Jumat, Juni 10, 2016

Mahalnya Pria Idialis




Beberapa waktu belakangan ini, aya aktif di kegiatan di luar kantor. Berkumpul, diskusi dan jelas dibarengi dengan ngopi bersama beberapa teman. Saya biasanya diskusi dan ngobrol sekedar menghabiskan malam dengan banyak kalangan. Sebagian besar memang teman kuliah dan seprofesi dengan saya di media termasuk media antimeanstream, tapi ada juga yang di luar pekerja media.
Di antara mereka ada yang seniman sastra, senirupa, vokalis band aliran heavy metal sampai dengan yang menjalani hidup layaknya sufi. Hidup dari mengandalkan setiap usaha di setiap harinya tanpa banyak memikirkan hari esok. Saya menemukan keasyikan berkumpul dengan mereka. Serasa menemukan dunia baru yang selama ini hanya sebuah wacana.
Saya bisa belajar dari kawan yang seniman sastra tentang mengindahkan suasana hati yang gundah. Iya, saya lebih suka menyebut puisi, catatan sastra atau prosa sebagai pengindahan kata-kata untuk mengambarkan suasana yang kadang tidak indah. Saya mulai suka dengan dunia ini dan tentu saja mencoba mengaplikasikan sesuai kemampuan saya di status akun facebook saya. Saya cukupkan pengkristalan hasrat bersastra dalam sebuah status semata.
Sebenarnya ada yang mengangap saya cukup modal untuk memulai bersastra. Beberapa kawan mencoba merayu saya untuk mencoba membuat sebuah puisi. Tapi saya belum cukup gila dan belum cukup malu untuk melakukannya. Saya balas saja rayuan mereka dengan kalimat singkat. Saya ini penikmat, bukan pembuat. Selesai lah mereka merayu saya walaupun tidak ada jaminan, rayuan akan kembali lagi. Suatu saat nanti.
Dari teman yang seni rupa malah saya sangat menjaga jarak. Saya selalu tak kehabisan kagum melihat mereka mencoretkan pena di selembar kertas dan set set, jadilah gambar. Saya benar-benar tidak berani bermimpi mencobanya. Sederhana sebenarnya. Dari 10 tanda tangan yang saya buat, tidak ada yang mirip otentik. Beberapa kali saya harus mengulang tandatangan untuk sebuah urusan karena saya tidak dipercaya sebagai Noor Arief. Nah khan..
Tentang teman yang menjadi vokalis band, saya masih menyimak saja. Saya belum mengambil benang merah dari cerita-ceritanya. Selain karena aliran musik yang digelutinya cukup meresahkan telinga saya, juga karena suara saya dan suara alat musik manapun, tidak pernah sejalan. Saya kemana, suara alat musik kemana.
Secara awam, saya hanya tahu aliran heavy metal adalah musik cadas yang digandrungi anak muda. Sempat saya mendengarka satu lagu aliran ini dan nyaris tidak bisa membedakan antara suara vocal dan suara jeritan di tengah-tengah hingar binger musiknya.
Secara guyonan, saya sering mengatakan agar menyiapkan kapas untuk sumbat telinga sebelum saya memberikan sambutan. Ingat memberikan sambutan, bukan menyanyi. Saya tidak bisa membayangkan dengan apa mereka harus menyumbat telinganya bila harus mendengarkan saya menyanyi. Saya lebih suka bila disebut bila itu adalah siksaan bagi mereka.
Tapi dari sekian banyak teman ngopi itu, saya lebih suka menggali ilmu dari teman yang memilih jalan hidup sederhana. Teman saya itu suka berjabat tangan dan mencoba mencium tangan temannya yang baru saja datang. Saya sempat meragukan niatnya mencium tangan seorang teman sampai saya pernah menyaksikan sendiri ciuman tangan itu.
Saya merasa tidak lebih tinggi dari dia. Karenanya, sejak itu saja mati-matian menarik tangan saya secepat kilat sebelum mampir di bibirnya. Bukan apa-apa sebenarnya, tapi saya risih diperlakukan seperti itu. Bagi istri dan anak, saya mempermaklumkan tradisi cium tangan. Tapi kepada sesama teman, tidak lah.
Menurut saya, dia sebenarnya sudah masuk ke tingkat pandhito. Saya tahu benar, teman saya itu dulu adalah aktivis, bekerja di beberapa media besar dan kini memilih menjalani hidup dari ketrampilannya menyeduh kopi dan meladeni pelanggannya. Saya sempat amati semalam penuh, dia sibuk menyapa pelanggan yang dikenalnya dan tentu saja dengan sikap rendah hati, cium tangan.
Jujur saya mulai suka dengan kehidupan baru ini, ngopi dan menghabiskan malam dengan saling gurau dan bully yang menyenangkan. Tidak ada yang sakit hati walau mati-matian dibully karena kami semua sepakat, membully teman dengan batasan-batasan malah akan mengakrabkan kita.
Ingat semasa kecil, kita sering memanggil nama teman kita dengan nama bapaknya atau panggilan-panggilan aneh. Kita sempat marah tapi itu malah dikenal sampai kita tua. Lagu berjudul Gajah oleh Tulus juga diilhami dari bully-an dia semasa kecil.
Dari sekian banyak teman-teman yang saya anggap idealis, saya banyak belajar. Belajar bagaimana hidup dan menganggapnya sebuah ujian. Mengutip salah satu status teman di facebooknya, hidup ibarat ujian. Setiap soal harus dikerjakan. Soal yang sulit dilewati dulu agar tidak kehabisan waktu.
Pria-pria idialis itu bagi saya sangat mahal harganya. Pria dengan pendirian dan sikap teguh itu sangat langka di peradaban jaman. Hukum ekonomi jelas berlaku, semakin sedikit stok barang akan semakin melambungkan harganya. Termasuk pria idealis yang lebih memanjakan kepuasan hati daripada gelimangnya rupiah.
Kalau pria realis sih, barang pasaran. Di setiap warung di lorong sempit pun tersedia dengan stok yang banyak. Pria yang mengutamakan penghasilan rupiah daripada kepuasan hati. Jumlahnya sangat banyak khan?
Saya sendiri tidak berani menggolongkan diri sendiri ke dalam pria idealis atau pria realis. Menurut anda?

*Saya persembahkan tulisan ini untuk kawan-kawan yang mencerahkan malam-malam saya. salam tabik

Tidak ada komentar: