Minggu, Maret 27, 2016

Belajarlah pada Wayang



Minggu kemarin, nenek saya di Cilacap meninggal dunia. Nenek yang sangat banyak mengajarkan ilmu hidup kepada saya selama ini. Kalau ada yang mengatakan hubungan cucu dengan nenek jauh lebih akrab daripada ibu dengan anak, saya buktinya. Pertama kali yang mengetahui kalau saya perokok adalah nenek.
Dari sekian banyak nasehatnya, ada satu yang terpatri dalam hati saya. “Dalang ora bakal kentekan lakon”. Artinya, seorang dalang tidak akan kehabisan cerita. Dari sekotak wayang, bisa diceritakan seribu kisah yang sarat dengan nasehat. Dari sekotak wayang, akan kita temukan sosok manusia termasuk pemimpin kita dan diri sendiri.
Tapi dari seribu cerita wayang akan berhilir pada perseteruan 5 pembela kebenaran dengan nama Pandawa melawan 100 pasukan kejahatan dengan nama Kurawa. Hasil akhirnya tentu saja adalah kejahatan tertumpas habis.
Bicara wayang, saya jadi ingat seorang sahabat dari perwira kepolisian yang berhasil saya “Jawa-kan”. Memang teman saya saat itu masih berpangkat Ajun Komisaris Polisi (AKP) setara dengan Kapten dan menjabat sebuah kapolsek itu bukan orang Jawa. Dia berasal dari sebuah suku yang dikenal dengan watak keras dan tegasnya.
Saat itu, saya ngobrol dengan dia usai kegiatan kerjabakti di polsek yang dipimpinnya. Dalam kerjabakti itu, saya melihat dia sangat membaur dengan anggotanya. Tak segan dia juga turut menyapu halaman, mencabuti rumput sampai dengan mengecat pembatas taman dengan warna hitam dan kuning.
Melihat saya datang, dia mengakhiri kegiatannya, hanya untuk menerima saya dan diajak ruang kerjanya. Saya iseng menyapanya dan mengatakan,”Sampean iku mirip Semar, mas.”
Mendengar sapaan saya yang menyamakan dirinya dengan Semar, terlihat jelas keningnya menyerut tanda menyimpan penasaran tapi ada nada kesal. Mungkin dalam benaknya, sosoknya yang pemimpin hanya disamakan dengan sosok Semar, yang dikenalnya dengan penghibur dan peran pembantu. Saya paham dengan perubahan mimiknya dan sebentar membiarkan.
“Sampean nggak kenal Semar, kan,” tanya saya yang dijawab dengan gelengan kepala. Saya paham kalau dia tidak mengerti Semar karena memang dia bukan orang Jawa dan tentu saja tidak paham dengan wayang.
Untungnya, keakraban kami membuat saya tidak segan untuk memintanya browsing di internet dan mencari kisah tentang Semar. Setelah itu, dia membaca naskah Purwacarita yang menceritakan siapa Semar.
Dikisahkan, Sanghyang Tunggal menikah dengan Dewi Rekatawati putra Sanghyang Rekatatama. Dari perkawinan itu lahir sebutir telur yang bercahaya. Sanghyang Tunggal dengan perasaan kesal membanting telur itu sehingga pecah menjadi tiga bagian, yaitu cangkang, putih, dan kuning telur.
Ketiganya masing-masing menjelma menjadi laki-laki. Yang berasal dari cangkang diberi nama Antaga, yang berasal dari putih telur diberi nama Ismaya, sedangkan yang berasal dari kuningnya diberi nama Manikmaya.
Pada suatu hari, Antaga dan Ismaya berselisih karena masing-masing ingin menjadi pewaris takhta kahyangan. Keduanya pun mengadakan perlombaan menelan gunung. Antaga berusaha melahap gunung tersebut dengan sekali telan namun justru mengalami kecelakaan yaitu mulutnya robek dan matanya melebar. Ismaya menggunakan cara lain, yaitu dengan memakan gunung tersebut sedikit demi sedikit. Setelah melewati bebarpa hari seluruh bagian gunung pun berpindah ke dalam tubuh Ismaya, namun tidak berhasil ia keluarkan. Akibatnya sejak saat itu Ismaya pun bertubuh bulat.
Sang Hyang Tunggal murka mengetahui ambisi dan keserakahan kedua putranya itu. Mereka pun dihukum menjadi pengasuh keturunan Manikmaya, yang kemudian diangkat sebagai raja Kahyangan, bergelar Batara Guru. Antaga dan Ismaya pun turun ke dunia. Masing-masing memakai nama Togog dan Semar.
“Sekarang sampean tahu siapa Semar. Dia adalah kakak dari Batara Guru, dewa para dewa. Jadi Semar adalah dewa yang rela dihambakan untuk melayani kebenaran,” kata saya mengintisarikan kisah Semar.
Kawan saya yang mendengar penjelasan saya, tersenyum dan mulai terlihat mimik bangga di wajahnya. Sejak itu, saya tahu dia mulai menyukai gambar Semar. Beberapa kali pic profile BlackBerrynya memasang gambar Semar dan memasang status "Dewa yang rela dihambakan. Saat dia pindah tugas, saya pun memberikan kenang-kenangan gambar Semar yang diukir di selebar kulit kambing.
Bagi saya yang asli orang Jawa, dari wayang kita bisa mengambil banyak contoh pemimpin dari yang paling busuk sampai dengan yang paling baik. Ada sosok wayang yang dikenal tak pernah berbohong dalam hidupnya yaitu Yudhistira. Atau ingin sosok yang pantang menyerah, kita bisa sebut tokoh wayang Bambang Ekalaya atau Palgunadi. Dia pintar memanah walaupun ditolak Resi Durno sebagai muridnya.
Palgunadi pun kemudian membuat patung menyerupai Resi Durno dan belajar di depan patung tersebut. Hasilnya, kemampuan memanahnya beda tipis dengan Arjuna yang diajar langsung oleh Resi Durno. Hebatnya, dalam banyak kisah, Palgunadi pun mengakui dirinya adalah murid Resi Durno.
Di akhir kisah Palgunadi, Durno meminta dirinya memotong telunjuk tangan kanannya sebagai wujud terima kasih telah diajari memanah. Walaupun mengerti resikonya bila jari terpotong akan menghilangkan kemampuannya memanah, Palgunadi tetap memotong jarinya dan mempersembahkan kepada Durno.
Atau anda ingin tahu sosok licik, bisa anda sebut Sengkuni. Paman Kurawa ini memang dikenal suka menjadi kompor dan provokator dalam kisah pewayangan. Sengkunilah yang selalu menyulut kemarahan di kubu Kurawa dan menebarkan kebencian pada Pandawa.
Kalau mencari pemimpin yang paling brengsek, sebut saja Duryudono, raja Kurawa. Seabrek kebrengsekan ada di sosoknya. Mulai dari arogan, sombong, kejam sampai dengan menginjak-injak keadilan. Nyaris tidak ada  kebaikan di balik tokoh wayang antagonis ini.
Jadi, kita adalah wayang. Seperti syair sebuah lagu yang menggambarkan dunia ini semacam panggung dan kita memainkan peran yang kita pilih. Anda boleh memilih jadi Semar, Yudhistira, Paldunadi, Arjuno, Resi Durno atau pun Duryudono. Atau anda memilih tokoh wayang lainnya sebagai wakil sosok anda di dunia kemasyarakatan.
Kalau saya, lebih memilih menjadi sosok Bima atau Werkudoro, tokoh Pandawa yang dikenal dengan sosok tinggi besarnya. Tapi untuk saya, tentu saja bukan sosok fisik yang menyerupainya. Sikap Bima yang tegas tanpa basa-basi, tanpa tedeng aling-aling yang saya anut.
Bima juga dikenal sebagai sosok yang tidak bisa duduk walau di depan dewa atau titisan dewa sekalipun. Oh ya, satu lagi. Bima, satu-satunya tokoh wayang yang tidak bisa bahasa kromo inggil, bahasa yang santun. Kepada Kresna yang merupakan titisan Dewa Wisnu, Bima memanggil dengan jeliteng (hitam). Ini karena memang Kresna digambarkan tokoh yang berwajah hitam. Mau tahu panggilan dan salam hormat Bima kepada Kresna? “Heii, Jeliteng kakangku.
 (terbit di Harian Pagi Memorandum Edisi Minggu 27 Maret 2016)

Tidak ada komentar: