Rabu, Oktober 05, 2016

Antara Hajatan dan Hujatan



Bulan ini adalah bulan Dzulhijah atau di penanggalan Jawa dikenal dengan Bulan Besar. Bulan yang diyakini adalah bulan baik untuk menggelar pernikahan, sunatan ataupun pindahan rumah. Sebulan sebelumnya, di penanggalan Jawa disebut bulan Selo atau bulan Dzulkaidah. Bulan selo yang dalam arti Jawa adalah lubang yang menganga pada tanah tandus, diyakini bulan yang buruk untuk hajatan.
Saya jadi ingat dengan hajatan anak saya, sekitar 10 tahun lalu. Saat itu saya mertua saya yang diyakini bisa menghitung hari baik, masih belum meninggal. Sebagai menantu –semata-mata menghormati-, saya pun minta dicarikan hari baik untuk hajatan anak saya. Secara pribadi, saya tidak ingin dianggap anak (menantu) yang lancang kepada orangnya.
Hanya saja, saya sebelumnya sudah mengajukan syarat untuk hari baik yang saya minta. Apakah itu? Hari baik yang saya minta adalah bulannya terserah, asal hari akhir pekan dan awal bulan masehi. Pertimbangan saya sederhana. Seluruh teman saya bergaji berdasar penanggalan Tahun Masehi, bukan Hijriah.
Tapi resiko dianggap sebagai bulan baik, di bulan yang juga dibarengi dengan Idul Adha dan ibadah haji, banyak yang menggelar hajatan. Bagi yang punya banyak relasi dan kenalan, bisa jadi bulan ini adalah bulan yang berat untuk anggaran buwuhan. Syukurlah, bulan ini saya hanya dapat undangan dari 2 teman baik saya.
Tapi apakah ini bulan berat hanya bagi yang punya banyak kenalan? Tidak. Saya yang hanya mendapatkan 2 undangan saya, masih merasakan berat yang lain akibat kebaikan bulan ini. Bulan ini juga bulan yang berat bagi orang-orang yang menghabiskan hari-hari siang dan malamnya di jalanan. Kenapa?
Ya karena banyaknya orang menggelar hajatan, membuat banyak jalan dan gang yang ditutup total untuk lokasi terop. Resikonya, bila ingin melintasi, kita harus merubah rute yang biasanya disediakan oleh keluarga yang berhajat. Kadang kita dilewatkan lorong yang lebih kecil dan di sela-sela rumah penduduk. Bagi yang berkendara roda dua, sudah membuat sulit apalagi yang mengendarai roda empat. Tentu kesulitannya bila kadung berhadapan dengan jalan ditutup karena hajatan, harus putar balik dan melingkar ke jalan yang lebih jauh.
Saya sendiri sering menghujat dalam hati bila melihat terop menutup seluruh badan jalan. Ini karena kadang saya harus berburu dengan waktu janjian dengan teman atau pun jadwal kantor. Seandainya, mereka menyisakan sebagian ruas jalan dan ditambah dengan pengatur lalu lintas, saya yakin tidak bakal hilang kemeriahan hajatan mereka.
Saya malah bisa memastikan, hajatan akan lebih meriah tanpa diselingi dengan hujatan pengguna jalan yang terpaksa menggerutu karena arusnya dialihkan ke jalur yang tak jelas. Kendatipun harus antri dan sedikit bersabar, pengguna jalan akan memaklumi bila diatur bergantian melintas di samping terop. Bayangkan, bila pengguna jalan terlanjur masuk ke ruas jalan dan terhenyak saat melihat larangan dilarang masuk dan dijaga hansip kampung. Terpaksa dia harus memutar dan tentu saja diselingi dengan gerutuan dan hujatan.
Jadi, bila Anda hendak punya hajat, silahkan gunakan jalan di depan rumah anda. Tapi sisakan sekedar untuk lalu lintas pengguna jalan, bukan hanya undangan hajatan anda. Silahkan berhajad, jangan biarkan kami mengumpat dan menghujat. (penulis adalah Wartawan Harian Pagi Memorandum)

Tidak ada komentar: