Sabtu, Desember 08, 2007

Loyalitas Tanpa Batas (cerpen)

Sore itu, sekitar pukul 17.00, lelaki itu datang menghampiriku. Dengan karung berisi rongsokan barang dan kaos kumalnya dan mulai berbau. Rambutnya, acak-acakan dengan muka hitam lebam karena banyak terbakar matahari. Aku tidak mengenal namanya. Aku hanya sudah 6 tahun ini menjadi temannya di kala malam.Biasanya, setiap kali dia datang, dia langsung meletakkan karungnya dan menghela nafas panjang. Kemudian tidur dengan sebagian tubuh berada di bawah naunganku. Sebuah sarung yang tak kalah usangnya pun mengelimuti tubuhnya dari gigitan nyamuk dan dinginnya malam. Kalau musim hujan tiba, dia membawa selembar plastik yang dibuat segitiga dan menjadinya benteng dari cucuran air hujan.Aku adakah sebuah meja di sebuah taman kota kecil. Dan sudah 6 tahun ini aku menjadi teman setianya di kala malam. Aku merasa sangat dekat dengannya karena saat aku mulai dibangun, dia datang dan mulai menemaniku sejak aku dilahirkan. Karena itulah, aku merasa menjadi satu saudara dengannya. Terlebih beberapa kali lelaki berbadan sedang itu mengajakku ngomong, walaupun sepatah dua.Seperti yang dilakukan sore itu saat pertama kali dari kegiatannya di kala siang, menyusuri jalan-jalan kota mengkais tempat sampah mengambil barang yang dibuang untuk kemudian dijual ke pengepul barang bekas. Ya… bagi banyak orang dan mungkin semua orang, lelaki berusia 35 tahunan itu adalah gelandangan.Tapi selama 6 tahun ini, aku merasa banyak yang aku anggap aneh, tapi tidak pernah berhasil aku kuak. Beberapa kali atau kalau bisa aku anggap sering, lelaki itu berbincang dengan penjual bakso, penjual mi goreng, tukang becak yang sesekali datang ke taman dimana aku berada. Mereka berdua berada jauh dari aku dan tentu saja, lelaki gelandangan itu makan apa yang dijual mereka. Yang aneh, lelaki yang tinggal bersamaku itu tidak pernah membayar apapun yang dimakannya. Malah kalau tukang becak itu datang, memberi uang yang cukup lumayan untuk seorang tukang becak. Pernah suatu malam, lelaki itu bergumam kepadaku,” meja temanku, malam itu tukang becak itu memberiku uang Rp 500 ribu. Jadi selama satu minggu aku bisa santai tanpa harus keliling.” Luar biasa khan, seorang tukang becak memberi uang sebanyak itu kepada seorang gelandangan. Aku yakin, seorang dermawan sekalipun tidak akan melakukannya.Dan biasanya, malam usai pertemuannya dengan tukang becak, lelaki gelandangan itu membeli beberapa botol minuman keras dan menghabiskannya di sampingku. Setelah mabuk, lelaki itu pun tidur dengan pulasnya sampai pagi menjelang. Aku benar-benar tidak tahu siapa lelaki yang selama 6 tahun menemaniku setiap malam. Aku masih ingat jelas, saat dia datang pertama kali, 6 tahun lalu. Saat itu, aku masih berupa bentuk kasar karena taman sedang direnovasi dan aku ‘dilahirkan’. Aku melihat dia datang dengan rambut cepak dan badan tegap dengan tas ransel di punggungnya. Malah semula aku menganggap dia adalah pengawas proyek pembangunan taman ini, tapi ternyata salah. Sampai selesai dan mempercantik taman kota pun, lelaki itu yang lambat laun tubuhnya menjadi lebih kurus dan kehilangan otot-otot kekarnya, tetap bersamaku di taman kota ini.Dan misteri tentang lelaki itu pun terkuak. Bermula dari kedatangan lelaki yang juga sama dengannya yaitu dengan karung dan kaos kusamnya ke taman. Yang membuat misteri itu terkuak adalah obrolan keduanya dilakukan di sampingku. Mereka duduk di bangku yang ada di sekelilingku. Aku sempat merasakan dua bungkus rokok Dji Sam Soe diletakkan di atasku.“Bagaimana kabarnya, Bang Zul,” kata gelandangan yang baru datang. Ah,, ternyata nama lelaki yang sudah 6 tahun bersamaku adalah Zul. Entah Zulkarnain atau Zulkifli, aku belum tahu.