Senin, Juni 27, 2016

Ayo Ngopi, Tak Ceritai Nabi-Nabi


Tradisi ngopi belakangan ini benar-benar sudah membumi. Seduhan air warna hitam itu sudah bukan dominasi kaum lelaki, tapi juga perempuan. Kendati dibarengi dengan varian white coffe atau kopi dengan campuran krimmer dan susu, tapi banyak wanita yang juga menyukai kopi hitam.
Saya sendiri penyuka kopi hitam dengan sedikit gula. Saya lebih suka memesan kopi hitam walaupun sedang ngopi di kafe kelas menengah yang biasanya menyebut black coffe untuk seduhan air hitam ini. Bagi saya, tidak masalah apakah kopi hitam atau black coffe. Atau bagi yang di Jogja, anda bisa saja menyebut kopi ireng.Bagi saya artinya sama saja.
Tapi sebenarnya, ngopi bagi saya bukan hanya sekedar menikmati seduhan air dari biji kopi yang disangrai dan dihaluskan tersebut. Setiap pagi, saya selalu dibuatkan segelas kopi oleh istri, tapi tetap saja kopi di rumah tidak sangat nikmat.
Yakinlah, kopi saya di rumah adalah kopi dengan merek terkenal walaupun bukan kelas satu. Sedang kopi yang dijajakan di luar rumah –kecuali di kafe kelas menengah atas- tentu di bawah kelas kopi rumah saya. Tapi saya lebih suka ngopi di luar rumah karena ada yang beda dengan tradisi ngopi –bukan kopi.
Di warkop atau kafe, saya bisa ngopi sambil ngobrol dengan teman. Kita bisa janjian dengan teman kita atau mencari teman di warung kopi ini. Teman sekedar berbincang dan ngobrol sambil lalu. Teman ngobrol di warung kopi, nyaris sama dengan teman ngobrol di perjalanan. Tidak perlu kenal nama, yang penting bisa menghabiskan waktu bersama dengan berbincang.
Jujur, untuk sekedar memperbanyak teman ngopi, saya bergabung dengan banyak komunitas dalam group BlackBerry maupun Whatsapp. Ada komunitas Forum Editor Surabaya, BicaraSurabaya,  Boemipoetra, alumni SMA, teman kuliah dan beberapa group lainnya. Termasuk komunitas sastra, saya tercatat sebagai anggota. Padahal saya sendiri tidak merasa cukup punya jiwa seni.
Dengan banyak kelompok yang saya ikuti, tentu saja saya bisa dengan mudah mencari teman saat ngopi. Dengan komunitas-komunitas ini, saya bisa ngobrol tentang hobi ataupun tema lainnya. Sering saat ngopi, kami bisa menemukan obrolan panjang kendati belum tentu berujung. Ngopi dan diskusi adalah tujuan pertama walaupun kualitas kopinya sekedar nggereng alias angger ireng alias asal hitam.
Saya bisa menikmati kopi dari segala kelas dan perbandingan campuran antara kopi dan beras atau jagung. Lidah saya juga sudah mampu mentolerir kopi jenis apa pun. Seberapa pun perbandingan kopi dan campuran, tetap lebih baik karena masih ada kandungan biji kopi dalam racikan tersebut.
Sekedar anda tahu, dari Ranah Minang ada minuman yang berasal dari seduhan daun kopi. Iya daun kopi dan bukan biji kopi. Minuman itu namanya Aia (air) Kawa. Aia Kawa adalah salah satu jenis minuman khas dari Ranah Minang yang terbuat dari daun kopi jenis lokal pilihan  yang diolah terlebih dahulu.
Kenapa daun kopi? Konon kabarnya, zaman Jepang berkuasa, seluruh hasil panen kopi segar dari Ranah Minang, diekspor keluar negeri. Ini membuat warga pribumi tidak mendapat kesempatan untuk mencicipi nikmatnya hasil seduhan buah kopi ini.
Minum kopi pada zaman itu mempunyai kebanggaan tersendiri. Kebiasaan meminum kopi melambangkan orang berkelas pada zaman itu. Orang Ranah Minang pun juga ingin menikmati kopi yang mereka tanam selama ini.
Karena tidak ada kopi, warga saat itu memanfaatkan daun kopi. Siapa sangka, hasil kreasi keterpaksaan tersebut malah membuat minuman sekedarnya ini menjadi minuman khas daerah tersebut. Kini banyak yang menggemari minuman yang menghangatkan badan ini.
Saya belajar filosofi Aia Kawa yang berangkat dari kesederhanaan dan keterbatasan. Ngopi tidak perlu di tempat mahal atau berkelas. Teman ngopilah yang menjadi pilihan pertama saat saya menentukan di mana harus ngopi, malam ini. Ngopi di kafe mahal sendirian, tentu saya tolak bila dibandingkan dengan ngopi di pinggir jalan bersama beberapa teman.
Ada kalimat yang sering saya lontarkan untuk ngajak ngopi. Ayo Ngopi, Tak Ceritani Nabi-Nabi (ayo ngopi, nanti saya ceritakan kisah tentang nabi-nabi). Tentu saja, anda jangan mengartikan itu dengan kalimat dengan arti sebenarnya. Yang sebenarnya, saya sendiri tidak terlalu hafal kisah 25 nabi dan rasul.
Nabi adalah sosok keterwakilan kebajikan, kondisi yang lebih baik, teratur dan bermanfaat. Sama seperti obrolan-obrolan di warung kopi yang lebih banyak berbincang ngalor ngidul yang sekilas tidak ada arah tujuan. Tapi saya yakin, obrolan di warung kopi kendati tidak ada gunanya, tapi tidak merugikan.
Berbeda dengan obrolan yang diselingi dengan minuman keras (miras). Saya bisa tunjukkan banyak bukti kejahatan yang direncanakan dengan pesta minuman keras dan saya belum punya bukti, kejahatan direncanakan sambil ngopi. Satu lagi. Belum ada pertikaian berdarah yang berasal dari ngopi bareng. Beda dengan dalam pesta miras yang membuat para penikmatnya lebih mudah naik pitam dan main hantam.
Jadi, anda tetap akan ngopi seperti saya? (Penulis adalah Wartawan Surat KabarHarian Memorandum)

1 komentar:

Info Kita mengatakan...

Kapan saya diajak ngopy Kang?