Minggu, Maret 20, 2016

Ingin Jadi Wartawan, Nak? Plak...!!!



Menjadi anak pejabat dan terbiasa serba ada sejak usia muda, memang bisa membuat terlena. Sudah lazim banyak anak pejabat mulai dari tingkat bawah sampai atas yang bertingkah. Kendati beberapa ‘hanya’ terlibat masalah kecelakaan dan sikap arogansi, tapi tidak sedikit yang masuk ke ranah hukum yang serius, narkoba.
Siapa yang patut disalahkan? Apakah sang anak yang tidak juga bisa belajar sabar dan on the track ataukah sang bapak yang tidak bisa mengajarkan bagaimana cara bersikap dan bertindak sebagai pejabat. Pejabat dengan beberapa deret tanggungjawab serta kewenangan yang dibenarkan oleh undang-undang.
Kabar terbaru adalah Bupati Ogan Ilir (OI), Ahmad Wazir Noviadi yang ditangkap petugas Badan Narkotika Nasional (BNN) pusat terkait kasus narkoba. Bupati usia muda ini adalah putra dari Bupati Ogan Ilir sebelumnya, Ir. H. Mawardi Yahya. Jelas, sejak muda, Noviadi melihat pekerjaan bapaknya sebagai bupati.
Sebenarnya, Noviadi bukan baru pertama kali ini menjadi pejabat. Entah karena memang kemampuan pemikiran atau karena kemampuan finansial yang bisa menghimpun suara. Sebelum menjadi bupati, Noviadi menjabat anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) OI periode 2014-2019 dari Partai Golkar.
Anak pejabat lain yang juga menyimpan masalah adalah Fanny Safriansyah  atau yang biasa dipanggil Ivan Haz, anak dari mantan wakil presiden Hamzah Haz. Anggota DPR RI dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) ini sedikitnya terlilit  dua kasus yang mencuat dalam waktu yang berdekatan. Kasus pertama adalah dugaan penganiayaan terhadap pembantu rumah tangga (PRT) dan juga penyalahgunaan narkoba.
Di Jawa Timur, kasus ini juga tidak asing. Sekedar mengingatkan kasus Indra Iskandar, oknum anggota DPRD Kota Pasuruan dari PKB yang digerebek petugas Sat Reskoba Polrestabes Surabaya. Wakil rakyatyang juga anak mantan Walikota Pasuruan, Hasani, diamankan petugas di Hotel Sommerset Jl Raya Kupang Indah saat sedang asyik pesta Narkoba dengan 2 cewek.
Tapi tidak semua anak pejabat, banyak tingkah dan banyak ulah. Walau sedikit, tapi saya mencatat ada nama  Dr. -Ing. Ilham Akbar, MBA atau biasa ditulis Ilham Akbar Habibie. Kendati bapaknya adalah Prof. Dr.-Ing. H. Bacharuddin Jusuf Habibie, mantan Presiden Republik Indonesia yang ketiga, Ilham tidak banyak tingkah.
Ilham adalah orang kedua di Indonesia yang menguasai ilmu pesawat terbang. Orang pertamanya adalah sang ayah sendiri. Melalui PT Regio Aviasi Industri, Ilham membidani Program Regio Prop, proyek pesawat komersial buatan dalam negeri yang merupakan pengembangan dari N-250.
Sebenarnya masih ada beberapa nama anak pejabat yang mulai muncul ke permukaan. Sebut saja Wakil Wali Kota Surabaya, Wishnu Sakti Buana, anak dari Sutjipto, dedenggot PDIP. Tiga anak dari Joko Widodo yaitu Gibran Rakabuming Raka, Kahiyang Ayu dan Kaesang Pangarep serta dua anak dari Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yaitu Agus Harimurti Yudhoyono yang menjadi anggota TNI AD dan Edhie Baskoro Yudhoyono yang menjadi politisi Partai Demokrat.
Tapi untuk anak pejabat ini, saya belum menggolongkan mereka ke kelompok Ilham. Alasannya sederhana. Satu, ini adalah tulisan saya dan barometer pun saya yang menentukan. Alasan kedua tentu saja, saya belum klik (meminjam istilah anak muda) pada nama-nama mereka yang masih berlindung di bayang-bayang nama besar bapaknya.
Belajar dari kasus anak pejabat yang menjadi pejabat karena melihat ayahnya, saya jadi ingat anak saya. Saya harus menyiapkan cara agar anak saya tidak menjadi seperti Ivan Haz, Noviadi ataupun Indra Iskandar. Saya harus menyiapkan cara sebelum anak saya dewasa.