“Baik. Darimana kamu tahu aku di sini. Padahal, aku sudah mencoba lari dan sembunyi di sini. Buktinya, aku berhasil menghilang selama 6 tahun dari anak-anak markas. Beberapa anak wilayah memang sudah tahu dan banyak yang membantuku. Apa kamu diperintah komandan,” kata Zul.Mendengar kata-kata markas, komandan dan wilayah, aku semakin bingung. Aku berhasil mengetahui siapa nama lelaki itu, tapi makin banyak misteri yang muncul. Yang aku tahu, 3 kata itu sangat erat dengan kesatuan tentara atau sejenisnya.“Tidak ada perintah kok, Bang. Aku hanya ingin bertemu karena lama tidak bersua. Dan ingat, kita khan memang dilatih untuk menyamar, mengintai dan membunuh,” kata lelaki itu.“Memang, kamu adalah salah satu andalan kesatuan. Tak heran memang, kalau kamu sempat jadi siswa taruna terbaik dalam penyamaran dan pengintaian. Dan kamu tetap Agus yang dulu aku kenal,” kata Zul memanggil temannya itu. “Udah lama datang ke sini,” kata Zul lagi.“Baru satu minggu. Sebenarnya, kedatangan saya adalah untuk menyiapkan kedatangan menteri karena ada kabar akan didemo mahasiswa karena kebijakannya. Dan setelah aku bertemu dengan beberapa anak wilayah, aku tahu kalau Bang Zulkarnain ada di sini, sembunyi. Aku tahu Bang Zul dikejar-kejar PM, tapi aku juga tahu kalau itu mereka lakukan hanya pura-pura. Yang aku tidak tahu, bagaimana mungkin Bang Zul melakukan pembunuhan pengusaha itu di tempat huburan malam,” kata Agus sambil mengambil sebatang rokok dan menyulutnya.Sebelum menjawab pertanyaan itu, lelaki yang ternyata bernama Zulkarnain itu menghela nafas kemudian mengambil rokok dan menyulutnya. Beberapa saat, Zul menikmati rokok kretek itu dan setiap membuang asap, selalu disertai dengan helaan nafas panjang.“Sebelum aku jawab, aku ingin bertanya kepadamu. Apa yang diajarkan kesatuan kita saat pendidikan,” kata Zul.“Kita adalah pelindung negara dan loyal pada pimpinan, apapun itu resikonya,” jawab Agus.“Lalu, apa yang kita cari di dunia ini dan apa yang dipersembahkan untuk anak dan istri kita,” kata Zul lagi.“Kehormatan seorang prajurit, loyalitas pada kesatuan dan kesejahteraan untuk keluarga kita,” kata Agus yang sepertinya makin tidak mengerti dengan arah pembicaraan Zulkarnain.“Itulah yang aku cari, aku pertahankan dan telah aku dapatkan. Kehormatan seorang prajurit, loyalitas tanpa batas dan kesejahteraan untuk anak dan istriku di rumah sudah aku dapatkan. Dan kalau pun kondisiku seperti yang kamu lihat sekarang, itu hanya salah satu caraku untuk mencapainya,” kata Zul dengan nada tegas dan berwibawa. Sungguh aku sendiri yang sudah 6 tahun ini bersamanya, tidak pernah mendengar suara tegas dan mantap seperti malam itu. Dan obrolan itulah, yang akhirnya membongkar tabir misteri tentang Zulkarnain.Ternyata, Zul adalah salah satu anggota pasukan elit negara yang dibekali dengan kemampuan khusus termasuk menyamar, mengintai dan 1001 cara menaklukkan sekaligus membunuh lawan. Dan Zul adalah satu dari sedikit anggota pasukan elit dengan kualifikasi khusus dan ketrampilan khusus tersebut.Pada 6,5 tahun lalu, terjadi pembunuhan pengusaha di sebuah tempat hiburan di ibu kota. Pengusaha itu roboh dengan tikaman pisau jenis sangkur tepat di ulu hatinya. Dan dari hasil pemeriksaan, pelakunya adalah tentara berpangkat Sersan dan bernama Zulkarnain.Kata Zulkarnain kepada Agus, itu dilakukan karena pengusaha itu mengancam akan membongkar rahasia hubungan baiknya dengan Kolonel Hendra dalam hal permainan kredit palsu dan pembobolan keuangan negara. Karena merasa wajib melindungi nama baik kesatuan dan komandannya, Zul terpanggil untuk menyelesaikan masalah itu dengan caranya.Akibatnya, pemberitaan media massa memaksa Zul menghilang dan seakan-akan menjadi buronan kesatuannya. Padahal, kesatuannya sendiri sudah tahu alasan Zul melakukan pembunuhan dan mereka maklum. Dalam tubuh kesatuan itu, perbuatan Zul bisa dibenarkan, walaupun oleh negara dan hukum terlebih masyarakat, akan disalahkan.Yang melegakan Zul, selama dirinya kabur, kesatuannya selalu memperhatikan istri dan anak laki-lakinya. Malah, beberapa waktu setelah ‘menghilang’, Zul mendapat kabar kalau anak lelakinya mendapat free pass untuk menjadi tentara dan bergabung dengan pasukan elit seperti dirinya.“Aku tahu sekarang Kolonel Hendra sudah jadi Jendral dan aku ikut bangga kepadanya. Dan kalau anakku sudah masuk, dia akan mudah menemukan aku di sini. Aku akan menunggunya di sini, di taman ini. Aku sadar dan rela melakukan pelarian ini karena bukankah 1 jendral setara dengan 1000 kopral,” kata Zul dengan nada mantap, menutup pembicaraan dengan Agus. Dan lewat tengah malam, Agus pun pergi setelah sebelumnya memberi uang Rp 1 juta kepada Zul.Sepergiannya Agus, Zul pergi membeli minuman keras kegemarannya. Minuman dalam botol pipih itulah yang menjadi minuman kesukaannya. Dan malam itu, dia membeli minuman itu sangat banyak. Malam itu pula, aku juga baru tahu kalau penjual bakso, mi goreng atau tukang becak itulah yang dikatakan sebagai anak wilayah.Malam itu pula, Zul minum sendirian sangat banyak. Jauh lebih banyak dari malam-malam selama 6 tahun bersamaku. Dan seperti biasanya, di akhir pesta minuman itu, Zul pul tertidur di sampingku. Tapi paginya, sampai matahari terbit serta banyak orang yang olahraga pagi, Zul tetap belum bangun. Padahal biasanya, dia selalu bangun, walaupun mabuk berat. Dan sepanjang malam, aku juga tidak merasakan gerakan tubuhnya atau sekedar merubah posisi tidurnya.Sampai siang pun Zul belum juga bangun. Aku melihat beberapa lalat mulai datang dan mengerubuti hidungnya. Dan setelah seorang penjaga taman menghampirinya, aku tahu kalau Zul telah mati. Tak lama kemudian, banyak polisi datang dan membawa mayatnya ke rumah sakit. Aku sempat melihat label mayat yang diikat di jempol kakinya tertulis Mr X alias laki-laki tanpa identitas.Padahal aku tahu siapa dia dan darimana asalnya. Aku juga tahu lelaki yang kini terbujur kaku pernah menjaga kedaulatan negara dari pemberontakan yang ingin mendirikan negara sendiri. Tapi aku tidak bisa cerita kepada penjaga taman atau pun polisi-polisi yang datang itu.Sepanjang siang sampai sore menjelang, aku termenung sendiri mengenang Zul yang kini sudah mati tanpa dikenali. Aku bayangkan, tubuhnya akan menjadi ajang latihan mahasiswa kedokteran dan akhirnya dimakamkan di pemakaman tanpa nama. Tanpa kalimat Sersan di depannya dan tentu saja tidak di taman makam pahlawan, walaupun Zul sangat layak mendapatkannya.Dan di tengah lamunanku mengenang perjalanan selama 6 tahun bersama Zul, lelaki yang akhirnya aku kenal di akhir hayatnya itu, datang seorang lelaki. Badannya, masih terlihat tegap walaupun rambutnya mulai panjang. Tatapan matanya, cukup tajam dan terlihat sangat waspada.Beberapa hari sebelumnya, aku dengar berita tentang seorang mahasiswa yang menghilang dan akhirnya ditemukan menjadi mayat terapung di sebuah sungai. Di tubuhnya, ditemukan jeratan di lehernya hingga tulang lehernya patah. Dan dari berita itu juga, diduga kuat pelakunya adalah TENTARA.Ah... semoga lelaki yang baru datang itu adalah tentara yang juga ‘menghilang’ karena kesalahan yang dilakukan untuk membela kehormatan prajurit dengan korban mahasiswa itu. Kalau iya, aku bisa lega karena leluasa melepas kerinduan dan mengenang Zulkarnainku yang telah pergi. Selamat jalan Bang Zul.
Surabaya, 24 Juli2006.

Tidak ada komentar: