Rabu, Agustus 17, 2016

Bandit Bandot


Ada satu ajaran dari Almarhum ayah saya tentang laki-laki yang saya ingat. Menurut ayah saya, laki-laki yang mumpuni selain harus bisa melindungi dan mengayomi, juga mampu mencukupi. Tentu, batasan mencukupi, akan berbeda antara satu keluarga dengan keluarga lain. Minimal tempat penyimpanan beras tidak pernah tandas, adalah satu tanda dasar. Tentang lauk, kita masih orang Indonesia yang menempatkan nasi di atas segala-galanya menu.
Bagaimana dengan kemampuan pemenuhan kebutuhan? Tentu seorang laki-laki harus bekerja untuk mendapatkan upah. Upah kemudian untuk dibelikan kebutuhan dan pemenuhan kebutuhan lainnya, termasuk sandang dan papan. Sederhana memang, tapi kadang menjadi tidak sederhana bila tidak ada pekerjaan. Bila kebutuhan menjadi pengeluaran tetap, sedang upah tidak bisa diharapkan tetap adanya.
Salah satu cara untuk memenuhi kebutuhan adalah menambah pekerjaan atau meningkatkan upah yang didapat. Bila tidak, bagi laki-laki berpikiran pendek, kejahatan adalah salah satu cara pemenuhan kebutuhan tersebut. Banyak kejahatan yang bisa dilakukan, tergantung pilihan yang di depan mata.
Sebagian bagi yang bernyali besar, akan merampas atau mencuri. Sebagian yang lain yang merasa cukup percaya diri dengan kemampuan tipu muslihat, akan menebar rayuan untuk mendapat keuntungan. Sedang yang merasa tidak cukup nyali beraksi sadis, bisa melibatkan diri dalam jaringan penyalahgunaan narkoba atau pun perjudian. Resikonya, sama-sama hidup tidak tenang karena selalu dalam incaran polisi.
Ada yang mengatakan, kejahatan yang dilakukan oleh anak di bawah umur bisa dimasukkan ke dalam kenakalan. Atas dasar inilah,  beberapa negara memberlakukan anak tidak bisa dihukum untuk kejahatan-kejahatan sedang. Di Indonesia sendiri, sistem peradilan anak baru diterapkan beberapa waktu lalu. Sistem peradilan yang masih memberikan peluang antara korban dan keluarga terlapor yang masih di bawah umur untuk berunding.
Masalahnya, kenakalan kejahatan ini ada yang terbawa sampai di usia dewasa. Malah ada yang menjadikan kejahatan sebagai mata pencaharian untuk pemenuhan kebutuhan. Untuk golongan ini, tentu saja pengecualian. Tindakan tegas harus diterapkan karena kejahatan untuk tujuan pemenuhan kebutuhan akan lebih tinggi dan meminta lebih banyak daripada sekedar kenakalan anak-anak.
Terlebih bila kemudian, aksi para bandit berusia bandot ini terulang dan terulang lagi di kemudian hari. Seperti yang dilakukan oleh M Hasan (46), warga Sencaki yang kembali masuk penjara untuk ketiga kalinya. Bagi Hasan, masuk penjara adalah salah satu bagian dari resiko yang harus dijalaninya. Mungkin bagi dia, penderitaan yang dialaminya, termasuk nyerinya luka tempat di kaki kiri adalah pengorbanan seorang laki-laki pada keluarganya.
Tapi Hasan lupa, ada resiko lain yang ditanggung bukan olehnya melainkan dirasakan keluarganya. Rasa malu pada masyarakat, ditinggal bertahan sendirian tanpa laki-laki, mungkin luput dari pikiran Hasan. Bagaimana istri dan anak-anaknya bertahan dari kelaparan selama ditinggal menjalani hukuman, belum tentu masuk pikiran Hasan. Belum lagi bagaimana perasaan anak-anaknya yang tahu bila bapak yang harusnya melindungi dan menjaganya, malah masuk penjara.
Bila pikiran Hasan dan orang-orang segolongan dengannya sangat picik dan dangkal, saya menyimpan makian untuk mereka. Kalau di otak mereka hanya terlintas pikiran bagaimana cara memenuhi kebutuhan tanpa penganyoman, ini makian saya. Dasar bandit bandot! (banditmemo@yahoo.co.id)

Tidak ada komentar: