Selasa, Januari 22, 2008

TETAP JADI RELAWAN MESKI USIA DIVONIS TAK PANJANG



3 Si banditmemo bersama Ajeng. Berita ini diturunkan Tabloid Nova saat tinggi Ajeng masih 174 cm. Sekarang, tiggi tubuh Ajeng sudah 184 dan sudah tidak banyak berdiri. sehari-hari, 90 persen hari-harinya dihabiskan di ranjang.(dok)
---------------------------

Sejak kecil, gadis berusia 20 tahun ini mengidap marfan syndrome. Dokter menyatakan, usianya tak panjang. Cobaan berikutnya, kakak tertuanya jadi pecandu narkoba hingga meninggal. Di sisa hidupnya ia jadi relawan antinarkoba. Demikian ungkapan Wahyu Ajeng Suminar.

Aku adalah anak bungsu dari enam bersaudara. Saat lahir di Surabaya, aku tumbuh seperti bayi pada umumnya, sehat dan montok. Namun, setelah beberapa tahun, tubuhku tidak seperti bayi pada umumnya, pertumbuhan tulangku begitu cepat bertambah. Keanehan lainnya, aku masih ingat ketika masih berusia 5 tahun, tubuhku begitu lentur seperti gadis plastik yang ada di sirkus.

Bukan itu saja bersamaan dengan itu pandangan mataku juga semakin tidak sempurna. Kalau melihat di alam bebas, maksimal jarak pandangku cuma sejauh 3 meter. Sebaliknya kalau untuk membaca, aku baru bisa membaca dalam jarak 3 centimeter. Akibatnya, bibirku selalu berwarna hitam. Kenapa? Saat usia lima tahun itu aku, kan, sudah bisa membaca dan menulis dengan lancar. Nah, karena membaca terlalu dekat, bibirku sampai nempel ke tinta buku itu.

Sudah begitu, untuk bisa membaca dengan jelas, aku harus rela berpanas-panas di halaman rumah. Sebab, kalau tidak mendapat sinar matahari yang cukup, aku tak mampu melihat huruf-huruf tulisan.

JADI JURU BICARA
Kondisiku yang tidak semestinya tentu saja membuat orang tuaku curiga. Mereka segera membawaku ke RSUD Dr. Soetomo. Setelah diperiksa dokter, barulah diketahui, aku mengidap penyakit marfan syndrome. Penyakit ini sangat langka di dunia dan sampai saat ini belum ada obatnya.

Orang tua begitu cemas saat dokter memprediksi usiaku tak akan panjang. Sebab, pertumbuhan tulang yang menjulur begitu cepat, secara otomatis akan menarik otot dan saraf organ lain. Di antaranya jantung maupun mata.

Memang umur manusia ditentukan Tuhan, tapi ujaran dokter tak sepenuhnya salah. Kenyataannya, seiring bertambahnya umur, jantungku sering sakit. Bahkan, sekarang aku sudah tidak bisa melihat sama sekali. Semua ini akibat saraf-saraf mata putus karena tertarik bersamaan dengan pertum-buhan tulang yang begitu cepat.

Sekarang dengan tinggi badanku 174 cm, menurut dokter masih akan bertambah. Apalagi sampai saat ini aku masih belum menstruasi. Beberapa waktu lalu, seorang dokter yang menanganiku berniat memberi obat agar aku cepat menstruasi. Maksudnya supaya pertumbuhan tulangku agak terhambat. Rencana itu dibatalkan karena khawatir pemberian obat akan memicu kerusakan pada jantungku.

Akibat pertumbuhanku yang tak sempurna itu, aku tak pernah mengenyam pendidikan formal. Aku pernah sekolah di Yayasana Pendidikan Anak Buta (YPAB), tapi cuma berlangsung tiga bulan karena aku sakit. Kendati demikian, aku tak patah semangat. Di rumah aku selalu belajar sendiri. Setiap koran, majalah, atau apa saja, selalu kubaca.

Kendati tak pernah sekolah formal, prestasiku tak kalah dibandingkan dengan teman-teman sebayaku. Bahkan, setiap kali mengikuti cerdas cermat Taman Pendidikan Al Quran (TPA) mulai dari tingkat RT sampai Kodya Surabaya, aku yang ditunjuk sebagai juru bicara. Beberapa kali aku sempat meraih juara.
Ya, aku memang memiliki kelainan bawaan. Namun, semua itu tak mengurangi keceriaanku. Aku melewati masa kanak-kanak dengan ceria bersama teman-teman sebaya.

PECANDU NARKOBA
Keceriaan di waktu kanak-kanak terputus ketika tahun 1993, kakak pertama bernama Surya, terlibat narkoba. Kala itu, ia tengah kuliah di Bandung. Kecurigaan keluarga bermula ketika ia sering minta Ibu, Wijayaning Wahyuni (49), mengirimi uang. Agar Ibu mau kirim uang, ia selalu berdalih dengan berbagai macam cara.

Saat pulang ke Surabaya, Mas Surya dicecar Ibu, kenapa ia sering sekali minta uang. Akhirnya, ia mengaku terus terang sebagai pecandu narkoba jenis putau. Yang sangat mengejutkan, ia tergolong pecandu berat. Bayangkan, ia sehari bisa menghabiskan uang Rp 450 ribu untuk membeli barang haram itu.

Sejak itu, kuliahnya di desain dan fotografi berhenti. Kehidupan keluarga kami pun benar-benar suram. Sebab, meski keluarga sudah tahu kelakuannya, Mas Surya tetap tak sembuh. Bahkan, kalau ia sedang kecanduan, ia memaksa Ibu memberinya uang untuk beli putau.

Bila Ibu tidak memberi, Mas Surya siap dengan sebilah pisau untuk menghabisi Ibu. Bahkan, Ibu dikejar-kejar di jalanan kampung dengan pisau terhunus, itu sudah pemandangan biasa. Karena pengetahuan kami tentang pecandu narkoba amat terbatas, kami sekeluarga bingung harus bagaimana memperlakukannya.

Yang semakin membuatku terpukul, di saat bersamaan kehidupan rumah tanggaku mengalami keretakan. Akhirnya, ayah dan Ibu memilih cerai. Namun, retaknya rumah tangga mereka, tak juga menyadarkan Mas Surya. Tetap saja ia memaksa Ibu memberinya uang.

Ibu yang hanya seorang diri bekerja sebagai tenaga pemasaran di sebuah perusahaan asuransi, tentu dibuat kelabakan. Oleh karena tak punya uang lagi, semua barang yang ada di rumah terpaksa dijual satu per satu. Bahkan, sampai barang yang tak berharga. Mulai dari kain jarit, remote control, meja kursi, barang pecah belah, sampai pagar rumah dijual kepada tukang loak!

Semua itu, masih juga tak menyadarkan Mas Surya. Dengan sangat terpaksa karena jiwanya diancam Mas Surya, Ibu sampai menjual rumah, satu-satunya barang berharga yang tersisa. Sejak itu pula kehidupan keluarga kami semakin parah. Entah sudah berapa kali pindah dari satu kontrakan ke kontrakan yang lain.

(TabloidNova.com)

Tidak ada komentar: