Minggu, April 17, 2016

Euforia Remaja, Gita Gila SMA


Pekan kemarin, adik-adik kita di bangku SMA (Sekolah Menengah Atas) baru saja menyelesaikan ujian nasional (UN). Tapi yang dirasakan adik-adik kita –anak sulung saya baru kelas 7-, sudah seperti berada di ujung hidupnya. Seakan-akan sudah tidak ada hal lain yang menantang setelah UN.
Ungkapan kegembiraan mereka sudah seperti berhasil meraih surga. Baju yang dicoret dan dirobek, konvoi keliling kota sampai dengan mengisinya dengan pesta. Kendati tidak terungkap dalam pemberitaan media, saya meyakini ada beberapa kelompok kecil adik-adik kita yang menggelar pesta. Apa pun itu bentuknya. Mulai dari sekedar pesta makan-makan sampai dengan pesta yang diwarnai dengan minuman keras atau malah seks.
Semoga keyakinan saya salah besar. Tapi melihat beberapa berita tentang mudahnya seorang gadis belia menyerahkan kegadisan kepada kekasihnya, saya rasa dugaan saya cukup masuk akal. Bisa saja dalam benak siswi yang sudah kehilangan kegadisannya akan merelakan kehangatan tubuhnya untuk teman sekolahnya. “Untuk kenang-kenangan seumur hidup.” Andai itu terjadi, benar-benar gita gila SMA.
Sebagai anak muda, saya yakin mereka melek informasi dari berita televisi sampai berita di dunia maya. Mereka malah kenal dengan namanya trading topic atau hal yang menonjol di dunia maya paling up to date.  Mereka pasti baca dan paham berita tentang Irma Bule, penyanyi dangdut kelas teri yang mati di panggung setelah dipatok ular King Kobra. Mereka juga pasti akan baca bagaimana kisah tentang AKBP Untung Sangaji, pelumpuh teroris di MH Thamrin, Jakarta, beberapa waktu lalu.
Saya juga yakin mereka paham benar berapa tarif Irma Bule sekali manggung dengan resiko nyawa sebagai taruhannya. Hanya Rp500 ribu, termasuk tarian ular yang berbahaya tersebut. Tanggungjawab membantu suaminya lah yang membuat Irma mempertaruhkan nyawanya.
Saking totalnya keinginan Irma memuaskan penonton, dia sampai rela terus melantunkan lagu dan berjoget walaupun sudah terpatuk ular. Penyanyi kelas teri ini pun baru dilarikan ke rumah sakit saat tak sadarkan diri. Bukan keinginan Irma Bule sendiri. Sampai dia tak sadarkan diri, Irma tetap menolak dibawa ke rumah sakit. Kecintaan dan keinginannya memberikan hiburan, membuatnya melupakan nyawa yang sedang dipertaruhkan.
Saya juga yakin mereka paham dengan pemberitaan terkait AKBP Untung Sangaji, perwira menengah Polri yang akhirnya merasa tidak dihargai atas pengorbanannya dalam pemberantasan teroris di Jakarta. Saat itu, Untung memang menjadi salah satu tokoh di balik aksi teroris di siang bolong dan menarik perhatian masyarakat serta dunia.
Saking merasa tercampakkan, Untung hendak mengajukan pensiun dini dan mencalonkan sebagai bupati di daerah asalnya, Kabupaten Seram Bagian Barat (SBB), Maluku. Saya tidak menggarisbawahi rasa kecewanya, tapi resiko pekerjaannya lah yang membuat saya memberi garis tebal. Resiko pekerjaan Untung saat itu juga bertaruh nyawa.
 Saya juga pernah remaja dan pernah juga lulus SMA. Saya juga menyangka kalau saat itu adalah akhir perjalanan hidup. Memang benar, lulus SMA adalah akhir perjalanan hidup dimana kita tidak banyak tuntutan. Kita hanya sekolah, mengerjakan tugas yang sama dengan teman sekelas, ujian dan lulus. Tidak ada tuntutan tanggungjawab apa pun atas kegiatan kita sehari-hari.
Lulus SMA adalah akhir perjalanan hidup tanpa tuntutan dan awal dari hidup yang dihadapkan pada tuntutan. Bagi yang tidak meneruskan kuliah, dia akan dihadapkan pada mencari pekerjaan. Bisa saja, lulus SMA berdalih menikmati kebebasan dengan menganggur, akan kebablasan menjadi pengangguran berkepanjangan.
Malah lebih sering pengangguran berkepanjangan akan berakhir di dunia kriminalitas. Selama 17 tahun terakhir dalam hidup saya ini, melihat banyak pemuda pengangguran yang salah jalan dan akhirnya menjadi pelaku tindak kejahatan. Penjara dan rawan semakin terperosok, akan mengancam kehidupan mereka di kemudian hari.
Sedang yang meneruskan pendidikan, akan menemui semakin banyak tuntutan. Pemilihan jurusan kuliah, absensi kuliah, pengisian KRS (kartu rencana studi) sampai dengan penyusunan skripsi, akan banyak menuntut. Kita bebas saja mau kuliah atau tidak sepanjang cukup absensi guna ujian akhir semester (UAS), tidak akan menjadi masalah.
IPK (indek prestasi komulatif) akan menentukan berapa SKS (system kredit semester) yang akan kita ambil di semester depan. Semakin tinggi IPK kita, semakin banyak SKS atau mata kuliah (MK) yang bisa kita ambil dan otomatis akan mempercepat masa studi kita di bangku kuliah.
Seandainya kuliah pun kelar, apa tuntutan akan selesai? Tidak. Tuntutan akan kembali menerjang kita. Mencari pekerjaan dan mulai menata hidup sebagai manusia mandiri, akan dimulai. Lambat laun, status anak yang bisa seenaknya minta uang kepada orangtua akan berganti dengan memenuhi kebutuhan dari hasil keringat sendiri.
Sekedar gambaran dunia kuliah, saya butuh waktu 12 tahun untuk menyelesaikan perkuliahan saya. Masuk pada tahun 1992 dan saya baru diwisuda ada tahun 2004 saat sudah punya 1 anak. Apakah saya bodoh? Bisa jadi iya. Tapi saya saat itu memilih bekerja daripada meneruskan kuliah saya. Terlebih setelah bapak meninggal pada tahun 1995 atau saat saya masih semester 6.
Kembali ke sikap adik-adik SMA yang melampiaskan kelarnya UN (bukan kelulusan karena belum pengumuman), secara gila. Beberapa foto yang ter-upload di jejaring sosial memperlihatkan ulah mereka yang tidak hanya mencoret seragam, tapi juga merobeknya. Malah ada beberapa siswi SMA yang merobek rok panjang seragam sekolah sampai nyaris di pangkal pahanya. Benar-benar gila. (Penulis adalah wartawan Harian Pagi Memorandum)

*Gita=nyanyian atau lagu


Tidak ada komentar: