Kamis, September 18, 2008

Siksaan 17 Tahun tak Mengalahkannya


Penderitaan dan cobaan panjang pada kehidupan Wahyu Ajeng Suminar (22), berakhir sudah. Ini setelah Kamis (18/9) sekitar pukul 13.30, anak bungsu dari 6 bersaudara ini dinyatakan meninggal dunia. Hingga semalam, jenazahnya masih disemayamkan di Kamar Mayat RSAL Dr Ramelan dan Jumat (19/9), akan dimakamkan di Makam Tembok.

Penderita Marfan Syndrome ini akhirnya meninggal setelah hampir 17 tahun akrab dengan kelainan genetika yang membuat tubuhnya meninggi dan pembuluh tubuhnya menipis karena ditarik pertumbuhan tulang yang luar biasa. Selama itu, Memo yang sempat mengenalnya tidak menemukan keputusasaan pada gadis yang sampai meninggal ini pun belum mengalami menstruasi tersebut.


Keterangan Abi, kakak Ajeng yang kemarin ikut menunggu jenazahnya mengatakan kemarin sebenarnya Ajeng baru saja menjalani Terapi Hyperbarik. Terapi ini yang sempat dikatakan Ajeng kepada Memo beberapa waktu lalu dan dianggap berhasil menurunkan tinggi badannya 3 cm yang semula tingginya lebih dari 185 cm.

Usai menjalani terapi, Ajeng yang harus bergantung pada kursi roda ini minta dilewatkan kamar operasi dimana Ny. Wahyuni, ibu kandungnya menjalani operasi pengangkatan tumor jinak di kandungannya. Di depan kamar operasi, Ajeng masih terlihat ceria dan beberapa kali menelepon teman-temannya.

“Tiba-tiba dia jatuh pingsan dan langsung saya bawa ke dokter jantung. Sekitar satu jam dalam perawatan, nyawanya sudah tidak bisa diselamatkan,” terang Abi. Dugaan Abi, adiknya meninggal karena pembuluh jantungnya pecah.

Sebenarnya sudah sejak lama Ajeng mengeluhkan sesak nafasnya. Tapi memang itu dikatakan akibat nadi jantung yang melar karena tertarik pertumbuhan tulang. Sampai akhirnya April 2007, sesak nafas Ajeng menghebat dan memaksanya dirawat inap di RSAL dr. Ramelan.

Dari hasil pemeriksaan, Ajeng dinyatakan mengalami gagal jantung. Dalam perawatan ini, Ajeng sempat mengalami dua kali drop hingga akhirnya membaik. Tapi sejak itu, Ajeng bergantung pada kursi roda.Sejak itu juga. setiap 6 bulan Ajeng menjalani pemeriksaan echocardiografi. Hasil echocardio grafi pada September 2007 menunjukan ukuran diameter aorta jantungnya masih 4,24 cm. Tapi pada Maret 2008 atau 6 bulan kemudian, diameter aorta jantungnya sudah mencapai 4,59 cm. Kondisi ini membuat nyawa Ajeng bak di ujung tanduk.

Tapi dalam beberapa kali kesempatan, kepada Memo, Ajeng sering mengatakan tidak akan putus asa. “Bagi saya bukan kapan saya meninggal tetapi yang terpenting adalah saya bisa memberikan sesuatu yang bermanfaat dalam menjalani hidup dan terus semangat,” katanya. Selamat Jalan Ajeng, terima kasih untuk pembelajaran semangatnya. (kisah tentang gadis malang sebelumnya pernah saya postingkan pada Januari 2008)

4 komentar:

Kristina Dian Safitry mengatakan...

semoga Ajeng cepet sembuh total ya? turut berdoa dari jauh.

Anonim mengatakan...

Ikut berduka cita dan Ajeng memang inspiratif

banditmemo mengatakan...

to dhita: saya mengenal ajeng dan keluarganya sudah hampir 5 tahun ini. kalau sampean kenal juga, pasti akan makin takjub dengan pandangan hidupnya.

LOMBOK! mengatakan...

Ajeng bisa jadi contoh buat kita, wartawan, yg sering juga mengeluh tentang susahnya hidup.

gaji yg selalu kurang, himpitan ekonomi, sampai tekanan atasan.

tapi bagi mereka yg mengenal Ajeng, perempuan tangguh ini tidak mati. dia tetap hidup. semangatnya terus bergelora.

trimakasih buat mas Arif yang mewartakan kabar gembira ini. Tuhan memberkati sampeyan