Minggu, Desember 21, 2008

Bakti Tiada Henti (Refleksi Hari Ibu)

“Seribu Nyawa tetap tak bisa membalas Kasih sehari'. Tulisan itu masih bisa terbaca jelas walaupun tembok itu sudah dicat ulang. Itu adalah tulisan tanganku sekitar 3 tahun lalu. Walaupun mulai samar tertutup cat putih, aku atau siapa saja masih bisa membaca jelas tulisan itu.
Aku tahu kalau ruangan ini adalah ruangan yang tidak mungkin dijamah atau dilihat oleh orang lain. Mungkin ruangan ini sudah dicat tapi karena tidak biasa didatangi, pengecatan dan perbaikan pun dilakukan sekedarnya. Atau malah sekedar menghabiskan anggaran saja.
Sekarang, hari ini, aku kembali di ruangan ini, sama seperti 3 tahun lalu. Ruangan-ruangannya pun masih sama. Malah kamar mandinya yang berbeda dan jauh lebih rusak dibandingkan dengan 3 tahun lalu. Pintu kamar mandinya mulai sulit ditutup. Besi jeruji di langit-langit ruangan tambak makin berkarat.
Belum puas aku mengenang kembali kisah 3 tahun lalu, Pak Budi datang dan memanggilku. “Rahmad, ayo ikut ke Kamar Mayat untuk melihat,” terang Pak Budi yang sudah aku kenal 3 tahun lalu. Akhirnya, aku dan Pak Budi pergi ke Kamar Mayat dengan pengawalan 2 polisi. Dua tanganku terborgol walaupun mereka yakin sepenuhnya, aku tidak akan melarikan diri. “Prosedurnya seperti itu, Mad. Jadi gak usah dimasukkan hati,” kata Pak Budi yang rambutnya mulai memutih.
Kurang dari 30 menit dalam perjalanan, akhirnya kami sampai di kamar mayat RS. Di atas brankar besi, aku melihat mayat laki-laki yang sangat aku kenal. Dia adalah Bambang, pamanku sendiri.
Aku melihat dengan kepalaku sendiri luka menganga di perut, leher dan pergelangan tangannya. Ya... itu adalah luka akibat sabetan aritku, pagi tadi. Aku juga melihat bekas tanah di sekujur tubuhnya dan itu adalah akibat aku seret sepanjang jalan desa, depan rumahku. Pagi tadi, aku benar-benar kesal dengan ulah pamanku itu.
Mataku kembali menerawang tentang kejadian tapi pagi. Tadi pagi, aku baru saja bebas dari tahanan karena membunuh bapakku sendiri. Saat pulang, aku melihat ibuku sedang meronta di dapur. Aku yang mendengarnya, langsung menuju dapur dan melihat pamanku sedang menindih ibuku. Sedang ibuku tak berkutik walaupun terus meronta dan berusaha menyadarkan ulah pamanku.
Aku yang baru saja menempuh perjalanan jauh dan merasakan capek, sudah tak bisa menahan diri melihat pemandangan seperti itu. Langsung saja aku mengambil sabit yang dulu sering aku gunakan mencari rumput dan dengan sekuat tenaga, aku ayungkan ke arah Bambang, pamanku. Tanpa mendapat perlawanan yang berarti, aku leluasa membabatkan sabit ke arah pamanku.
Aku sudah tidak peduli dengan teriakan emakku yang histeris melihat aksiku membantai pamanku. Kemarahanku sudah mencapai puncak dan tanpa rasa kasihan aku menyeret tubuh pamanku yang mandi darah ke halaman dan sampai di jalan desa. Aku tidak peduli walaupun pamanku hanya mengenakan kaos singlet dan celana dalam yang sudah melorot sampai lutut.
Aksiku baru berhenti setelah beberapa tetangga dan perangkat desa datang meneriakiku agar menghentikan amukanku. Aku menuruti mereka dan sekilas aku melihat tubuh pamanku sudah tak bergerak lagi. Mungkin, dia sudah mampus dan memang saat beberapa tetangga mendekat, sudah tidak ada tanda-tanda kehidupan di tubuh paman.
Tak lama kemudian, datang polisi yang langsung mengamankan aku dan membawa mayat pamanku ke kamar mayat. Aku pun manut saja, termasuk saat polisi memborgol tanganku dan mengamankan sabit yang masih berlumuran darah.
Beberapa tetangga sempat aku lihat dan corot mereka seperti memandang kasihan, tapi aku tidak mempedulikan. Sekilas, apa yang terjadi pada pagi itu sama persis dengan 3 tahun lalu.
Di kantor polisi pun, kejadian 3 tahun lalu pun nyaris sama terulang. Pertanyaan dari kondisi kesehatan sampai dengan perlukah didampingi pengacara, semuanya ditanyakan dan aku jawab. Saat mereka meminta aku menceritakan apa yang aku lakukan, aku pun menceritakan semuanya dan apa adanya. Termasuk, Pak Budi, penyidik yang memeriksaku pun masih sama dengan 3 tahun lalu.
Kepadaku, Pak Budi tidak tampak garang dan membentak-bentak. Padahal, kepada para pencuri atau perampok yang tertangkap, Pak Budi adalah sosok polisi yang paling ditakuti. Selain, orangnya tidak gampang dibohongi, sikap kasar dan suka menekan dengan cara memukul, sering dilakukannya setiap kali memeriksa orang yang ditangkapnya.
“Sudah, aku buatkan kopi dulu. Biar nggak tegang. Nanti setelah itu, baru kamu aku periksa. Santai saja, wong aku udah kenal kamu dan ini kalau mau merokok, silahkan,” katanya sambil menyodorkan sebungkus rokok kretek kegemarannya. Aku pun mengambil sebatang dan membakarnya kemudian menghisapnya dalam-dalam.
Tak lama kemudian, Pak Budi kembali dan mengajukan pertanyaan. Aku merasa, pemeriksaannya tidak lama karena sebagian besar, Pak Budi sudah tahu jawabanku dan aku tinggal mengiyakan saya jawaban yang dia ajukan. Tentu saja, dia tahu kejadian tadi pagi karena dia juga datang ke rumahku dan ikut mengamankan aku. Malah Pak Budi juga sudah bisa menebak apa jawaban dari pertanyaanku berkaitan dengan alasan pembunuhan yang aku lakukan kepada pamanku.
Sekitar pukul 19.00, pemeriksaan sudah dianggap selesai dan pasal yang dikenakan kepadaku juga sama dengan 3 tahun lalu. Pasal 338 jo 351 ayat 3 tentang pembunuhan dan atau penganiayaan berat yang mengakibatkan hilangnya nyawa seseorang. Aku pun dibawa ke sel tahanan Polsek Kota dimana aku ditahan. Aku sengaja memilih -itupun aku minta kepada Pak Budi- kamar sel yang 3 tahun aku huni.
Di atas tikar pandan yang mulai lapuk, aku membaringkan tubuhku dan kembali mengenang apa yang terjadi pada 3 tahun lalu. Aku teringat dengan No, laki-laki yang sudah membuahi emakku hingga akhirnya aku lahir. Aku memang memanggilnya dengan No saja walaupun aku harusnya memanggil dia bapak karena memang dia adalah bapakku.
Memang seharusnya aku memanggil dia seperti itu. Tapi bagiku, dia tidak lain adalah laki-laki pengecut yang tidak pernah bisa bertanggungjawab dengan apa yang telah dilakukannya. Sarino, nama lengkapnya tidak lain adalah lelaki malas, kejam, suka mabuk dan main judi.
Bisa dibayangkan setiap kali kekalahannya di meja judi selalu dilampiaskan kepada emakku yang terus saja sabar mendampingi hidupnya. Selama ini, emak mencari uang dengan cara menjual makanan gorengan di sore hari dan jajanan di depan SD desa di pagi hari. Malah kadang, kalau malam, Emak masih saja membantu mencuci atau menyetrika pakaian beberapa tetangga kami. Aku yakin. Mereka menggunakan jasa emakku hanya karena kasihan, bukan karena memang memerlukan tenaganya.
Walaupun Emak sudah mati-matian membela dan mempertahankan rumah tangganya, No tetap saja menjadi lelaki pengecut yang selalu membayar kekalahan dengan pukulan dan tendangan ke tubuh Emak. No tidak lain adalah lelaki penakut yang lebih sering pulang ke rumah dalam kondisi mabuk.
Sedang aku, anak satu-satunya mereka hanya bisa mendapat kekerasan dan pukulan dari No. Malah sering kali, dia menampar aku tanpa alasan yang jelas. Bagi No mungkin, aku hanyalah sansak yang bebas saja dipukul dan ditendang sesuka hati.
Akibat mendapat perlakuan kejam sejak aku kecil, aku pun menjadi sosok yang sangat membenci bapakku. Dalam setiap kesempatan dan berkumpul dengan teman-temanku, aku sering mengatakan keinginanku untuk membunuh bapakku sendiri karena alasan marah. Marah bukan karena kekejaman yang aku alami, tapi untuk setiap jeritan dan tangisan emak.
Sampai akhirnya, pagi itu, 3 tahun lalu. Saat bangun tidur, aku mendengar teriakan Emak di dapur. Yang lebih aneh lagi adalah teriakan Emak aku dengar lebih histeris dibandingkan biasanya. Dalam benakku, tentu hajaran No sangat luar biasa. Aku pun langsung bangun dan menghampiri Emakku.
Di depan mata, aku melihat tubuh No tergeletak di dapur dengan simbahan darah memenuhi lantai tanah rumah. Aku juga melihat luka tusukan di tubuhnya tak kurang dari 10 lubang yang semuanya mengalirkan darah ke luar tubuh dan melumuri kaos usang yang dikenakan No. Tapi yang lebih mengejutkan lagi saat aku melihat Emak.
Di tangan Emak, aku melihat sebilah pisau yang juga berlumuran darah. Melihat itu, aku langsung merebutnya dan tak lama kemudian, tetangga berdatangan.
Mereka semua melihat aku yang sudah memegang pisau berlumuran darah dan berdiri di depan Emak yang menangisi tubuh No. Tak lama kemudian, perangkat desa dan kepolisian pun datang untuk mengamankan aku dan melarikan tubuh No ke kamar mayat.
Dalam pemeriksaan, 3 tahun lalu, aku mengakui kalau akulah yang membunuh bapakku, bukan Emak. Walaupun Emak terus menangis dan menjelaskan kepada polisi, kalau bukan aku yang membunuh, mereka tidak percaya.
Dalam benak mereka, tangisan dan pengakuan Emak hanya dianggap sebagai usaha seorang ibu menyelamatkan anak semata wayangnya. Jujur saja, itu juga yang aku harapkan, mereka tidak percaya dengan apa yang diomongan Emak,walaupun benar adanya.
Yang membenarkan pengakuan bohongku adalah, beberapa temanku yang dimintai keterangan sebagai saksi pun mengatakan kalau aku sering mengatakan keinginanku untuk membunuh bapakku. Akhirnya, pemeriksaan di polisi berlangsung lancar dan dalam persidangan pun, aku diputus mendekam di penjara selama 7 tahun. Tapi karena selama masa hukuman, aku dianggap baik maka hukuman penjara pun hanya aku jalani 3 tahun saja.
Kini, di atas tikar pandan di dalam sel tahanan polisi, aku kembali merenungi dua kejadian yang membawaku ke balik jeruji tahanan. Dalam hati, aku iklas menjalaninya dan memang benar apa yang aku tulis di tembok tahanan 3 tahun lalu. “Seribu Nyawa tetap tak bisa membalas Kasih sehari”. Sayang, Tuhan hanya memberi aku 1 nyawa.
Aku bangkit dan melihat sekitar kemudian menemukan sebatang arang dan mengambilnya. Aku menghampiri tulisanku 3 tahun lalu kemudian menorehkan arang, tepat di bawah tulisan tersebut. Aku tulis dengan goresan tebal, Kalian Boleh Penggal leherku, tapi jangan sentuh kulit Emakku.(**)

5 komentar:

I W A mengatakan...

mas, ketok e cerito iki podo karo postingan awal smpyan yo?

Aku anak petani mengatakan...

Kayaknya sebentar lagi ada PH (Production House) yang akan ambil skript untuk dibuat sinetron nih....

A1 STOP mengatakan...

Hidup EMAK................................................................................................................................................................................................................................

banditmemo mengatakan...

IWA: Memang sudah agak lama, tapi namanya fiksi ada beberapa bagian yang direvisi sekaligus untuk mengenang hari ibu

SEJUTAASA: Judulnya: Emakku sayang, AKu yang MALANG

A1stop: sepakat walaupun tak selamanya EMAK akan HIDUP

JudithNatalia mengatakan...

wah tulisane dasyaaaattt!