Anda boleh bilang ini nadar atau apa, terserah. Yang jelas, kelak saat anak lelaki saya sudah cukup dewasa untuk menentukan langkah dan cita-citanya, tentu dia sudah memilih pekerjaan atau profesi apa yang diinginkannya.
Bila karena sepanjang hidupnya, di depan mata setiap harinya melihat pekerjaan saya sebagai wartawan, bisa jadi pekerjaan ini juga akan terlintas dalam benaknya. Di depan matanya, sejak kecil, dia sudah melihat semua hal terkait dengan pekerjaan saya.
Berangkat kerja pada jam yang tidak sama. Kadang fajar dan kadang pula siang atau pun menjelang sore. Pulang juga tidak pada jam yang pasti. Kadang sore sudah pulang, kadang malam atau malah kadang menjelang pagi, saya baru pulang.
Atau kombinasi antara jam berangkat dan jam pulang yang juga jelas tidak pasti itu. Kadang saya berangkat pagi dan pulang menjelang fajar dan kadang saya berangkat sore dan pulang sebelum tengah malam. Pekerjaan dengan jam kerja yang tidak jelas dan tidak menentu ini sudah saya jalani –sampai sekarang- lebih dari 17 tahun.
Karena pekerjaan yang tampak dan dipahaminya dengan baik adalah pekerjaan saya sebagai wartawan, sangat mungkin anak lelaki saya pun akan meniru. Sangat masuk akal bila dia pun akan mengatakan keinginannya sebagai wartawan, meneruskan jejak pekerjaan saya. Sebagaimana yang terlintas dalam benak Ivan Haz, Indra Iskandar maupun Noviadi.
Sesaat setelah dia menjawab ingin jadi wartawan, saya akan melayangkan tangan untuk menamparnya. Lalu pertanyaan tentang cita-citanya, akan saya ulang lagi. “Setelah Ayah tampar kamu, sekarang bilang ke Ayah. Apa cita-citamu, nak.”
Kalau dia masih bertahan dengan cita-citanya sebagai wartawan, tentu saya akan memeluknya sangat erat. Sejak itu, tentu saya akan persiapkan dia dengan sangat baik untuk menjadi seorang wartawan yang layak. Tentu, pengalaman selama menjadi wartawan, akan saya gunakan untuk melatih dia agar benar-benar siap bekerja sebagai wartawan.
Bisa jadi akan banyak tugas yang akan dilakukannya. Mulai dari berdesakan di konser musik dengan target mengambil foto artis, ikut kampanye dengan target wawancara dengan juru kampanye, tidur di kamar mayat dan kantor polisi serta hadir di komunikas seni dan sastra. Nyaris, sejak itu, dia akan banyak kegiatan agar semuanya siap bila kelak dia menjadi wartawan.
Tapi bila dia merubah cita-citanya setelah saya tampar, tentu saja saya akan tetap memeluknya. Saya akan minta maaf dan membisikkan kalimat,” nak, kamu tidak punya mental menjadi wartawan. Tamparan ayah tadi hanya ingin menguji keteguhan hatimu saja. Kalau begitu, kamu pikirkan lagi dan pilih cita-citamu. Ayah tetap mendukung cita-citamu.”
Pekerjaan saya ini cukup beresiko berhadapan dengan hal seperti itu. Banyak pekerjaan lain yang dengan bangga mencantumkan alamat rumah dalam kartu namanya. Tidak dengan pekerjaan seperti saya ini. Tidak banyak wartawan yang berani mencantumkan alamat rumahnya pada lembar kartu nama mereka. Dan saya benar-benar tidak berani mencantumkan alamat rumah saya.
Jujur, ada niatan tersembunyi, saya harus menuliskan cerita ini dan mengabarkan ke banyak orang. Saya berharap, anak lelaki saya membaca tulisan ini dan menjadi pertimbangan menentukan cita-citanya. Sehingga saya tidak perlu menamparnya. Jujur saja, saya tidak pernah menghalalkan tangan saya untuk menampar siapa pun. Apalagi darah daging saya sendiri. (Penulis adalah Wartawan SKH Memorandum)*Revisi dari tulisan sebelumnya dengan judul yang sama.

Tidak ada komentar: