. Media massa butuh sejumlah ornament pelengkap. Salah satunya adalah badan usaha berbentuk PT sebagaimana yang diatur undang-undang. Sedang sosial media hanya butuh jempol dan smartphone. Itulah mengapa, orang yang terlalu fokus pada sosial media lebih sering mengabaikan media massa. Sangat masuk akal bila mengambil kesimpulan media sudah terbeli dan terjual bila membandingkan sosial media.
Kalau ada tudingan mengapa berita kelompok tertentu lebih banyak porsinya dibandingkan dengan kelompok yang lain. Ya news value itu yang membedakannya. Tentu saja media tetap mengedepankan bisnis karena seluruh karyawannya harus digaji. Tidak seperti sosial media yang muncul dan berkembang atas kesadaran kesukarelaan.
News value bisa direncanakan oleh humas (hubungan masyarakat). Di fakultas komunikasi, ada jurusan jurnalistik dan kehumasan. Humas ini bertugas membangun citra di mana dia bekerja atau berada. Jadi bila salah satu kelompok lebih unggul dalam pemberitaan, berarti kehumasannya jauh lebih pintar mengolah news value daripada humas kelompok satunya. Jangan kemudian kalah ilmu kehumasan dalam mengemas news value kemudian menuding media sudah terbeli. Media sudah tidak mengedepankan informasi yang dibutuhkan masyarakat.
Oh iya. Ada yang sedikit lupa. Media ada segmentasi pasar sesuai dengan apa yang diyakininya bisa bergerak. Segmentasi ini membuat masyarakat bisa memilih media mana yang bisa memuaskan keingintahuannya dan tidak salah pilih. Andai anda ingin tahu perkembangan sepak bola, tentu anda layak memilik tabloid olahraga. Jangan pernah membeli tabloid politik karena ada tidak akan terpuaskan. Demikian sebaliknya. Mirip dokter spesialis. Kendati mereka berawal dari dokter umum, anda tidak akan nekad mendatangi dokter spesialis kelamin untuk memeriksakan keluhan jantung anda. Tidak akan senekad itu. Walaupun saya yakin dokter spesialis kelamin pun menguasai ilmu jantung. Dalam batas sepengetahuan dokter umum.
Semoga banyak yang bisa paham apa itu news value dan bagaimana menyikapinya. Walaupun tetap dalam keyakinan saya, news value tertinggi adalah advertorial.

1 komentar:

Mamimu mengatakan...

kadangkala media memang gampang dibeli. sehingga banyak bermunculan media berbayar